Melawan Privatisasi Listrik

10/05/2023 09:41 WIB

post-img

Lawan privatisasi listrik melalui uji konstitusional UU Cipta Kerja, hilangkan ketergantungan listrik dari swasta, dan perkuat BUMN Ketenagalistrikan sesuai cita konstitusi.

Saya mendengarkan pernyataan ini dari tautan YouTube yang dikirimkan seorang teman. Atas nama Gerakan Kesejahteraan Nasional atau GEKANAS. Pernyataan itu disampaikan oleh Ketua Umum SP PLN, Muhammad Abrar Ali. Dalam beberapa kali kesempatan, saya pernah berjumpa dengannya.

GEKANAS sendiri terdiri dari berbagai elemen federasi/serikat pekerja, akademisi, dan praktisi perburuhan. Termasuk di dalamnya beberapa serikat pekerja sektor ketenagalistrikan, SP PLN, PP IP, dan SP PJB.

Abrar, ketika membacakan siaran pers GEKANAS di depan Gedung MK mengatakan, data 2021, negara mengalami Kelebihan pasokan energy listrik dengan kasitas terpasang 72 GW dan daya rat-rat digunakan sebesar 40 GW.

Diperkirakan, di tahun 2023 ini, Indonesia Oversupply sebanyak 60% dari kebutuhan maksimal harian.

“Pasokan energi listrik saat ini disokong oleh Pembangkit swasta sebesar 28% atau sebesar 22 GW dan diperkirakan pada tahun 2023 ini mencapai 30 GW, dengan masuknya pembangkit yang tergabung dalam proyek 35 GW,” tegasnya.

Di dalam skema perjanjian Kerjasama dengan Pembangkit Swasta atau Independence Power Producer (IPP) listrik yang dihasilkan digunakan atau tidak digunakan tetap harus dibayar.

Pengujian soal ini bukan yang pertamakali. Pada tahun 2003 MK telah memutuskan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib dilakukan secara terintegrasi mulai dari bisnis pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan.

Tak dapat disangkal, listrik sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Manusia mungkin masih bisa hidup tanpa listrik, tapi ketiadaan listrik membuat banyak hambatan. Itu artinya, listrik sebagai hajat hidup masyarakat banyak. Dan konstitusi sudah memandatkan, apa-apa yang menjadi hajat hidup orang banyak harus dipenuhi oleh negara.

Ada sejumlah dalil terkait pelanggaran konstitusi UU Cipta Kerja. Di mana UU Cipta Kerja mengaburkan frase usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum yang serharusya dilakukan secara terintegrasi berdasarkan 2 putusan MK terdahulu. Selain itu, tidak adanya peran DPR RI dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional sehingga mengurangi pengawasan publik terhadap pelaksanaan usaha ketenagalistrikan oleh pemerintah, hingga perlu penegasan bahwa pembelian listrik berlebih tidak boleh dilakukan didaerah yang telah surplus listrik.

Setidaknya ada tiga hal yang harus dipastikan.

Pertama, meminta agar Pemerintah dan DPR RI jangan malu melaksanakan putusan MK terkait ketenaglistrikan.

Kedua, Negara harus menghilangkan ketergantungan pada pasokan listrik swasta (IPP) dan memberdayakan BUMN Ketenagalistrikan yang telah ada (PLN, PJB, dan Indonesia Power) sebagai pemasok energi listrik bagi bangsa ini.

Sedangakan yang terakhir, meminta negara membuka kontrak perjanjian kerjasama dengan IPP dengan skema take or pay yang merugikan bangsa jika dilakukan di wilayah surplus energi.

Dalam kesempatan ini, saya menyatakan dukungan terhadap apa yang diperjuangkan teman-teman di GEKANAS dan khususnya SP PLB, PPIP, dan SB PJB. Terlebih Partai Buruh di dalam platformnya juga berikhtiar untuk membangun kekuatan BUMN. Termasuk di dalamnya BUMN Ketenagalistrikan, sesuai dengan cita konstitusi.

Lawan privatisasi listrik melalui uji konstitusional UU Cipta Kerja. Hilangkan ketergantungan listrik dari swasta!