16/10/2023 14:37 WIB
Tanggal 16 Oktober setiap tahun diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (HPS). Tahun ini, peringatan HPS kembali dibayang-bayangi oleh ancaman krisis pangan. Laporan SOFI (The State of Food Security and Nutrition in the World) Tahun 2023 mencatat angka kelaparan penduduk dunia mencapai 691 hingga 783 juta jiwa.
Hal ini berarti 9,2 persen penduduk dunia berada dalam angka kelaparan, dan angka ini meningkat dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 7,9 persen. Dengan data terakhir ini, PBB memprediksi jumlah angka kelaparan pada tahun 2030 mendatang lebih dari 670 juta orang dan angka ini jauh di atas target program zero hunger.
Penyebab utama krisis pangan masih menghantui, berkaitan erat dengan orientasi tata kelola pangan yang masih mengacu kepada hanya sekadar Ketahanan Pangan, bukan Kedaulatan Pangan.
Kedaulatan Pangan sendiri didefenisikan sebagai hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional. Partai Buruh menempatkan kedaulatan pangan sebagai bagian utama dari platform perjuangan.
Dalam tataran implementasi, konsep kedaulatan tersebut meliputi segala aspek di dalam sistem pangan, mulai dari aspek atau subsistem penguasaan tanah (Reforma Agraria), model produksi (Agroekologi), pengolahan & penyimpanan (cadangan pangan), distribusi (tata niaga), konsumsi hingga kelembagaannya.
Konsep ini sekaligus menjadi alternatif dan bahkan pengganti dari sistem pangan yang berlangsung selama ini, yang tidak mementingkan siapa, bagaimana, dan kapan memproduksi pangan, serta dari mana asal pangan tersebut.
Oleh karena itu, sistem pangan dengan model tersebut amat rawan dan menciptakan ketergantungan pada perdagangan dan pasar internasional, model produksi pertanian kimia dan monokultur, dominasi korporasi di sub sistem penguasaan tanah, produksi, pengolahan, dan distribusi, serta mendorong pola konsumsi dengan produk pangan cepat saji, yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kecukupan gizi dan bahkan keamanan pangannya (food safety).
Akibat dari sistem pangan yang seperti itu juga menimbulkan konflik agraria, kemiskinan, kelaparan, stunting atau tengkes, obesitas, perubahan iklim, dan kerusakan alam.
Pemerintah saat ini sesungguhnya sudah tepat menempatkan Kedaulatan Pangan dan Reforma Agraria dalam program prioritas nasional sebagai upaya mengentaskan kemiskinan dan mengantisipasi krisis pangan. Meskipun tidak berjalan baik dan dibeberapa lini mengalami reduksi.
Pada kenyataannya, ancaman krisis pangan sesungguhnya telah menjalar keseluruh belahan dunia, yang ditandai dengan lonjakan harga pangan seperti beras, kedelai, dan jagung. Berdasarkan laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2022, kenaikan harga pangan, pupuk, dan energi mendorong ancaman krisis pangan semakin nyata. Kondisi ini turut disertai krisis iklim yang membuat negara produsen pangan menahan diri melakukan ekspor. Harga pangan yang melambung juga disebabkan kelangkaan dan kenaikan harga pupuk kimia.
Pemakaian pupuk kimia dan pestisida yang meningkat patut diakui telah mengakibatkan kerusakan alam (tanah semakin tidak subur, benih lokal berkurang), ketergantungan pertanian pada bahan-bahan yang berasal dari luar (external input), dan berbagai kerusakan ekosistem lainnya, serta kesehatan manusia (food safety) sejak dijalankan pada tahun 1960, dan di Indonesia sejak tahun 1970, atau lebih dikenal dengan Revolusi Hijau di tingkat dunia.
Sejak krisis pangan tahun 2008, disusul dengan peristiwa Pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, dan persaingan ekonomi China-Amerika (USA) yang terus berlanjut, memperlihatkan terjadinya ketergantungan dalam memproduksi dan mendistribusikan pangan dunia.
Presiden Republik Indonesia RI Joko Widodo sesungguhnya telah menginstruksikan kepada jajaran kabinet untuk mewaspadai situasi dunia yang tidak dalam kondisi normal, dengan mengantisipasi krisis pangan dan energi. Hal ini dilakukan melalui kebijakan peningkatan produksi pangan besar-besaran di tingkat petani pada tahun 2022 lalu, dan pembenahan distribusi pupuk kepada petani di tahun 2023 ini.
Pada fase ini diperlukan suatu transformasi model pertanian, dari pertanian yang bergantung dari pupuk kimia dan pestisida atau dinamakan pertanian konvensional sekarang ini, ke pertanian yang agrokologis.
Perlu diperhatikan dalam transformasi ini bahwa akan terjadi suatu masa transisi penurunan produksi dalam suatu masa tertentu. Kemudian akan terjadi peningkatan produksi secara perlahan dan perubahan perbaikan lingkungan hidup dan ekonomi karena dengan pertanian ekologis, produksi pertanian akan semakin beragam dan kian terintegrasi dengan sumber-sumber ekonomi yang ada di kawasan pertanian tersebut.
Pada masa transisi juga diperlukan pendidikan dan pelatihan bagi petani, juga pengadaan peralatan-peralatan dan bahan-bahan lainnya untuk bisa pertanian agroekologis dijalankan.
Kader-kader Petani Partai Buruh telah membentuk dan mendeklarasikan Kawasan Daulat Pangan sebagai langkah nyata untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan, mempraktikan Pertanian Agroekologis, membangun Koperasi Petani, dan menjalankan Reforma Agraria.
Kawasan Daulat Pangan adalah sebuah kawasan yang penduduknya menerapkan konsep Kedaulatan Pangan, melalui pemanfaatan kekayaan alam yang ada disekitar kawasan pertanian secara agroekologi oleh, dari, dan untuk rakyat untuk penyediaan pangan yang cukup, aman, sehat dan bergizi serta berkelanjutan; dan berdampak pada berkembangnya ekonomi kawasan yang menyejahterakan rakyatnya.
Partai Buruh telah membangun Kawasan Daulat Pangan yang tersebar di beberapa provinsi dan kabupaten, salah satunya di Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur, sebagai sentra produksi padi. Kawasan Daulat Pangan di Kabupaten Tuban memiliki tanah pertanian seluas 1.000 hektar dalam produksinya sejak tiga tahun terakhir telah menerapkan sistem Pertanian Agroekologis, dimana pemupukan sepenuhnya menggunakan pupuk alami.
Penerapan agroekologi dan penggunaan pupuk alami dapat menurunkan penggunaan pupuk kimia sebesar 60%, mempercepat masa panen padi, kualitas hasil panen yang jauh lebih baik, dan menghasilkan pangan yang bergizi. Sosialisasi pengurangan pupuk kimia dan beralih ke pupuk alami ini sangat diperlukan, guna menyadarkan para petani bahwa pemanfaatan kekayaan alam disekitar tanah pertanian lebih baik daripada penggunaan pupuk kimia yang tidak hanya merusak kesuburan tanah, tetapi juga menyebabkan ketergantungan petani akan bahan kimia.
Pada sisi yang sama, Kementerian Pertanian meyampaikan bahwa pada tahun 2023 ini diprediksi akan memasuki musim kemarau, dan akan muncul fenomena El Nino. Maka dari itu, Presiden RI Joko Widodo dan Kementerian Pertanian melalui Surat Edaran tentang Anitisipasi Musim Kemarau 2023 dan El Nino Lemah, memberikan anjuran kepada petani untuk melakukan tanam padi segera sebagai upaya menghindari kerusakan dan gagal panen.
Beberapa wilayah di Indonesia, seperti yang dialami petani anggota Partai Buruh setelah panen padi dengan hasil yang sangat baik dan harga gabah yang bagus diterima cukup tinggi, langsung melakukan pertanaman sesuai arahan. Akan tetapi semangat petani ternodai dengan keputusan imoor beras pada akhir tahun 2022 dan sepanjang tahun 2023 ini yang ditargetkan mencapai 2 juta ton.
Pada periode Januari-Juli 2023 Pemerintah Indonesia telah mengimpor sebanyak 1,17 juta ton beras dengan nilai sekitar Rp 9,6 triliun. Bahkan belum berakhir kalender, wacana impor beras tahun 2024 telah santer diwacanakan. Akan tetapi impor tersebut tidak berdampak pada stabilitas harga beras.
Berdasarkan Data Badan Pangan Nasional per 14 Oktober 2023, rata-rata harga beras medium secara nasional sudah menyentuh Rp. 13.090 per kg. Angka ini jauh diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras Medium berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 7 Tahun 2023 sebesar Rp. 10.900 per kg.
Partai Buruh menilai bahwa kenaikan harga beras yang terjadi jangan sampai mengulang kasus minyak goreng. “Pemain Tengah” tidak boleh menikmati margin keuntungan yang terlampau besar, sementara kelas pekerja sebagai konsumen tidak dapat menjangkaunya. Karena itu, HET harus ditegakkan dengan syarat tidak menurunkan harga gabah petani dan tidak melakukan impor beras. Upaya yang harus dilakukan pemerintah yakni menertibkan pemain besar perberasan dan mengatur alur distribusi.
Guncangan pangan yang terjadi patut disadari disebabkan oleh Omnibus Law UU Cipta Kerja. Pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang mengubah, menghapus, dan mengganti UU 18/2012 tentang pangan dan UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani membuat impor pangan semakin mudah, tanpa mempedulikan produksi petani dalam negeri, hingga mempengaruhi perlindungan harga ditingkat petani dan konsumen.
Oleh karena itu, petani sebagai produsen tidak boleh dijadikan korban. Demikian juga kelas pekerja sebagai konsumen yang kesulitan menjangkau harga pangan. Sementara itu korporasi pangan membeli gabah petani dengan harga yang relatif murah kemudian mengolah gabah menjadi beras dan dijual dengan harga premium. Kondisi dan situasi tersebut harus segera ditangani serius. Badan Pangan Nasional, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan harus bertanggung jawab.
*
Ditulis oleh Angga Hermanda
Ketua Bidang Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan Partai Buruh. Tulisan ini sebagai refleksi dalam menyambut peringatan Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2023.