6 Tidak Pada Impor Beras

05/03/2023 08:20 WIB

post-img

Sebagai negara agraris yang subur dan sawah-sawah terhampar hijau merata sudah semestinya Indonesia mampu menjadi produsen beras yang mandiri dan berkelanjutan. Namun faktanya Indonesia setiap tahun tidak pernah absen dari impor beras. Kita lihat saja data Badan Pusat Statistika (BPS) sejak tahun 2020 impor beras mencapai 356 ribu ton, kemudian tahun 2021 diangka 407 ribu, dan tahun 2022 sampai awal tahun 2023 sebanyak 500 ribu ton impor beras.

Kebijakan impor beras ini se akan-akan bukan sebuah opsi terburuk dalam pengentasan persoalan pangan namun sebuah kewajiban rutin yang mesti dilaksanakan dan dianggap sebagai peluang bisnis. Ketentuan bahwa kebijakan impor semestinya memprioritaskan produksi dalam negeri tidak lagi ukuran. UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan maupun UU No. 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Pemberdayaan Petani (Perlintan) yang menegaskan bahwa kebijakan impor pangan oleh pemerintah hanya bisa dilakukan apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi sudah tidak dihiraukan. Begitu juga dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada bulan Juni tahun 2021 yang menyebutkan pemerintah tidak akan melaksanakan impor beras saat panen raya.

Semua komitmen itu hanya tertuang di atas kertas undang-undang atau sekedar gimmick di depan media sebab kenyataannya beras tetap saja impor. Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, tetap saja memasok impor beras Vietnam ke Indonesia dengan landasan UU Cipta Kerja yang telah mengubah Pasal 30 UU Perlintan menjadi tidak ada ketentuan yang melarang impor komoditas pertanian pada saat ketersediaan pangan dalam negeri sudah mencukupi. Kini impor tidak lagi mempertimbangankan nasib petani pada musim panen raya.

Pemerintah kembali melanjutkan realisasi rencana impor beras 500 ribu ton di awal tahun 2023 dengan dalih menambah stok cadangan beras pemerintah (CBP). Sikap pemerintah mengumumkan impor menjelang panen raya tentu sangat memukul petani-petani kecil karena akan mengganggu pasar lokal. Alhasil petani sebagai tulang punggung produsen pangan akan mengalami kerugian.

Apabila melihat kondisi ketersediaan beras dan waktu panen petani, momentum impor beras hari ini jelas memukul kondisi ekonomi petani. Ditengah Kementerian Pertanian menyatakan bahwa ketersediaan pangan kita tercukupi juga panen raya tahun 2023 dimulai pada Maret semestinya impor bukan situasi mendesak untuk dilakukan. Pemerintah dalam hal ini Bulog dan BUMN pangan lebih tepat membeli gabah langsung kepada petani, ke koperasi-koperasi petani, ke lembaga-lembaga ekonomi petani, untuk memperpendek mata rantai, agar petani mendapatkan harga yang lebih baik. Dengan demikian cadangan pangan di tingkat pemerintah daerah atau di koperasi-koperasi juga terbentuk. 

Sebab psikologis pasar dengan sisa impor beras yang masuk, dan bersamaan dengan panen raya akan menyebabkan harga gabah dan beras ditingkat petani rendah. Hal ini terjadi di tengah mekanisme Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang tidak banyak berpengaruh. Justru ditemui HPP jauh di bawah harga pasar. Terlebih baru-baru ini Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengeluarkan Surat Edaran (SE) (20/02/2023) tentang batas atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) atas Gabah Kering Panen (GKP) sebesar Rp 4.550 per kg telah merugikan petani. Bagaimana tidak rugi, SE tersebut membuat harga GKP petani dari sebelumnya Rp 5.600 menyungsep ke harga Rp 4.200 atau bahkan menyentuh Rp 3.500 per kg, dimana nilai tersebut jauh dibawa biaya produksi yakni Rp 5.050 per kg.

Perlu disadari dalam jangka panjang, kebijakan impor beras pada musim panen seperti hari ini dapat mengurangi motivasi petani untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas beras, bahkan memungkinkan mereka meninggalkan pekerjaan sebagai petani. Nyata sudah bahwa negara belum mampu melindungi nasib petani sebagai produsen pangan. Dengan kata lain pemerintah hanya ‘Omdo’ atau omong doang. 

Oleh karena itu Partai Buruh dengan tegas menolak segala impor pangan dengan 6 alasan:

1.    Tidak mewujudkan cita-cita kedaulatan pangan. Indonesia yang memiliki potensi besar dalam sektor pertanian khususnya beras tidak akan bisa berdaulat pangan selama pemenuhan pangan dalam negeri berorientasi pada impor;

2.    Tidak mensejahterakan petani. Impor beras mengakibatkan ketidakstabilan harga jual beli beras dipasaran, sementara harga jual yang layak menjadi penting untuk meningkatkan pendapatan petani;

3.    Tidak menghemat devisa. Dengan menjalankan kebijakan impor beras, maka devisa negara yang semestinya bisa digunakan untuk pendidikan dan kesehatan tidak terwujud;

4.    Tidak meningkatkan kualitas pangan. Seperti diketahui bahwa semua bahan pangan impor selalu menggunakan bahan kimia untuk menjaga mutu dan ketahanan selama waktu pengiriman. Ini berdampak besar pada kualitas pangan yang dikonsumsi masyarakat;

5.    Tidak membebaskan dari ketergantungan. Dengan menolak impor beras dapat mengurangi ketergantungan negara pada impor pangan.

6.    Tidak meningkatkan kesadaran pangan. Dengan menolak impor beras masyarakat dapat meningkatkan kesadaran tentang pentingnya konsumsi produk pangan lokal dan tidak tergantung pada berasnisasi.