6 Mantan Gerilyawan Yang Terpilih Menjadi Presiden

26/11/2023 13:50 WIB

post-img

Dari peluru ke kotak suara, 'from bullets to ballots'. Istilah ini kerap dipakai untuk menjelaskan gerakan bersenjata yang bertransformasi mengambil jalan damai via Pemilu. Mereka yang memutuskan meletakkan bedil, meninggalkan jalur klandestin, memasuki gelanggang politik yang lebih bercita rasa sipil.

Tak semua transformasi ini berlangsung sukses. Jika perang adalah politik dengan pertumpahan darah dan politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, maka yang pernah berperang tak serta merta piawai menjinakkan medan elektoral. Namun di sana, ada juga tokoh-tokoh yang berhasil. Menang. Menggapai posisi puncak. 

Berikut 6 sosok mantan gerilyawan yang berhasil memenangkan pilpres atau kursi Perdana Menteri :

1. Gustavo Petro

Pada medio 2022, lanskap politik Kolombia berubah warna. Sudah sekian dekade pendulum politik negeri itu tertahan di sisi kanan. Pemimpin koalisi sayap kiri 'Pakta Bersejarah Kolombia', memenangkan putaran kedua pemilihan presiden. Kali ini, kekuatan uang terjungkal keras. Pengusaha kaya Rodolfo Hernandez keok. 

Gustavo Petro meraih kursi presiden Kolombia dengan jutaan air mata pendukung yang menyambut. Seorang sayap kiri untuk kali pertama menjadi sosok nomor satu Kolombia. Kurang dari setahun sejak menjadi presiden, di Universitas Stanford, Petro mengisi kuliah umum. Di kampus prestisius itu dia tak malu-malu menunjukkan permusuhannya terhadap kapitalisme.

Gustavo Petro sendiri telah bergabung dalam gerakan gerilya sejak usia belia, 17 tahun. Menjadi bagian dari Gerakan 19 April/M-19 (Movimiento 19 de Abril ). Sebuah organisasi gerilya perkotaan yang aktif pada dekade 1970-1980-an. Pada umur 25 tahun, Petro ditangkap tentara karena kepemilikan senjata. Sepuluh hari dia disiksa non stop.

2. Jose Mujica

Salah seorang legenda rakyat Amerika Latin. Pepe, begitu biasa dia dipanggil, dikenal luas satu diantaranya karena gaya hidup sederhana. Seorang asketik politik dari Uruguay yang jauh dari kehidupan glamor. Sebagai presiden, dia mendiami rumah kecil di pinggiran kota. Memakai mobil VW tua dan motor Yamaha 70 sebagai kendaraan. 90% gajinya disumbangkan ke publik.

Di usia 74 tahun, Pepe menjuarai Pilpres di tahun 2009. Dalam pidato kemenangan di muka pendukungnya Mujica berujar, “Dunia sedang terbalik. Kaulah yang seharusnya naik ke panggung dan kamilah yang seharusnya mendukungmu. Sebab engkaulah (massa rakyat) yang sesungguhnya mewujudkan perjuangan ini."

Saat muda, Mujica dikenal sebagai kombatan dari kelompok gerilya Tupamaros. Sebuah grup bersenjata yang terinspirasi Revolusi Kuba. Akibat aktivitasnya, Pepe pernah menjalani pemenjaraan bawah tanah selama 12 tahun, lengkap dengan segala atribut penyiksaan barbar. Istrinya, Lucía Topolansky Saavedra, juga mantan gerilyawan yang sama di Tupamaros.

3. Daniel Ortega

Dia presiden Nikaragua. Seorang kampiun tulen, baik lewat jalan pedang maupun di ruang bilik suara. Pria berkumis ini salah satu pemimpin Frente Sandinista de Liberación Nacional  (FSLN) atau biasa dikenal Sandinista. Pada tahun 1979 Sandinista meletupkan revolusi bersenjata. Secara gemilang merobohkan junta militer Somoza. Seorang boneka Amerika yang lalim.

Daniel Ortega memenangkan kursi kepresidenan kali pertama pada 1984. Pada umur 38 tahun dia meraup lebih dari 60% suara. Itu merupakan Pemilu demokratis pertama pasca kediktatoran. Ortega melancarkan nasionalisasi sumber daya alam, reforma agraria, redistribusi kekayaan radikal, dan program literasi selama periode pertamanya menjabat. 

Sejak terpilih kembali pada 2006 sebagai presiden, Ortega menjadi satu dari sedikit simbol generasi lama revolusi Amerika Latin yang masih hidup. Lahir dari keluarga kelas pekerja, kedua orangtuanya merupakan penentang sengit kediktatoran. Lidia Saavedra, ibunya, pernah dibui oleh rejim Somoza, hanya karena menulis 'surat cinta' yang sarat kritik. 

4 . Xanana Gusmao

Xanana Gusmao tokoh dari negeri jiran yang berpembawaan kharismatik. Dia Presiden pertama Timor Leste pasca lepas dari pendudukan Indonesia. Setelahnya, dari tahun 2007 hingga 2015 Xanana menjabat sebagai Perdana Menteri. Pada 1 Juli 2023 yang lalu, dia dilantik sebagai Perdana Menteri untuk kedua kalinya.

Tidak seperti lazimnya pemimpin gerakan kemerdekaan Timor Leste, Xanana tak berdarah campuran Portugal, bukan juga datang dari keluarga bangsawan terpandang. Keluarganya petani sederhana. Ibu dan ayahnya, Antonia Hendrique Gusmão dan Manuel Gusmão, sempat mengenyam pendidikan di sekolah Katolik dan menjadi katekis.

Sebelum menjadi politisi sipil, Xanana merupakan komandan utama FALINTIL, sayap bersenjata dari gerakan kemerdekaan Timor Leste. Namanya populer, layaknya komandan FALINTIL lainnya seperti Taur Matan Ruak. Pada 20 November 1992, Gusmão ditangkap dalam operasi besar-besaran yang melibatkan 40.000 personil tentara. Xanana sempat mendekam di penjara Cipinang, Jakarta.

5. Pushpa Kamal Dahal

Figurnya sempat mencuat dalam orbit geopolitik Asia Selatan. Bersama pasukan Maois-nya, dia meratakan monarki Nepal di tahun 2008. Tiga abad kekuasaan feodal Nepal diluluhlantakkan oleh pemberontakan bersenjata dan pemogokan massa. Gyanendra menjadi raja terakhir, Nepal pun berubah menjadi Republik Demokratik Federal.

Prachanda, -begitu nama gerilya Pushpa Kamal Dahal-, mencapai puncak popularitasnya di tahun-tahun revolusi anti monarki. Pada pemilu 2008, CPN(M) muncul sebagai partai terbesar. Dan Dahal terpilih menjadi Perdana Menteri. Setelah periode maju-mundur dari jabatan (tahun 2009-2017), Prachanda dilantik sebagai Perdana Menteri sekali lagi pada tahun 2022.

Lahir dari keluarga kasta brahmana, nama semulanya Ghanashyam Dahal. Saat remaja dia mengganti sendiri namanya menjadi Pushpa Kamal (Bunga Teratai ). Selama masa gerilya, -walau nama Pranchanda berarti 'Si Galak'-, pembawaannya dikenal flamboyan dan tak pelit senyum. Di masa puncak perang melawan monarki, dia membawahi 50.000 personil bersenjata, di sebuah negeri yang saat itu hanya berpenduduk 19 juta jiwa.

6. Dilma Rousseff

Dilma Rouseeff adalah suksesor Lula da Silva di tahun 2011. Tahun ketika dia terpilih sebagai perempuan pertama yang menjadi presiden Brazil. Jika Anda membayangkan Dilma muda seperti feminis yang gemar memegang mikropon dan menyalak dari balik toa, Anda salah besar. Perempuan ini gerilyawan. Gadis berkacamata tebal dengan pistol di pinggang.

Dilma tumbuh dari rumah kelas menengah atas yang sangat berkecukupan di Belo Horizonte. Peter Rousseff, ayahnya, merupakan pelarian politik dari Bulgaria. Peter tiba di Brazil pada 1930-an demi menghindari persekusi terhadap kaum kiri di tanah airnya. Dilma menjadi seorang sosialis sejak muda. Mungkin saja 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya'.

Memilih perjuangan bersenjata usai membaca 'Revolusi di dalam Revolusi' karya Régis Debray, -intelektual Perancis yang pindah ke Kuba dan menjadi teman Fidel Castro dan Che Guevara-, Dilma bekerja di kalangan anggota serikat pekerja. Menurut majalah Piauí , di sana dia menangani urusan senjata. Sebagai ganjaran atas aktivitas subversifnya, Dilma ditangkap, disiksa, dan dipenjara dari tahun 1970 hingga 1972.

***

Penulis : Adityo Fajar - Ketua Kaderisasi dan Ideologi Partai Buruh.