6 Debat Capres Yang Dianggap Menarik

17/12/2023 14:38 WIB

post-img

Pemilih Indonesia kembali disajikan debat Capres. Tiga capres tampil beradu argumen. Mengupas tema-tema pilihan. Bersilat lidah, berikut  baku bantah. Bagi sebagian orang itu merupakan tontonan menarik. Sebagian yang lain mungkin tak terlampau berminat. Bagi kalangan terakhir ini, barangkali debat capres dianggap 'ya begitu-begitu saja', tak mengubah nasib mereka.

Di Amerika tradisi debat kandidat presiden sudah berlangsung lama. Pada tahun 1956, Fred Kahn, mahasiswa Universitas Maryland,  mengupayakan debat capres di kampusnya. Ia berniat menghadapkan Adlai Stevenson, dari Partai Demokrat, dengan Presiden Dwight Eisenhower, dari Republik. 

Upaya Kahn masih kandas. Namun ia menarik atensi nasional. Peristiwa tersebut membantu meletakkan dasar bagi debat Kennedy versus Nixon empat tahun kemudian. Ketika Nixon akhirnya bertarung dengan Kennedy, itu menjadi sejarah kali pertama debat capres Amerika disiarkan di televisi.

Ada banyak debat calon presiden yang dianggap menarik dalam sejarah politik dunia. Kemenarikan yang disebabkan oleh alasan-alasan tertentu. Berikut 6 diantarannya :


1. Kennedy vs Nixon

Debat ini disimak banyak mata. Putaran pertama debat, tanggal 26 September 1960, ditonton 59,5%  rumah tangga Amerika yang memiliki televisi. Debat kedua, pada 13 Oktober 1960, menarik perhatian 61% rumah tangga AS. Jumlah itu sekaligus mengklaim salah satu angka teratas dari semua debat presiden Amerika. Saat itu, debat capres merupakan tontonan televisi baru bagi demokrasi Amerika.

Nixon tiba di debat dalam keadaan tidak prima. Belum lama dia dirawat di rumah sakit karena cedera lutut. Wakil presiden ini kembali mengalami cedera lutut ketika memasuki stasiun TV, tapi dia menolak membatalkan debat. Hasilnya, Kennedy terlihat dan terdengar lebih bagus. Sedangkan Nixon tampak pucat dan lelah. Keesokan harinya, jajak pendapat menunjukkan Kennedy sedikit difavoritkan dalam pilpres.


2. Lula vs Bolsonaro

Perseteruan keduanya tahun lalu mungkin setara tensi El Clasico. Istilah yang merujuk pertemuan dua kesebelasan yang memiliki rivalitas panas dan saling benci. Brazil memang sedang terpolarisasi tajam. Imbas pertikaian politik sejak Dilma Rousseff dijungkalkan dari kursi kepresidenan di periode sebelumnya. Masyarakat terbelah. Duel Bolsonaro versus Lula berlangsung panas, mewakili suhu politik yang mendidih.

Pada debat pertama, Lula menyebut Bolsonaro sebagai 'diktator kecil' dan 'raja hoaks'. Sementara Bolsonaro menuding Lula berbohong, korup, dan  memalukan. Ketika Bolsonaro memanggil Lula untuk berdiri di sampingnya, Lula menolak, “Aku tak mau berada di dekat mu!”. Di debat pamungkas, capres Partai Buruh tersebut menyalak, "Orang ini memerintah selama empat tahun dan tak ada peningkatan nyata satu persen pun!".


3. Le Pen vs Macron

Pada bulan April 2022 Marine Le Pen bersua Emmanuel Macron di meja debat. Kedua finalis presiden  saling berhadapan dalam isu biaya hidup, Rusia, perubahan iklim dan imigrasi. Di tengah jutaan pemilih yang masih berposisi ragu-ragu, keduanya mesti mengambil sikap kontras. Sepanjang debat, Macron-lah yang getol melakukan serangan. Dia lebih terlihat seperti penantang daripada petahana, dan berulang kali menyela lawannya.

Le Pen mengatakan 70% masyarakat Prancis yakin standar hidup mereka telah merosot dalam lima tahun terakhir. Macron menyerang Le Pen yang dianggap sebagai pengagum Putin dan menudingnya terlalu skeptis terhadap isu lingkungan. Seperti platform politiknya yang bernuanasa ultra nasionalis, Le Pen menjanjikan referendum mengenai siapa yang harus menetap dan  meninggalkan Prancis. Dia mengutuk apa yang disebutnya 'imigrasi besar-besaran dan anarkis'.


4. Trump vs Hillary

Beberapa media menyebutnya sebagai debat paling brutal dalam sejarah pemilu. Trump seorang miliuner, sekaligus demagog dengan mulut kejam. Dia sering tak menahan kata-katanya yang banal. Dia suka berseloroh kasar. Hillary yang dikenal berpengalaman, masuk dalam arus debat yang runyam. Pada debat presiden kedua di Universitas Washington di St. Louis tujuh tahun silam, kedua kandidat enggan berjabat tangan. 

Trump melakukan serangan kepada Hillary dengan mengungkit perilaku seksual suaminya di masa lalu, Bill Clinton, mantan Presiden AS. "Belum pernah ada orang dalam sejarah politik di negara ini yang begitu kejam terhadap perempuan." Di kesempatan lain Trump menyebut Hillary sebagai perempuan jahat. Debat diantara keduanya kerap berlangsung tak teratur, saling potong bicara, dan kandidat tak menyimak ucapan satu sama lain.


5. Megawati vs Amien Rais

Presiden Megawati Sukarnoputri menghelat perdebatan dengan calon presiden PAN, Amien Rais. Perdebatan itu adalah yang pertama dalam sejarah pemilihan presiden Indonesia. Sebab pada masa itu ajang debat capres-cawapres merupakan barang baru di Indonesia, sempat timbul perselisihan mengenai bentuk kegiatan. Apakah para capres-cawapres turun langsung atau hanya diwakilkan tim kampanye.

Ada lima pasang capres-cawapres. Debat pertama berlangsung di penghujung bulan Juni 2004, bertempat di Ballroom Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Resminya ini mempertemukan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi melawan Amien Rais-Siswono Yudo Husodo. Karena antusiasisme pendukung kandidat yang besar untuk mengikuti langsung momen perdebatan, sempat pecah kericuhan di pintu masuk. Terjadi dorong mendorong antara massa dengan petugas pengamanan.


6. Mandela vs De Klerk

Pemilu 1994 merupakan pemilu pertama yang memperbolehkan warga negara dari semua ras untuk ambil bagian. Peristiwa yang sekaligus menandai babak baru perpolitikan Afrika Selatan pasca Apartheid. Di Pilpres, Nelson Mandela, seorang pahlawan pembebasan kulit hitam yang dipenjara 27 tahun lamanya sebagai Tapol, bertarung dengan F.W. de Klerk, presiden terakhir era Apartheid. Panggung Pilpres sontak diisi representasi kekuatan lama kontra arus besar perubahan.

Mandela menggunakan panggung debat untuk menyalurkan kemarahan warga kulit hitam yang ditindas nyaris setengah abad lamanya. De Klerk, berulang kali ditunjuk Mandela sebagai pria yang 'kurang jujur' dan 'tidak tahu apa yang dibicarakan.' De Klerk dianggap telah “membuat janji-janji yang tidak jelas dan kabur” dan memimpin sebuah partai yang “sebenarnya mempromosikan kebencian rasial.” Di podium debat, Mandela melancarkan kinerja yang sangat agresif, memastikan sebuah kemenangan mutlak di Pemilu.


Penulis : Adityo Fajar - Ketua bidang kaderisasi dan ideologi Partai Buruh