El Conde dan Bangsa Pelupa

20/09/2023 09:55 WIB

post-img

Jerman butuh waktu setengah abad untuk memfilmkan Hitler. Suatu tahun 'Der Untergang' atau judul internasionalnya 'Downfall', dibuat. Seperti film bagus lainnya, ia mengundang perdebatan deras. Tabloid terpandang Jerman, Bild, mengajukan pertanyaan pedas, "Apakah kita diizinkan menayangkan monster sebagai manusia?"

Saya menyaksikan film itu belasan tahun silam. Seperti kebanyakan penonton, saya terpesona oleh salah satu adegan ikoniknya. Saat Hitler mengamuk di ruang sempit, mengoceh tak keruan ke muka para jenderal. Sang Fuhrer paham akan segera kalah, ekpresinya amat pelik. Cemas, panik, bingung, bercampur marah. 

Di film, Hitler ditampilkan sebagai megalomania yang benar-bernar sakit.  Seorang orator yang kandas, tak lagi sakti kata-katanya. Dia tidak memiliki jawaban. Jerman cuma menunggu waktu ditembus Tentara Merah dari Rusia. Seluruh aparatus Nazi menanti kejatuhan.

Adegan paling menghantui di 'Downfall', menyelinap di bagian akhir. Magda Goebbels, isteri Menteri Propaganda Nazi, secara sadar meracuni keenam anaknya. Itu sama sekali diluar nalar sehat, tetapi yang tak waras itu merupakan fakta kejadian. 'Downfall' ialah upaya sinematik demi menuturkan sosok kelam yang pernah bercokol dalam sejarah Jerman.

Di Amerika Selatan, sutradara kondang, Pablo Larrain, melakukan hal identik. Persis saat 50 tahun peringatan kudeta Chile, ia membawa film bertajuk 'El Conde' ke mata pemirsa dunia. Satire politik yang diusung dalam nuansa gotik ini menampilkan Pinochet sebagai vampir. Makhluk buas penghisap darah, pemakan jantung manusia. 

Pinochet tidak mati di tahun 2006, melainkan hidup terus 250 tahun lamanya. Dia menjadi prajurit kerajaan selama Revolusi Prancis dengan nama 'Claude Pinoche' (tanpa T). Pinochet versi muda ini mengagumi Marie Antonoitte, sehingga menyimpan kepala ratu Prancis itu usai dipenggal. Begitulah imajinasi Larrain di El Conde. 

Setelah tak lagi berkuasa, Pinochet menetap di hunian patogonian bersama istrinya Hiriart. Di sana mereka ditemani pelayan bernama Fyodor. Lelaki yang setia sekaligus culas. Saya fikir sosok Fyodor merupakan wujud fiksi dari Miguel Krasnoff. Itu interpretasi saya. Mungkin salah. 

Krasnoff seorang Brigjen yang pernah menempati kantor DINA. Badan intelijen Chile yang bertanggungjawab atas penyiksaan, pembunuhan, dan penghilangan paksa selama kediktatoran. Dalam satu adegan, dengan senyum tipis dia menyatakan, 'melakukan penyiksaaan itu menyenangkan'. Itu berarti juga membakar payudara aktivis yang diculik.

Pinochet tak keberatan dianggap pembunuh, tetapi akan tersinggung bila dicap pencuri, walau secara implisit mengakui pencuriannya. Dia tak menyesal untuk apa saja, kecuali senantiasa merindukan kekuasaan. Menyambangi istana kepresiden pada dini hari, sembari berharap ada patungnya di sana, meski tak pernah ada.

Di babak akhir film, tersibak siapa perempuan yang melahirkan Pinochet. Lagi-lagi imajinasi Larrain susah ditebak. Adalah Margareth Thatcher yang menjadi ibu Pinochet. Figur berjuluk 'Perempuan Besi'. Siapa Thatcher dan apa hubungannya dengan Pinochet di dunia nyata? Bagi yang awam, sila berburu informasi di mesin pencaharian.

El Conde bukan film yang gampang ditelan, sejujurnya agak membingungkan, tetapi di titik yang sama ia sungguh menawan. Dialog-dialognya cerdas membius. Beberapa adegannya terasa sureal. El Conde tak dianjurkan kepada mereka yang buta total sejarah kediktatoran di Chile. 

Semalam, saya menyimak  'El Conde', seraya membayangkan, kapan sineas Indonesia membuat film serupa. Sebuah film dengan posisi politik yang terang. Tak ada tabir asap dalam menceritakan hidup busuk seorang diktator. Tetapi bagaimana akan membuat film semacam ini? 

Jerman memiliki Pengadilan Nuremberg, sehingga para bandit Nazi diganjar hukuman setimpal. Sebagian lagi dikejar hingga puluhan tahun. Di Chile, Manuel Krasnoff dan banyak pelaku kejahatan kemanusiaan dikirim ke penjara Punta Pueco. Sementara kita memilih hidup dalam budaya lupa. 

Seorang dari masa silam yang kelam, meraup dukungan besar di Pilpres mendatang, makin menjelaskan siapa gerangan diri kita. Bangsa yang bersopan santun dengan kejahatan masa silam. Tangannya hampa, 
seperti makhluk nir sejarah. 
Politisi berduyun-duyun mengerubungi, sebab syahwat kekuasaan terlanjur di ubun-ubun. Yang batil dan haq dioplos jadi satu, seraya terus giat beribadah, yakin Tuhan pasti mengampuni. 

Adityo Fajar -  Ketua bidang Kaderisasi dan Ideologi Partai Buruh