Gadis Kretek dan Bagaimana Saya Melihatnya

05/11/2023 19:55 WIB

post-img

Gadis Kretek dan Bagaimana Saya Melihatnya

 

Belum lama saya menyelesaikan series lokal berjudul Gadis Kretek.  Saya tidak ingat kapan terakhir kali menonton film Indonesia dengan alur penceritaan sesolid ini. Sejujurnya saya belum membaca novelnya, namun Ratih Kumala penulis asli cerita ini, rasanya telah melakukan pekerjaan yang eksepsional. 

Gadis Kretek adalah perayaan sinematografi Indonesia yang layak dipungkasi tepuk tangan. Film yang terpuji dan tak berlebihan dibicarakan lebih lanjut. Drama perempuan-perempuan Jawa, kehidupan keluarga, cinta, dan badai Peristiwa 1965, dihaturkan dengan cara yang kendati tak sempurna, jelas benar-benar lembut dan berkesan. 

Gadis Kretek berdurasi lima episode. Disajikan di salah satu layanan OTT (Over The Top) populer. Film dibuka dengan serangkaian adegan yang membawa penonton datang pada pertanyaan 'Siapa gerangan Jeng Yah?'. Jawaban atas pertanyaan ini akan mengambil porsi besar di film, membawa rasa penasaran yang menyenangkan bagi penonton.

Jeng Yah perempuan Jawa. Sosok yang berupaya melampaui  zamannya. Dia ingin sekali menjadi peracik saus, sesuatu yang diyakini sebagai intisari dari kenikmatan kretek. Bekerja di balik pintu biru menjadi peracik saus merupakan tabu bagi perempuan. Di masa itu, trilogi hidup perempuan dipatenkan dalam ruang: dapur, sumur, dan kasur. 

Saat Jeng Yah membaui tembakau yang baru datang,  mempertanyakan selisih kualitasnya, telinganya dipaksa menerima hardikan misoginis yang banal. Ketika tiba di pasar untuk menegosiasikan dagangan, Pak Budi mengahadiahi seloroh merendahkan, "perempuan tahu apa soal kretek?".

"Aku juga lahir di gudang tembakau. Aku bisa mengenali bau srintil, pucuk tembakau", balas Njeng Yah dengan air muka yang kelewat tenang. 

Jeng Yah jatuh cinta pun melalui cara yang melabrak tatanan lama. Gadis berkebaya anggun ini menghanyutkan perasaan kasihnya kepada seorang 'babu' yang dipungut dari pasar. Membuyarkan perjodohan agung yang diniatkan menyatukan dua keluarga bisnis. Cinta kabarnya memang tak bisa memilih kepada siapa ia tertambat.

Saat menonton Gadis Kretek, saya lekas tertaut dengan dua film lawas. Pertama, The Notebook (2004). Roman 'legendaris' di masanya, diadopsi dari novel Nicholas Sparks. Menjadi tua dan menengok kisah cinta di masa silam, Gadis Kretek dan The Notebook tampak memiliki kemiripan.

Kedua, The House of The Spirits. Drama yang berumur lebih uzur. Dibuat  tahun 1993. Saya menonton film ini ketika remaja. Blanca, puteri cantik anak tuan tanah terpandang jatuh hati pada Pedro, buruh di pertenakan besar milik ayahnya. Peristiwa pembersihan kaum kiri  Chile di The House of The Spirits, membuat Gadis Kretek makin beririsan dengan film yang dibuat berdasar novel Isabel Allende.

Gadis Kretek merupakan parade emasipatoris. Film ini milik kaum perempuan. Mereka: Jeng Yah, Rukayah, Arum, hingga Pratiwi merupakan protagonis utama. Kaum laki-laki yang hadir dalam cerita, perannya nyaris paria. Bagi saya pribadi, -walau bukan feminis garis keras-, film ini sangat menyejukkan untuk ditonton, terutama di tengah alam maskulin yang melingkari keseharian saya.

Sebelum Gadis Kretek, saya sempat menonton film bernafas serupa, Fair Play (2023). Sebuah karya epik dari sineas perempuan Chloe Domont yang menjelaskan kerapuhan lelaki dihadapkan pada pasangannya yang lebih sukses. Bila Fair Play membidik isu gender pada masyarakat urban 'post industrial', Gadis Kretek jelas lebih familiar dengan kehidupan kita sebagai manusia Indonesia. 

Peristiwa 1965 yang dipakai sebagai latar belakang cerita Gadis Kretek memberi dimensi politis di film ini. Jeng Yah dan keluarganya menjadi korban yang tidak adil dari kejadian berdarah itu. Hidup keluarga tersebut dijungkirbalikkan. Hampir semua yang mereka punya sirna seketika. Dua tahun Jeng Yah meringkuk dalam kehidupan penjara yang buruk, tanpa pengadilan.

Di Kota M, -wilayah fiksi dalam film ini-, mereka yang masuk dalam 'daftar merah', diburu tanpa 'babibu'. Tukang sablon tiba-tiba lenyap, tempat usahanya ditutup. Pemuda-pemuda 'merah' tak jelas lagi kabar usaha kreteknya, pasca kejadian yang diberitakan radio tua. Pendeknya, Kota M tak lagi sama, kecuali Pak Djagad yang mengambil keuntungan bisnis sebab memiliki relasi spesial dengan militer.

Awal tahun ini, Peristiwa 1965-1966 telah diakui oleh Presiden Joko Widodo sebagai bagian dari daftar kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pengakuan itu disampaikan bersama kenyataan bahwa salah seorang pelanggar HAM berada di kabinet sang presiden. Figur itu maju sekalilagi sebagai calon presiden di Pemilu mendatang.

Gadis Kretek pada akhirnya hiburan yang terbilang layak membuat kita mengerahkan waktu lebih dari lima jam untuk menyimaknya. Satu-satunya yang menganggu menamatkan film ini yaitu terlalu banyaknya air mata. Ekstra melankolis. Apakah menjadi perempuan Jawa berarti melinangkan air mata seintensif itu? Saya pikir itu masih merupakan wujud prasangka purbakala ke perempuan Jawa. Feodal dan kolonial. 

Saya sendiri dibesarkan oleh perempuan Jawa. Dan ibu saya tidak membasahi matanya amat sering, betapapun hidup tak senantiasa legit. Walau menangis tak selalu bermakna kelemahan, kenapa perempuan masih digambarkan sebagai mahluk yang rajin memproduksi air mata? 

 

***


Ditulis oleh Adityo Fajar
Kabid Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh