Padamnya Cahaya

07/09/2023 08:18 WIB

post-img

Di bulan ke delapan tahun 1945, Jepang terjengkang oleh perang.  Sekutu menjatuhkan bom atom. Hiroshima dan Nagasaki berkeping-keping. 'Negeri Matahari Terbit' sontak terbenam. Semboyan 'Hakko Ichiu' (Delapan Penjuru Dunia Di Bawah Satu Atap) menguap. 'Cahaya Asia' padam sesaat. 

Jepang kala itu di bawah kendali kaisar Hirohito. Dia pria bengis. Sosok ini bertanggungjawab atas pembantaian Nanking. Ratusan ribu warga China dibunuh, perempuan-perempuannya diperkosa. Di tanah Hindia Belanda, bala tentara pendudukan Jepang juga tak kalah buas. Satu yang bisa diingat, Romusha. Kengerian ekstra brutal kerja paksa.

Bagaimana respon Sang Kaisar saat mendapati negerinya luluh lantak? Disinilah jantung ceritanya berada. Kisah ini sendiri mungkin sudah dihaturkan ribuan kali. Dikecap-kecap dari mulut ke mulut.

Hirohito memang beringas, tapi bukan dungu. Dia melontarkan satu pertanyaan kunci. "Berapa jumlah guru yang tersisa?". Pertanyaan  lantas memperoleh jawaban: 45.000 orang. Hirohito menyaksikan harapan kebangkitan dari angka tesebut. Gagasannya adalah, Jepang akan dibangun ulang melalui pendidikan. Pada bulan September 1945, dicanangkanlah 'Pedoman Kebijakan Pendidikan untuk Pembangunan Jepang Baru'. 

Dan betul saja, mereka bangkit. Jepang muncul sebagai raksasa industri Asia dengan cepat. Jenama dagangnya menglobal. Otomotif,  elektronik, dan institusi finansialnya merambah dunia. Kurang dari dua dasawarsa sejak mengalami kekalahan perang, mereka menggelar Olimpiade Tokyo. Jepang pulih, bahkan lebih maju. Pendidikan membawa mereka beranjak menjauh dari titik buram.

Lain di Asia Timur, lain pula hikayat dari Asia Barat. Alkisah pada masa silam Baghdad tumbuh sebagai kota terkemuka. Di sana masyarakat hidup dalam kredo 'setetes tinta ilmuwan lebih mulia daripada darah para syuhada'. Baghdad memiliki rumah ilmu pengetahuan hebat. Sebuah uiversitas taraf dunia bernama Bayt Al-Hikmah (Griya Kebijaksanaan). Di tempat tersebut, aljabar, algoritma, astronomi, metalurgi, ilmu medis, dan puluhan cabang pengetahuan beranak pinak.

Baghdad kota penjaja buku, kota yang membaca. Kota itu memusuhi kebodohan. Pada mulanya semuanya tampak berseri-seri, sampai kemudian Hulagu Khan datang mengirim petaka. Pada 1258, cucu Jengis Khan itu mengulang apa yang kakeknya pernah lalukan, dengan lebih barbar. Laskar dari jauh tiba, memutar balik arah pendulum sejarah. 

Pasukan Mongol menyerbu Baghdad. Kota yang tenteram berubah menjadi ladang pembantaian. Banjir darah, rumah-rumah roboh, mayat-mayat bergelimpangan. Sebanyak-banyaknya kepala dipisahkan dari badan. Khalifah Al-Mustasim ditangkap. Di Istana Rihainiyyin, penguasa Baghdad yang malang itu dipukuli hingga tewas. Baghdad menderita sangat parah, bahkan tak sempat diijinkan mengerang.

Hulagu Khan paham sekali bagaimana menghancurkan peradaban sebuah bangsa. Bayt Al Hikmah diratakannya dengan tanah. Reaktor ilmu pengetahuan itu pun ambruk. Ratusan ribu manuskrip dan buku yang tak ternilai harganya dibuang ke sungai. Saluran arteri tersumbat oleh begitu banyak kertas berteks. Warna merah darah sungai berubah menghitam akibat larutan tinta. Tentara Hulagu Khan menunggangi kuda dari satu sisi ke sisi lain sungai di atas tumpukan ribuan buku. 

Hulagu menghukum Baghdad tanpa ampun. Hingga puluhan tahun kota itu tak juga bangkit. Apa yang kerap dinamakan 'zaman keemasan Islam' pun berakhir bersamaan dengan takluknya Baghdad dan terutama luruhnya ribuan pengetahuan di Sungai Tigris. 

Ilmu pengetahuan adalah obor diantara terowongan. Cahaya yang  bisa dipercaya. Aneka bangsa menegakkan kejayaan melalui perangkat itu. Bangsa yang lain meredup sehabis perkakas pendidikannya dihancurkan. Sedangkan negeri kita hidup dengan kondisi pengetahuan yang memilukan, juga memalukan.

Pendidikan tinggi di sini amat mahal. Hampir-hampir seperti zaman Politik Etis kolonial, hanya anak ningrat dan penggede yang bisa nyaman berkuliah. Data Juni 2022 mencatat cuma 6,41% penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi. Lebih dari separuh populasi mengalami buta huruf fungsional. Tingkat membaca berada di 10  besar terbawah dunia. Warga Indonesia suka bicara, betah berlama-berlama bersuara, seolah tahu semuanya, tapi tak (gemar) membaca. 

Tingkat Literasi Digital Indonesia juga terasa perih. Paling buncit se-Asia Tenggara. Rata-rata negara ASEAN berada di angka 70%, kita baru 62%. Jangan bandingkan dengan Korea Selatan yang mencapai 97%. Beda lagi urusan menonton film porno di internet, Indonesia bertengger di ranking 3 dunia dan konon nomor satu dunia buat partisipan judi online. Barangkali di sanalah talenta massal kita berada.

Mereka yang tidak dapat merubah fikirannya, tidak dapat merubah apa-apa. Sehingga figur seperti Bill Gates mewajibkan diri membaca 50 buku dalam setahun. Sedangkan menurut Unesco minat baca masyarakat Indonesia di angka 0,001 persen. Artinya, semisal terjadi demonstrasi yang mengerahkan 10.000 massa, di sana hanya ada 10 orang yang gandrung membaca buku. 

Suatu waktu Einstein yang jenius  melemparkan satire-nya. Dia bilang, ada tiga kekuatan besar yang menguasai dunia: kebodohan, ketakutan, dan keserakahan. Kebodohan disebut pertama. Terdepan. Jujur saja, negeri ini masih tersandera dalam kepungan kebodohan, walau kalimat "mencerdaskan kehidupan bangsa" terpahat abadi di konstitusi. 

Di hidup, saya pribadi merasakan  pedihnya menjadi bodoh. Terlampau banyak waktu terbuang karenanya. Namun ada yang lebih durhaka, si pandir yang menganggap diri pandai. Ini adalah golongan ke-empat pengelompokan manusia menurut Imam Ghozali. Mereka dilabeli  'orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu'.

Momen 'Indonesia Emas' cuma berjarak 22 tahun ke depan. Istilah ini sendiri kerap dilafakan untuk menandai 100 tahun Indonesia. Oleh para pejabat kadang-kadang 'Indonesia Emas' dibayangkan seumpama 'Utopia'. Sebuah masyarakat dambaan dengan kualitas-kualitas unggulan, sebagaimana yang pernah ditulis Thomas More. 

Menyitir Bank Dunia, posisi Human Capital Index Indonesia tertanam di urutan 130 dari 199 negara. Itu menginformasikan berada dimana kualitas manusia Indonesia. Kita tak pernah diremukkan Hulagu Khan atau dijatuhi bom atom, tapi ada kehancuran yang amat nyata. Sebagai sebuah bangsa, alih-alih berjalan mendekati 'Utopia', rasanya kita lebih menjurus pada 'Distopia'. 

Adityo Fajar - Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh