Bukan Republik Seperti Itu

10/11/2023 16:03 WIB

post-img

Dahulu setiap awal bulan, nenek saya akan datang ke Kantor Pos. Mengantri untuk mengambil jatah uang pensiun yang tak seberapa jumlahnya. Jatah pensiun itu diberikan negara. Kakek dan nenek memang Veteran '45. Bagian dari milisi Republik. 

Keduanya terlibat dalam Revolusi Agustus sesuai takaran perannya masing-masing. Di kuburan kakek sempat ada replika bendera merah putih dengan tiang bambu. Katanya perlambang itu bukti kehormatan. Replika lantas lenyap dimakan waktu.

Konon, kakek pernah ditawan Belanda. Diikat di pohon dan menunggu waktu untuk dieksekusi. Entah bagaimana jalan ceritanya, pada akhirnya dia lolos. Menurut orang kakek saya 'sakti'. Saat bocah saya percaya itu. 

Kakek kabarnya turut dimobilisasi dalam Pertempuran 10 November. Kala arek-arek Jawa Timur baku tembak dengan Sekutu. Mengenai kisah ini, samar-samar saja saya dengar. Tidak pasti akurasinya. Tetapi paman-paman saya sangat percaya. Dan bangga.

Melihat perangai kakek saat uzur, rasanya memang benar dia pria yang tak segan menyabung nyawa. Orang ini sangat maskulin. Pergi menghadapi pasukan pemenang Perang Dunia II di Surabaya, mungkin saja amat menarik bagi hasrat maskulintasnya. 

Saya sendiri tak terlalu akrab dengan kakek. Dia kelewat galak. Gemar menyiapkan pemukul bagi siapa saja yang telat sholat. Kecuali punggung atau paha mu sangat kuat, ketika menginap di rumah kakek, sebelum bunyi adzan subuh melantun, kami harus sudah mengambil wudhu.

Di lemari kakek ada banyak koleksi kitab kuning. Dia memang pembelajar agama seumur hidup. Ada pula dua jilid buku 'Di Bawah Bendera Revolusi' karya Bung Karno. Kakek memang salah seorang pengagum besar Soekarno. 

Sementara nenek yang cantik, pernah berkisah. Suatu hari dia dipukuli serdadu Belanda hingga terkencing-kencing dan pingsan.  Badan nenek mungil. Saya bisa membayangkan bagaimana dia tak berdaya dianiaya 'londo' berambut jagung, menjulang bak 'buto', seperti tuturnya. 

Semasa Revolusi pecah, nenek bilang dia sangat jarang bertemu kakek. Mengurus anak-anaknya sendirian. Kakek sedang melalang buana demi menyambut asa tentang Indonesia Merdeka. Kadang-kadang itu membuat nenek cemas, apakah suaminya akan kembali.

Di senjakala usianya, nenek yang wajahnya sama sekali tidak Jawa, tak pernah teledor merawat 'pin republik' yang terbuat dari kuningan murahan. Penanda sejarah, dimana dia dan pasangan hidupnya menjadi salah dua eksponennya. 

Sebagian orang memiliki sejarah, -besar atau kecil-, mereka yang pernah rela mati demi sesuatu yang diyakini. Orang-orang golongan ini seperti mewakili frasa dari film perang terkenal. Bunyinya, 'life for nothing or die for something'.

Dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu, seorang penulis kawakan membagi cerita sejenis ini. Goenawan Mohamad (GM) adalah seorang essais Indonesia. Bagi penggemarnya, dia menulis bak dewa. Salah seorang paling berbakat dalam mengokestrasi kata-kata.

GM tak pernah menghadiri sesi wawancara yang mana saja sebelumnya. Tapi kali ini ada kegentingan yang dia rasa. Membuatnya bicara di muka televisi. "Ayah saya mati ditembak Belanda, dan itu demi sebuah nilai", ucapnya lirih, lalu menangis.

GM sedang marah, pun sedih. Baginya republik hari ini sedang kacau. Sejak sesosok anak muda memperoleh jalan pintas kandidasinya di Pilpres. Itu tidak baik menurutnya. Merusak hal-hal fundamental.

Tulisan terakhir GM yang saya tahu bertanggal 28 Februari 2023. Esai berjudul 'Zhuangzhi', yang dibuka dengan kalimat tanya, "Apa yang terjadi setelah rasa kecewa kepada politik?" Di sesi wawancara tv, pria tua ini mungkin sedang menjawab tanya dari tulisannya.

GM kalut. Dia mengaku akan berbuat. Baginya ini tentang Republik. Saya sendiri tak pernah sehaluan dengan GM, untuk hampir semua hal. Tetapi benar, kakek dan nenek saya, -sebagaimana ayah GM-,  tidak berjuang untuk republik yang seperti ini. Republik dimana kekuasaan begitu pongah dan masa bodoh.


*

10 November 2023
Adityo Fajar