Politik Santuy

02/12/2023 13:44 WIB

post-img

 

Anak muda yang mengepalai sebuah partai, memberikan jawabannya tentang Orde Baru. Katanya, dia tidak tahu definisinya, (sebab) dirinya masih bocah pada saat itu. Pria Solo ini seakan hendak bilang, hanya saat kau tumbuh dewasa di sebuah zaman, kau baru bisa mendapatkan pemahaman tentang zaman itu. 

Sayangnya pengertian seperti ini bukan semata rapuh, juga terbilang memalukan. Seolah peradaban manusia belum mengenal tulisan, serta sejarah bukan kajian keilmuan yang eksis sejak berabad-abad. Pengertian semacam ini mungkin mencerminkan kemalasan si pelaku, juga kemanjaannya.

Bagaimanapun ketua partai merupakan sosok penting. Mungkin orang tak suka, tapi kiranya itu bukan pernyataan yang berlebihan. Sebagian dari mereka mencapai level tertinggi di kepemimpinan negara. Seyogyanya mereka dibekali pengetahuan yang memadai tentang Republik yang (konon) mereka bela. 

Seorang seperti Eugene Rogan menulis buku bertajuk 'Dari Puncak Khilafah: Sejarah Arab-Islam'.  Rogan tidak hidup di abad ke-13 ketika Dinasti Utsmaniyah didirikan. Rogan pun masih bayi merah 4 dasawarsa setelah Utsmaniyah runtuh. Dia tak hidup di zaman yang diulasnya, untuk menghasilkan salah satu buku paling otoritatif mengenai tema tersebut. 

Ibu saya belum ada ketika Proklamasi dibacakan di Pegangsaan. Melalui karya Sidik Kertapati, saya bisa membayangkan dan beropini tentang peristiwa bersejarah itu. Bocah SD berdandan ala Pangeran Diponegoro pada peringatan 17 Agustus. Dia menangkap sosok tersebut, sejak mata dan telinga menyimak cermat penuturan guru sejarah mengenai Perang Jawa.

Pada 18 Agustus 1930 Soekarno membacakan pledoinya di hadapan pengadilan kolonial Belanda. Pidato pembelaan itu dikenal luas sebagai 'Indonesia Menggugat'. Soekarno memaparkan kesejarahan 'imperialisme modern', juga 'cultuurstelsel': era dimana dia tak hidup di dalamnya. Bung Karno memahami Tanam Paksa dengan jelas, walau baru tiga dekade selesai sistem itu dijalankan, dia dilahirkan. 

Putra Sang Fajar mengisi kepalanya dengan amat baik. Di 'Indonesia Menggugat' puluhan nama tokoh dikutip. Dari Karl Marx, Troelstra,  Sun Yat Sen, hingga Sneevliet. Pemikir-pemikir besar yang diakrabinya melalui tulisan. Anak muda ketua partai ini eloknya menengok ke perangai intelektual Soekarno, bukan semata ber-gimmick sungkem ke putrinya.

Suatu waktu, anak muda yang sama mengenalkan 'politik santuy dan riang gembira'. Terus terang, saya tak bisa menangkap utuh 'kesantuy-an' politik yang hendak ditawarkan. Apakah kesantaian ini adalah cerita pribadinya belaka? Bahwa, betapa terasa santainya hidup ini; cukup tiga hari  bisa menjadi ketua umum partai.

Apa pula yang santai mengurusi 270 juta lebih penduduk Indonesia? Di dalam populasinya, angka stunting mencapai 21,6%. Lebih dari 4 juta anak tidak bersekolah. Utang Luar Negeri nyaris menembus 400 miliar USD. Sejumlah 2,45 juta kaum mudanya mengalami gangguan jiwa. Mendapati fakta-fakta ini, kosakata 'genting' lebih pantas dipakai dibandingkan 'santuy'.

Politik riang gembira apa juga yang dimaksud? Bila upah buruh terus-menerus dibegal. Demontrasi di ujung tahunnya ditanggapi sunyi. Reforma Agraria macet. Jurang penguasaan lahan menganga lebar: 1% orang kaya menguasai 68% tanah. Human Development Index belum mampu dicongkel keluar dari papan bawah dunia. Barangkali Mas, Anda masih bisa bergembira? Saya tidak!

Anak muda ini melontarkan jawaban yang kelewat 'santuy' tentang Orde Baru dan beberapa hal lain. Tetapi kewarasan manusia yang mana saja, tak akan sanggup beriang-gembira mendapati jawaban seperti itu. Bung! 'Sesantuy-santuynya' politik, ia juga membutuhkan jawaban yang patut. Kegembiraan politik tidak lahir dari ucapan sekenanya. Waton muni.


Penulis : Adityo Fajar - Ketua Kaderisasi dan Ideologi Partai Buruh