Victor Jara dan Sanubari Kita

13/09/2023 16:15 WIB

post-img

Victor Jara seorang pendendang rakyat. Kadang-kadang ia disebut sebagai Bob Dylan-nya Amerika Selatan. Penyanyi folk terpandang, sutradara teater gigih, penyair yang dilumuti kegembiraan. Dia dibunuh, karena bibirnya adalah bibirnya rakyat, senandungnya berisi gelisah petani, kemelaratan buruh mengalun diantara nada dan bait yang dia ciptakan. Victor Jara menulis di salah satu lagu terakhirnya berjudul 'Manifyto', 

"Gitar ku bukan untuk orang kaya. Kami tengah bangkit untuk mencapai bintang-bintang."

Berangkat dari keluarga miskin, Victor Jara lahir di San Ignacio, 500 kilometer dari Ibukota Chile, Santiago. Ayahnya Manuel Jara, petani fakir dan buta huruf. Yang mengajari Jara kecil menuntun sapi dan berpeluh di ladang. Ibunya begitu lembut, meneteskan bakat seni kepada putranya. Amanda Martinez, Ibu yang pandai bermain musik tradisional. 

Di tengah gelapnya kemelaratan, Amanda Martinez mengerti benar makna pendidikan. Menyuruh VIctor Jara bersekolah seusai keluarga ini hijrah ke ibukota. Sayangnya sejak usia 15 tahun Victor Jara menjadi yatim piatu, sehingga mesti hidup mandiri. Seiring tahun, pelan-pelan Victor memantapkan jalan hidupnya: berkesenian.

Dia bergabung dalam gerakan Nueva Canción atau gerakan Nyanyian Baru. Nueva Canción, sedang bertumbuh hebat di tahun 1960-an. Ini merupakan mazhab seni yang bukan hanya berupaya mengawinkan musik modern dan seni tradisional Chile, tetapi juga mencakokkan protes sosial dalam tembang-tembangnya. 

Ketika Unidad Popular mengusung Salvador Allende sebagai kandidat presiden, Victor Jara bergabung dalam barisan. Saat itu Victor Jara ada di Quilapayún. Grup musik yang mempromosikan nilai-nilai kelas pekerja. Jika mampir ke Spotify, Anda bisa menyimak salah satu lagu mereka, 'El pueblo unido jamás será vencido' (Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan.) Judul itu dicomot dari slogan populer selama masa kampanye Allende.

Allende menang Pemilu. Terpilih sebagai presiden di tahun 1970. Dia menjalankan reforma sosial yang agresif. Membagi tanah. Menaikkan upah buruh. Menasionalilasi tambang. Terutama milik Amerika. Bukan saja orang-orang kaya nan rakus yang tak gembira, nun jauh di sana, Washington pun murka. Mereka menggelontorkan jutaan dollar demi menjungkalkan presiden yang sah.

Kudeta pecah pada suatu hari di saat kalender menunjuk 11 September 1973. Pinochet jenderal yang mengambil alih kekuasaan atas sokongan Amerika seketika mengamuk. Ribuan orang diciduk, disiksa, dan dibunuh. Victor Jara ikut dibekuk. Dia ditawan bersama ribuan pendukung Allende di Stadion Nasional Chile.

Kematian Victor Jara menjadi cerita  tragis, sekaligus sublim. Telapak tangan Victor Jara dihancurkan serdadu yang menyiksanya. Sembari terus memukuli, tentara Pinochet berseru, "Sekarang bernyanyilah kau, Bajingan!". Alih-alih jera atau ciut, Jara pun bangkit. Berjalan mendekat ke tribun stadion, tempat ribuan tahanan berkumpul. 

Jara menenangkan diri sejenak, lalu  dengan tubuh berlumuran darah, dia mulai menyanyikan lagu Unidad Popular dengan suara yang tak stabil. Semuanya sontak bernyanyi. Pemandangan ini benar-benar tak diduga para penyiksa. Dor! Tembakan dilepaskan. Jara pun tewas. Peluru lain diarahkan ke tribun, ditujukan ke orang-orang yang menemaninya bernyanyi.

"Victor Jara dahulu bernyanyi. Lagunya adalah senjata", desah Bono vokalis top U2, dalam lagunya 'One Tree Hill'. 

"Ingatlah Allende, dan hari-hari sebelumnya. Ingatlah Victor Jara. Di Stadion Santiago", pungkas band besar Inggris The Clash pada tembang "Washington Bullet".

Di tubuh Victor Jara ada 23 lubang peluru. Mayatnya dibuang ke jalanan kota. Tetapi sejarah tak berhenti hanya sebagai cerita korban kediktatoran, setidaknya demikian yang terjadi di Chile. "...aku akan memburumu seperti kutukan!", tulis Wiji Thukul dalam Sajak Suara. Dan di Chile, perburuan pelaku kejahatan memang terjadi, tak hanya di puisi.

Pada 2018, mereka yang membunuh Victor Jara divonis bersalah. Delapan terdakwa menerima hukuman antara 8 hingga 15 tahun penjara. Seorang lagi tersangka masih berada di Amerika. Di Indonesia, hal seperti itu masih menjadi PR. Maka PR makin terlunta-lunta akibat keramahtamahan sebagian kita kepada aktor kejahatan kemanusiaan.

Saya menulis cerita Victor Jara tepat tiga hari sebelum tanggal kematiannya, tentu punya maksud. Persis ketika hiruk pikuk dukung mendukung capres makin bergemuruh. Tanpa kecuali di partai dimana saya sekarang berada.
Tulisan saya ini adalah statemen keterus terangan. 

Saya tak akan mendukung Capres yang bertanggungjawab menghilangkan orang-orang yang ada dalam sejarah hidup saya. Saya tak bersedia membersamai jenis ujicoba yang mengarah ke sana. Benar, saya tak pernah mengenal langsung Wiji Thukul, Bimo Petrus atau Suyat. Tak sekalipun berjabat tangan dengan mereka atau bercengkrama sebagai kawan juang.  

Tetapi saya hanya tak ingin lupa darimana saya berasal. Akar yang tumbuh di jiwa saya sejak terlibat dalam dunia pergerakan. Tak mengkhianati korban, mereka yang menukar nyawa guna membuka jalan demokrasi. Ruang dimana kita  sekarang bisa berseloroh sok jago, membidik kursi dewan atau mengumbar janji politik semanis tebu.

Perjuangan yang mereka lakukan adalah perjuangan kelas, seturut konteks zamannya. Perjuangan itu yang membuat buruh lebih bebas berserikat, kaum tani punya tempat menggugat reforma agraria, serta kelas pekerja dilapangkan mendirikan partai. Kepada mereka kita berhutang. 

Ini juga tentang Indonesia yang berkeadilan. Peradaban macam apa yang hendak kita wariskan kepada generasi mendatang, jika yang ada di kepala kita bahwa kompromi bisa dilakukan untuk apa saja. Tak ada prinsip, kecuali perhitungan elektoral. Jika yang salah boleh didukung, asal memiliki peluang dan sumberdaya menjanjikan, lantas kenapa kau masih membual soal keadilan?

Hal-hal semacam ini lah yang membuat rakyat makin mual kepada politisi. Mereka yang hidup serupa bunglon. Tentu saya punya 1001 kekurangan dan bergelimang 50003 kesalahan. Tapi saya tak berniat menjadi bunglon. Saya berterimakasih dilahirkan sebagai manusia. Itu saja sudah cukup. Manusia memiliki sanubari.

Saya masih berada di titik tersebut. Apakah ini sejenis sikap puritan? Jika ada yang bilang begitu, terus terang saja: saya sama sekali tidak peduli. Dosa saya sudah terlampau banyak. Sehingga, saya tak berniat jatuh pada apa yang disebut Gandhi sebagai (salah satu) dosa sosial: politik tanpa prinsip.
 

*

Malang, 13 September 2023
Adityo Fajar
Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh