Memilih Diantara Dua Perang

26/10/2023 11:23 WIB

post-img

Bunyi mengusik telinga terdengar bertalu-talu di langit. Gaduh, bergemerisik, menyayat nyali. Misil-misil kemudian mulai berjatuhan seperti benih. Gaza terguncang. Rumah-rumah berayun, lalu ambruk ke tanah. Hamida duduk di samping putrinya, memegangi kepala buah hatinya. Berpikir jika semuanya runtuh, mungkin setidaknya putrinya bisa selamat.

Elena Hamida datang ke Gaza delapan belas tahun silam. Dia terlahir dan besar di Poltava. Sebuah kota tak besar di timur Ukraina. Cinta membawa langkahnya tiba ke salah satu tanah paling mematikan di planet ini. Elena Hamida bertemu Hazem ketika masih menjadi mahasiswa kedokteran di Ukraina. Hazem, suaminya, mengajaknya hidup di Gaza. 

Pekan ini Hamida ingin bercerita, petaka apa yang tengah mengepung dirinya. Karenanya dia membuat sebuah wawancara di Rumah Sakit Kamal Adwan di kota Beit Lahia, tempat suaminya bekerja. Baginya, pusat kesehatan itu semacam oase. Di sana dia bisa mengisi daya ponselnya dan berkomunikasi dengan dunia. Termaksud menghubungi wartawan.

“Pada hari Minggu terjadi penembakan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Saya pikir mereka meluncurkan sesuatu yang baru. Mungkin artileri, saya tidak tahu. Itu sangat menakutkan,” katanya kepada jurnalis Haaretz melalui telepon.

Ketika Israel mulai melakukan penembakan sekitar jam 9 malam, Hamida tak sanggup lagi menutup mata sepanjang malam. Hazem menemaninya di sela-sela jam kerja rumah sakit yang beroperasi 24 jam. Di sana ada pula putra mereka Nael dan Ahsan, serta Diana, putrinya. Mereka seperti jutaan keluarga Palestina, hidup dalam tebing kematian. Menarik nafas hari ini, tak tahu apakah besok masih begitu.

Pada tanggal 7 Oktober, ketika semuanya dimulai, keluarga itu sedang berada di rumah. Rudal-rudal meluncur. Menyebarkan suara yang agak asing, tapi bisa dikenali. Awalnya Hamida tidak paham dari mana semuanya berasal– dari kami (Palestina) atau dari mereka (Israel). Itu adalah hari biasa; semua orang bersiap-siap bekerja dan bersekolah. Semua hari yang biasa, mudah berubah dengan cepat di Gaza.

Hamida dan keluarga duduk di rumah; berpikir ini hanya akan seperti yang sudah-sudah, ketika bom dilemparkan selama dua atau tiga hari, lantas situasi berangsur-angsur pulih – namun kali ini tidak berhenti.  Kerabat dari rumah terdekat datang untuk tinggal bersama. Satu keluarga besar tergopoh-gopoh. Lahan pertanian di sebelah rumah mereka ditembaki, menghancurkan hunian beberapa kerabatnya.

Hamida mengatakan lingkungannya dianggap paling berbahaya. Mereka penduduk Beit Lahia. Kawasan yang terletak di ujung utara Jalur Gaza. Wilayah tersebut berada di dekat pagar perbatasan dan merupakan lahan yang tidak berpenghuni. Itu merupakan tanah luas yang ideal untuk menggerakkan mesin perang dan memulai serangan. 

Di Beit Lahia juga tinggal keluarga lain dari Ukraina. Pada tanggal 13 Oktober, “mereka menelepon pada jam 4 pagi dan menyuruh kami segera meninggalkan rumah,” ungkap Hamida. “Mereka menelepon seluruh lingkungan.  Kami melarikan diri dengan sandal.  Tidak ada cahaya di kota dan kami tidak dapat melihat apa pun.” 

Masih ada sisa gas di dalam silinder, inilah cara mereka kemudian memasak. Penduduk makan apa yang tersisa di rumah dan apa yang dibawa ketika melarikan diri. Dan air?  Keran sudah tidak relevan lagi sejak perang dimulai. Rumah yang ditinggali keluarga tersebut mempunyai sumur bertenaga diesel, namun airnya tak dapat diminum.   

Dosen Universitas Harvard, Malkit Shoshan, yang telah mempelajari wilayah konflik di Timur Tengah selama 20 tahun, berbicara tentang kesulitan hidup di Gaza. Katanya, “Bahkan sebelum perang sekarang, setiap keluarga di Gaza hanya memiliki akses listrik sekitar dua jam sehari. Air yang ada terutama digunakan untuk minum saja."

Bagaimana hidup di Gaza menjadi amat memukau kesulitannya; bisa dilihat dari tingkah laku Israel.  Bukan saja mengerahkan mobil lapis baja untuk merusak lahan pertanian, sejak tahun 2014 mereka pun melancarkan Perang Pertanian (Farm Warfare). Ladang-ladang Palestina dihancurkan melalui penggunaan herbisida yang disemprotkan dari udara. Mereka ingin Palestina tak memproduksi makanan.

Hamida mengatakan, di Gaza utara militer Israel menjatuhkan ribuan selebaran dari helikopter yang bertuliskan “Lari ke Khan Yunis!”. Di selatan, selebaran bertebaran dengan pesan sebaliknya: “Lari ke utara karena kami akan mengebom di sini!". Ini merupakan pesan peringatan yang ambigu. “Jadi kita akan lari seperti tikus di dalam kotak, dari sini ke sana dan dari sana ke sini?!", sergah Hamida.

Hingga sekarang, Hamida masih memegang kewarganegaraan Ukraina. Sejak lama sebetulnya dia dapat memilih meninggalkan negeri yang berdesing itu. Namun, bagaimanapun dia sama sekali tidak tertarik menukar Gaza dengan Ukraina, tempat di mana saudara perempuan dan ibunya tinggal. Kini kedua wilayah itu sama-sama direbus oleh perang. 

Ukraina terjebak dalam perang berlarut-larut dengan Rusia. NATO membujuk Zelensky, dan mantan pelawak itu suka sekali dibujuk. Putin tampak bertenaga dan mememiliki bekal yang cukup untuk meladeni konfrontasi jangka panjang. Sementara ribuan orang telah tewas di Gaza. Hamida mungkin juga tidak yakin apakah gilirannya tertimpa rudal tak akan pernah datang.

Beit Lahia tempat Hamida tinggal menghadap ke pos pemeriksaan Erez dan Moshav Netiv Ha'asara. Dari atap rumah, perempuan itu bisa berdiri melihat rumah-rumah orang Yahudi di seberang mata. Dia tak pernah membenci mereka. "Saya tenang di sini. Tidak ada kejahatan pada orang-orang di sini.  Saya pikir saya akan merindukannya jika saya pergi. Saya mencintai tanah ini:  Gaza."

*

Disadur dari tulisan Lisa Rozovsky berjudul 'She Left Ukraine for Gaza. Now She Has to Choose Between Two Wars' dengan beberapa tambahan dan pengubahan.

Penulis : Adityo Fajar - Ketua Bidang Kaderisasi dan Ideologi Partai Buruh