Kandidat dan Lingkungan

03/09/2023 06:40 WIB

post-img

Sekira lebih setahun lalu, Macron bertanding melawan Marine Le Pen di pilpres Prancis. Kampanye yang mempersuakan keduanya  berlangsung sengit. Orang Prancis mewarisi tradisi berdebat yang menyejarah. Kadang-kadang debat dibawa ke jalanan, menjadi protes dan kemarahan massal. Alhasil, bila masa memilih presiden tiba, mereka sungguh ingin tahu isi kepala tiap kandidat.

 

Aneka isu disodorkan dan diperdebatkan sepanjang pilpres. Dari masalah lapangan kerja, multikulturalisme, hingga problem imigran. Publik Prancis juga ingin mendengar kedua capres berucap mengenai problem lingkungan. Sebagai negara ekonomi terbesar kedua di Eropa, arah kebijakan iklim Prancis akan berdampak bagi keseluruhan Uni Eropa. Karenanya penyimak debat ini, bisa jadi mencakup politisi di 26 negara Uni Eropa lainnya.

 

Baik Macron dan Le Pen sama-sama memprihatini isu perubahan iklim. Di kubu petahana, Macron berjanji membangun 14 reaktor nuklir, berikut meregenerasi pembangkit listrik. Le Pen tak mau kalah, kandidat sayap kanan itu menyodorkan angka yang lebih ambisius: 20 pembangkit listrik tenaga nuklir. Prancis sendiri bergantung kepada tenaga nuklir untuk 67 persen pasokan energinya. Sekitar 6,7 persen tenaga kerja berada di sektor tersebut. 

 

Sayangnya, pembangkit listrik tenaga nuklir bukan saja membutuhkan biaya mahal, tetapi juga waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikannya. Dia tidak bisa disajikan ringkas selayaknya menuangkan anggur. Sehingga para kritikus mengatakan tidak ada rencana kandidat yang bergerak cukup cepat demi mengurangi emisi. Baik Macron, maupun Le Pen akur menjual proposal jangka panjang untuk masalah yang nyaris kadaluarsa.

 

Di Indonesia pemilu akan dilangsungkan tahun depan. Tidak tahu sejauh apa isu lingkungan akan mendapat porsi di kancah politik lima tahunan. Kantor-kantor pimpinan pusat parpol semuanya bermukim di Jakarta. Kota dengan kualitas udara yang sangat buruk. Tetapi di tempat itu juga kita jarang menyaksikan elit partai mempunyai 'mulut besar' menyangkut kerusakan lingkungan. Kecuali jika bencana terlanjur terjadi. 

 

Menurut Walhi, bukan cuma polusi, Jakarta menyimpan masalah lingkungan lebih kompleks. Dari pencemaran dan potensi krisis air, darurat sampah, hingga ancaman tenggelam. Sementara kampanye Pemilu 2024 berlangsung selama 75 hari. 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024. Saya tidak paham, apakah caleg-caleg Partai Buruh di DKI Jakarta telah menyiapkan tawaran yang masuk akal atas isu lingkungan dalam posisinya sebagai legislator.

 

Fragmen masalahnya ada di mana-mana. Setidaknya 13 sungai  melintas di Jakarta. Dan tak ada satupun yang tidak tercemar. Menurut keterangan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta tahun lalu, kadar cemaran di 13 sungai Jakarta berada di tingkat sedang hingga berat. Selain air sungai, air tanah Jakarta pun tak luput dari pencemaran. Celakanya, itu termaksud air tanah dangkal yang biasa digunakan masyarakat.

 

Nelayan Muara Angke telah lama mengeluhkan merosotnya jumlah ikan dan kualitas kerang dalam beberapa tahun belakangan. Di Pulau Pari, bukan cuma ikan, budidaya rumput laut pun hampir tumbang. Semua merupakan dampak tunai dari pencemaran ekosistem air. Pencemaran limbah industri juga merusak kondisi Kali Adem. Sementara di Pulau Pari, limbah minyak mentah menjadi musuh besar nelayan.

 

Di belahan utara lain, sudah sejak lama debu batu bara mencemari udara Rusunawa Marunda. Penghuninya dijangkiti beragam penyakit pernafasan, kulit dan penglihatan. Jakarta juga menjadi 'kota sampah'. Ada 7,2 ribu ton sampah dihasilkan tiap hari. Itu termaksud 3.305,20 ton sampah anorganik serta 40,44 ton sampah beracun dan berbahaya. 

 

Pendeknya, lingkungan Jakarta tidak baik-baik saja. Saya tidak peduli Anda merupakan pendukung fanatik gubernur A atau B, tapi itulah ceritanya. Ibukota ini pernah dinobatkan sebagai kota paling rentan krisis iklim oleh lembaga analisis bisnis, Verisk Maplecroft, pada 2021. Sebagai anak laki-laki yang dibesarkan di desa yang hijau, jujur saja saya tak pernah nyaman berdiam di Jakarta, apalagi merasa berjodoh dengan kota itu.

 

Lantas ke mana kandidat dari Partai Buruh akan mengarahkan jawaban atas masalah ini? Pertanyaan tersebut tak hanya layak ditodongkan kepada caleg-caleg yang mengadu peruntungan elektoral di Jakarta. Pun ke kandidat dimana pertambangan masif beroperasi, pembalakan liar merajalela, banjir musiman, suhu udara memanas tak keruan atau kebakaran hutan rutin datang. Teruntuk kalian semua yang namanya tertera di lembar DCS, telunjuk itu dibidikan.

 

Jika ruang hidup rusak, kalangan termiskinlah yang  paling menderita. Mereka tiada lain dan tak bukan adalah kelas pekerja. Subjek yang selama ini diunggah ucapkan oleh Partai Buruh. Yang dilafalkan ribuan kali dari atas mobil komando dan dikomat kamitkan bak mantra politik ajaib. "Ketika terjadi bencana, orang miskin hampir selalu lebih menderita dibandingkan orang kaya, bahkan jika orang kayalah yang menyebabkan tragedi itu", tulis Yuval Harari di Homo Deus. Itu begitu sederhana dan gampang dimengerti.

 

Tahun lalu, Yayasan Partisipasi Muda (Generasi Melek Politik) bersama Pelopor Pilihan 17 (PP17) berkolaborasi dalam membuat National Benchmark Survei. Hasilnya 59% pemilih dari kalangan muda merasa isu lingkungan merupakan masalah yang mendesak. Sebanyak 66% anak muda Indonesia menganggap penanganan perubahan iklim oleh  pemerintah masih jauh dari harapan.

 

Mereka generasi yang cemas. Generasi yang memang wajib cemas. Sebab saat kalangan tua  memungkasi usianya kelak, mereka akan menempati lingkungan dimana berjubel persoalan lingkungan mungkin belum terjawab. Mereka angkatan zaman yang menurut survei, 74%-nya memperhatikan penggunaan listrik harian, 46% berupaya mengedukasi diri mengenai isu lingkungan, dan 43% telah beralih menggunakan produk ramah lingkungan.

 

Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB tahun 2018, Greta Thunberg, -ikon environmentalisme Gen Z-, berkesempatan menyampaikan pidato. Gadis yang saat itu berumur 15 tahun, berujar, "Peradaban kita sedang dikorbankan demi peluang sejumlah kecil orang untuk terus menghasilkan uang dalam jumlah besar. Biosfer kita dikorbankan agar orang kaya di negara seperti negara saya bisa hidup mewah. Penderitaan banyak oranglah yang membayar kemewahan segelintir orang.” 

 

Greta Thunberg benar untuk satu hal. Selalu seperti itu kapitalisme. Lautan derita rakyat pekerja demi segelintir borjuis berpesta pora. Laporan Oxfam per November 2022, bertajuk 'Carbon Billionaires: The investment emissions of the world’s richest people', juga menghasilkan kesimpulan yang serupa. Emisi karbon 125 miliarder sejuta kali lebih tinggi daripada 90 persen populasi di planet ini. Kaum kaya brengsek.

 

Jagad hukum mengenal jenis kriminalitas yang disebut 'Green Financial Crime'. Yaitu kejahatan keuangan terkait dengan lingkungan hidup. Di Indonesia, PPATK menyebut uang kejahatan  semacam itu mengalir ke kantong partai politik. Angkanya rasanya tak kecil: 1 trilliun. Bisnis perusak lingkungan dan kekuatan politik berkelindan, tidur dan bercinta di atas ranjang yang sama.

 

Pelestarian lingkungan selalu menjadi palagan pertikaian kelas yang nyata. Menuntut upah, membagi tanah ke tani papa, dan memenjarakan kapitalis perusak alam, sungguh satu tarikan nafas yang sama. Mendaku melancarkan perjuangan kelas namun beramah tamah kepada kekuasaan perusak lingkungan ialah omong kosong belaka. Dunia sudah terlampau sesak dan enek dengan omong kosong politisi. Kecuali Anda  berniat menambah jumlah politisi bermuka seribu semacam itu.

 

Adityo Fajar  - Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh