6 Pidato Politik Yang Mengguncang Khalayak 

21/11/2023 13:13 WIB

post-img

Sementara sebagian pria memilih berbicara melalui pedang, banyak pemimpin politik yang dikenal karena mahir berpidato. Mereka memakai podium atau ruang persidangan secara seksama demi menyebarkan maksud-maksud politiknya. Tak sekedar berpidato, mereka membawa seni beretorika naik ke level anyar.

Soprano Amerika, Dorothy Sarnoff, secara sinistik bilang, "pastikan dirimu sudah berhenti berbicara sebelum audiens mu berhenti mendengarkan". Sergahan itu tak berlaku buat orang-orang berdaya pikat besar dalam berpidato. Dalam kasus ini, hadirin malah meminta lebih, sedetik seusai mulut orator ulung terkatup. Kalimat mereka seperti mantra. Membuai. Mengusung cahaya.

Berikut 6 pidato monumental yang pernah ada dalam sejarah politik dunia :


1. I Have a Dream, Martin Luther King Junior.


Pidato ini disebut-sebut sebagai salah satu pidato terkuat di Abad 20. I Have a Dream (Aku Punya Mimpi) diucapkan Martin Luther King dalam 'Pawai di Washington untuk Pekerjaan dan Kebebasan' pada 28 Agustus 1963.  Pidato disimak lebih dari 250.000 orang yang terlibat dalam aksi protes dalam perjuangan kaum kulit hitam Amerika.

Pada pidatonya, King menyerukan hak-hak sipil dan ekonomi, serta mengakhiri rasisme di Amerika Serikat. Dibuka dengan Proklamasi Emansipasi yang dikenalkan Lincoln pada 1863, King berkata, "seratus tahun kemudian, orang Negro masih belum bebas!". Massa di Lincoln Memorial dibahasi kagum dan terpompa semangatnya oleh pidato hebat ini. Lima tahun kemudian King tewas ditembak. Tetapi nama dan 'I Have a Dream' tetap bernyawa.


2. La Historia Me Absolverá, Fidel Castro


'Sejarah Akan Membebaskanku', begitulah terjemahan bebas judul pidato ini. Fidel Castro pada tanggal 16 Oktober 1953 membacakannya selama dua jam di hadapan pengadilan. Fidel menyampaikan pidato tersebut untuk pembelaan terhadap dakwaan yang diajukan, setelah dia memimpin serangan ke Barak Moncada di Kuba . 

Dalam pidato itu, Fidel banyak mengutip Jose Marti, intelektual dan pahlawan kemerdekaan Kuba. Fidel menyebut Batista, penguasa Kuba saat itu sebagai "monstrum horrendum (monster yang mengerikan).... tanpa isi perut." Kurang dari enam tahun setelah pidato tersebut dibacakan, Fidel bersama pasukan revolusionernya memasuki Havana. Memenangkan Revolusi. Benar, sejarah telah membebaskannya.


3. Let A New Asia and Africa Be Born, Soekarno 


Bung Karno adalah orator paling berbakat yang pernah dimiliki bangsa ini. Dulu, mungkin hingga sekarang. Di hadapan duta 29 negara peserta Konferensi Asia-Afrika pada 1955,  Soekarno menyalakan api lewat kata-kata. Dan bukan hanya api yang menyala, 'kebakaran hebat' anti kolonialisme melalap Gedung Merdeka di Bandung. 

Selama 40 menit, tak kurang dari sepuluh kali tepuk tangan panjang memotong pidato proklamator Republik kita. "Saya tegaskan kepada mu, kolonialisme belumlah mati... Kolonialisme telah berganti baju yang modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil terasing dari dalam suatu negeri.", bunyi kutipan pidato dahsyat itu.


4. Isu Iklim, Greta Thunberg


Di umur 16 tahun, gadis remaja Swedia bernama Greta Thunberg mengguncang KTT Iklim PBB 2019. Namanya menjadi buah bibir dimana-mana, bukan saja karena kebeliaannya, pun keberanian dan kecerdasan originalnya. Setahun sebelumnya, Greta memimpin aksi protes di luar Riksdag (parlemen Swedia) sambil menenteng papan bertuliskan "Skolstrejk för klimatet " ("Pemogokan sekolah untuk iklim").

Berpidato di forum PBB, Greta tak menahan diri untuk melesatkan kata-kata kerasnya. Bibirnya laksana sabit. "Kalian telah mencuri impian dan masa kecil ku dengan omong kosong kalian!". Dengan lantang gadis yang gemar mengelabang rambutnya itu berujar, "Peradaban kita sedang dikorbankan demi peluang sejumlah kecil orang untuk terus menghasilkan uang dalam jumlah besar."


5. Saya Siap Mati, Nelson Mandela


Pada tahun 1964 Nelson Mandela diseret ke pengadilan. Bersama rekan seperjuangannya, ia ditangkap. Tuduhan yang membekuknya tak sederhana, sabotase serta aktivitas gerilya. Organisasi Umkhonto we Sizwe alias Tombak Bangsa yang di pimpinnya didapuk bertanggungjawab. Di Pengadilan Rivonia, Madiba, begitu nama akrabnya, membacakan pidato 3 jam.

Pembelaan yang terinspirasi pidato terkenal Fidel Castro (La Historia Me Absolverá) itu, ditutup dengan kalimat perkasa, "Saya menjunjung tinggi cita-cita masyarakat yang demokratis dan bebas, dimana semua orang hidup bersama secara harmonis dan mempunyai kesempatan yang sama. Ini adalah cita-cita yang ingin saya jalani dan wujudkan. Tapi Tuanku, jika diperlukan, itu adalah cita-cita yang membuat saya siap mati!". 


6.  Solidaritas Palestina, Norman Filkrlstein


Mungkin ini lebih pantas disebut debat, dibanding pidato. Norman seorang profesor politik berdarah Yahudi. Pada suatu kesempatan pidato, sekira tahun 2008, dia memperoleh 'serangan' dari seorang peserta. Gadis berbaju kuning, memberi sanggahan.  "Perbandingan Israel dan Nazi itu sangat menyakitkan", ucapnya sembari menangis. Si Gadis melafalkan kesedihan bangsa Yahudi yang mengalami holocaust (genosida 6 juta Yahudi oleh Nazi).

Bukannya melumer, Norman justru bergeliat. Dia membalas, "Mendiang ayah saya berada di Kamp Auschwitz. Mendiang ibu saya di Kamp Kosentrasi Majdanek. Semua keluarga saya, dari pihak ayah dan ibu, dibantai Nazi... dan saya tegaskan tidak ada yang lebih hina, selain memanfaatkan derita nenek moyang kita, untuk membenarkan penyiksaan, aksi brutal, dan penghancuran rumah, yang setiap hari dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina. Maka saya menolak diintimidasi dan dibujuk oleh air mata. Jika memiliki hati nurani, maka kau akan menangis untuk Palestina, bukan masa lalu!".

Penulis : Adityo Fajar - Ketua Bidang Kaderisasi dan Ideologi Partai Buruh