Upah Minimum, Kisahmu di Masa Silam

26/09/2023 07:32 WIB

post-img

Pemerintah kolonial Belanda sedang cemas. Perang Dunia I baru  usai. Revolusi Bolshevik belum lama mengguncang Eropa. Sepasang peristiwa ini dikhawatirkan mempengaruhi hari depan politik Belanda. Sementara di tanah Hindia, kaum nasionalis makin galak menuntut reformasi politik. Pada tahun 1918, Gubernur Jenderal Johan Paul Van Limiburg Stirum, meluncurkan 'Janji November'. Langkah ini diambil demi mendinginkan ketegangan yang ada.

Di tahun-tahun itu pula, serikat-serikat buruh tengah semarak tumbuh bertunas. Seusai era SS Bond dan VSTP, berturut-turut berdiri Perkumpulan Bumiputra Pabean (PBP), Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Hindia-Belanda (PGHB), Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB), hingga Perhimpunan Kaum Buruh dan Tani (PKBT) yang didirikan di lingkungan industri gula.

'Janji November' sendiri merupakan paket reforma di sektor ketenagakerjaan. Mencakup:  peninjauan kembali kondisi kerja dan hubungan Industrial, serta proteksi hukum yang lebih luas atas buruh-buruh Indonesia. Salah satu buah dari 'Janji November' yaitu dibentuknya komisi guna menyelidiki kemungkinan penerapan upah minimum. Rencananya, upah minimum mulai diterapkan di Jawa pada1919.

John Ingleson dalam, "Buruh, Serikat, dan Politik Indonesia pada 1920-an-1930-an” (2015),  menuturkan, mayoritas anggota komisi akhirnya tiba pada dua asumsi besar. Pertama, upah minimum harus ditetapkan sedikit di bawah 'upah ideal'. Sebab, komisi menyakini industri kolonial tak akan mampu memenuhi tingkat 'upah ideal'. Kedua, kenaikkan upah mendadak akibat dipatoknya upah minimum hanya akan membuat buruh menghambur-hamburkan uang.

Sebagian besar anggota komisi mengabaikan pendekatan pendapatan minimum keluarga. Bagi mereka, bilamana itu dijadikan acuan, upah akan melambung tiga hingga empat kali lipat. Tentu saja itu akan menjadi kabar buruk buat kapitalis yang beroperasi di tanah jajahan. Sebagai gantinya, komisi merekomendasikan upah minimum harian buat laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Besarannya ditentukan tiap tahun dan berbeda-beda di masing-masing distrik.

Upah minimum tenaga kerja laki-laki mencakup kebutuhan hidup dasar berbasis biaya hidup tingkat lokal. Besarannya dimulai dari 50 sen. Upah minimum perempuan ditetapkan 80% dari nominal upah laki-laki. Untuk anak-anak ada dua klasifikasi. Mereka yang berumur 12-16 tahun sebesar 60%, sedangkan untuk usia di bawah 12 tahun hanya 40%. Tingkat upah minimum ini dihitung berdasar 10 jam kerja per hari dan 6 hari kerja setiap pekan.

Seperti di tiap epos sejarah, selalu ada kaum penyilap yang berupaya melayani kepentingan penguasa di satu sisi, sembari di sisi lain mencoba mencari muka di hadapan rakyat jelata. Mayoritas anggota komisi mencerminkan watak itu. Sementara kalangan minoritas di komisi berupaya memenangkan konsepsi upah minimum yang lebih bernyali. Mereka memiliki alat ukurnya sendiri. Uniknya, referensi yang dipakai yaitu kehidupan di penjara Batavia.

Rujukan yang digunakan ialah biaya makan sehari seorang dewasa di penjara. Angkanya tak kurang dari 42 sen. Menurut otoritas penjara, nilai tersebut merupakan batas minimum memenuhi gizi tahanan. Berdasarkan data ini, kalangan minoritas komisi menyatakan bahwa keluarga Indonesia yang terdiri dari suami, istri, dan dua orang anak akan mengalami kurang gizi jika tak berpendapatan antara 1 gulden 25 sen hingga 1 gulden 75 sen.

Bilangan itu dijadikan standar dasar darimana upah minimum akan diterapkan. Angka yang diajukan minoritas anggota komisi ini terbilang berani. Rata-rata buruh Indonesia yang bekerja di Batavia hanya berupah 30-40 sen per hari. Kecil sekali. Bahkan bilamana angka tersebut digandakan, tetap saja tak sanggup memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Ya, hanya untuk urusan makan, upah tak kuasa menjawabnya.

Kala itu ekonomi politik Hindia Belanda tengah berjalan di atas dikte kepentingan perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatera, ditambah pula industri minyak yang pelan-pelan bercokol. Satu-satunya yang bersemayam di fikiran pemilik modal adalah pasokan tenaga kerja murah terus berlangsung tanpa batas, dengan sesedikit mungkin aturan yang membatasi.

Secara vulgar maksud-maksud keserakahan mereka ini terwakili oleh pernyataan ketua Sindikasi Pengusaha Gula, bahwa kepentingan industri di tanah jajahan ialah mencetak laba, bukan mengurusi kepentingan rakyat Jawa. Demikianlah watak modal dari zaman ke zaman. Oleh karenanya Sindikasi ini pun berada di barisan terdepan menentang upaya penerapan upah minimum.

Argumen yang mereka lontarkan akan menjadi klasik, menempel dan diulang-ulang hingga di abad kemudian. Jika upah dinaikkan mereka akan dipaksa melakukan pemangkasan, efisiensi. Para pengusaha akan beramai-ramai hengkang, memindahkan usahanya. Hukum dasar modal memang tidak berubah, baik di era kolonial atau pada periode 'Pak Lurah' mencetak Undang-Undang Cipta Kerja.

Kuatnya posisi tuan kebun, industri gula dan asosiasi pengusaha, pada akhirnya membuat Gubernur Jenderal Johan Paul Van Limiburg Stirum mendiamkan semua rekomendasi dari komisi. Tuan Van Limiburg harus tunduk pada kehendak pemilik kapital. Sekalilagi sejarah menunjukkan, negara tak lebih dari komite eksekutif yang melayani kepentingan modal.

Adityo Fajar - Ketua Kaderisasi dan Ideologi Partai Buruh