08/07/2023 20:52 WIB
Berbadan gempal, berdada bidang. Kokoh berwarna cokelat rupa lengannya. Di pundaknya seperti tertanam bukit kecil yang mulai mengempis. Perawakan seperti itu dia peroleh dari dua asal. Tumbuh sebagai keluarga petani dan kegemaran pada olahraga silat. Di wajahnya bertengger kumis tak lebat, tumbuh merambat malu-malu. Bila dipangkas pendek, rambutnya akan menjulur kaku ke atas.
Tajudin namanya. Singkat. Cuma satu kata. Nama pendek memang kerap dipakai sebagian keluarga petani di masa silam. Bila berbincang, Tajudin renyah menyelinginya dengan senyum. Kadang-kadang mulutnya terkekeh. Pria ini dikenal tegas, ramah, dan humoris sekaligus. Watak yang membuatnya dianggap cocok memimpin serikat pekerja dan mengampu kepercayaan sebagai salah seorang tetua paguyuban silat.
Di umur 37 tahun Tajudin terpilih sebagai Ketua Serikat Pekerja PT. Guangdong Power Engineering Co. Ltd (SP PT GPEC) Sumsel 1. Di Muara Enim, Sumatera Selatan, GPEC beroperasi mengembangkan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Di perusahaan tersebut Tajudin belajar memahami kembali makna menjadi kelas pekerja. Dan tak serupa es krim, itu bukan pelajaran yang lezat.
Sebagaimana jamaknya kisah buruh di republik ini, Tajudin dan kawan-kawan hidup di bawah lanskap penghisapan kapitalis yang teruk. Upah tipis tak sesuai ketentuan. Nihilnya jaminan kesehatan. Jam kerja panjang. Keselamatan kerja yang rentan. Kondisi ini menjadi sekolah permulaan bagi berkobarnya perjuangan kelas.
"Saya sederhana. Kalau benar saya bela. Kalau salah saya lawan. Jangan terbalik-balik! Saya buruh. Itu kelas saya", ungkap Tajudin mengenang mula-mula perjuangan serikat pekerja di tempat kerjanya.
Pada 2020 Serikat Pekerja GPEC menghelat pemogokan. Kondisi kerja yang bobrok direspon gerakan buruh dengan menyerukan perlawanan. Serangkaian tuntutan disiarkan. Dari status kerja, kekekurangan upah, hingga kelebihan jam kerja. Ini adalah pemogokan yang sengit. Berlangsung hingga 7 bulan lamanya.
"Ada rasa bangga bila mengingat itu. Kami, buruh, kompak dari awal hingga akhir. Tak seorang pun yang membelot dari pemogokan", ujar Tajudin sembari menampilkan wajah berbinar.
Pemogokan memberikan kepercayaan diri. Juga kemenangan sebagian besar tuntutan. Selang dua tahun, pemogokan kembali digelar dibawah komando Tajudin. Kali ini yang disasar vendor yang belum membayar upah minimum. Selain permintaan tunjangan dan tuntutan dipekerjakannya kembali mereka yang di-PHK.
"Kalau yang ini singkat. Empat hari kita sudah menang."
Perjuangan kelas semestinya telah diakrabi Tajudin sejak belia. Ayah dan ibunya petani jelata. Kakeknya transmigran dari Jawa, yang datang ke tanah Sumatera karena kesulitan nafkah. Saat kecil Tajudin sudah menjadi yatim. Ayahnya wafat terlampau cepat. Sehingga ibunya akan selalu menjadi tauladan, selimut buat hatinya, dan pondasi dukungan.
"Saya kerja sejak kecil mas. Anak yatim petani. Gak kerja, gak hidup.
Ibu saya orang hebat. Membesarkan kami dengan jerih payahnya sendiri. Saya bertani, mencangkul tanah dan menanam bersamanya", kenang Tajuddin dengan bola mata mengembun.
Seiring dengan berdirinya kembali Partai Buruh, Tajudin membulatkan tekad memasuki gelanggang politik. Figurnya yang cukup dikenal luas di masyarakat menjadi bekal awal yang dia percaya akan cukup membantu. Dia adalah pria bersahaja dengan seribu kawan.
"Saya ini anak petani, cucu dari transmigran. Besarnya ya jadi buruh. Partai Buruh ya jelas partai kami. Partainya kelas pekerja. Udah selesai era kita menitip nasib pada partai lain yang digawangi pemilik modal', tegasnya sembari memberi api sebatang rokok.
Di Pemilu 2024 Tajudin maju sebagai Calon Legislatif (Caleg) DPRD Kabupaten Muara Enim. Penyuka sayur asam ini maju di Daerah Pemilihan 2 (Kec. Rambang Niru, Gunung Megang, Belimbing dan Empat Petulai Dangku). Dapil ini terbilang padat. Demi menunaikan niatnya itu, hampir setiap hari Tajudin berkeliling ke rumah warga.
Senin dia bisa menghadiri pertemuan warga pencak silat, Rabu berbincang dengan khalayak petani. Jumat datang di rapat konsolidasi buruh. Minggu disempatkan menyambangi anak-anak muda. Dan karena daerah kediamannya bukan kota yang disinari temaram lampu berkilatan, sedang trayek yang dilalui tak melulu aspal sempurna, perjalanan Tajudin terlihat seumpama petualangan alam yang menantang.
"Saya paham, saya bukan orang kaya. Saya juga bukan anak keluarga berada. Modal utama saya persaudaraan. Persaudaraan sesama pekerja. Juga persaudaraan pencak silat. Sebagai pendekar, ini menjadi pertarungan yang menarik! Kita punya jurus namanya 'Negara Sejahrtera'. Kita pukul Si Tamak persis di ulu hatinya", jelasnya ditutup tawa riang.