Generasi Muda Indonesia dan Partai Buruh

17/07/2023 15:42 WIB

post-img

Penulis : Jonathan Siborutorop

Mahasiswa Politik, Filsafat, dan Ekonomi, University of New South Wales, Sydney, Australia

 

“Bangun pemudi-pemuda Indonesia

Lengan bajumu singsingkan untuk negara

Masa yang akan datang kewajibanmulah

Menjadi tanggunganmu terhadap nusa”

Kontribusi generasi muda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah kelahiran dan pembangunan bangsa Indonesia. Tokoh yang pertama kali menggagas konsep “kemerdekaan Indonesia”, Tan Malaka, mencetuskan istilah “Republik Indonesia” untuk pertama kalinya pada tahun 1925 saat usia beliau masih 28 tahun. Istilah “bangsa Indonesia” sebagai amalgamasi dari beratus-ratus suku di Nusantara dan istilah “bahasa Indonesia” sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia pertama kali digunakan secara umum dalam Sumpah Pemuda tahun 1928, yang dirumuskan oleh perwakilan-perwakilan generasi muda dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam perjuangan nasional menuju kemerdekaan dan melawan penjajahan, generasi muda memegang peranan yang utama— Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia pada usia 26 tahun, Mohammad Hatta mendirikan organisasi pelajar Perhimpunan Indonesia pada usia 20 tahun, dan Bung Tomo menyampaikan pidato menggelora yang membakar semangat memperjuangkan kemerdekaan rakyat Surabaya untuk melawan pasukan Sekutu pada usia 25 tahun. Menurut saya, tidak salah apabila kita berkata bahwa tanpa peranan penting generasi muda, Indonesia tidak akan pernah merdeka!

Generasi muda juga adalah pencetus dan pelopor dari perubahan dan pembaruan di tiap-tiap zaman di banyak negara di dunia. Generasi muda dan mahasiswalah yang turun ke jalanan Praha pada tanggal 17 November 1989 yang berhasil menjatuhkan rezim komunis di Cekoslovakia. Generasi muda dan mahasiswa kitalah yang menduduki gedung DPR RI pada tanggal 18 Mei 1998 yang kemudian sukses menurunkan rezim Suharto dan menegakkan demokrasi dan reformasi di Indonesia. Mengutip kata-kata Malcolm X, seorang aktivis hak asasi manusia asal Amerika Serikat yang memperjuangkan kesetaraan antara kulit hitam dengan kulit putih di Amerika pada dasawarsa 1960-an, “Generasi muda ialah mereka yang paling cepat menggabungkan diri dengan gerakan perjuangan dan paling cepat menyadari kewajiban mereka untuk menghapuskan keadaan-keadaan jahat yang sedang berlaku”.

Kini, dengan semakin mendekatnya pemilihan umum tahun 2024 yang akan menentukan nasib dan arah gerak bangsa dan negara Indonesia untuk lima tahun ke depan dan bahkan untuk seterusnya, generasi muda Indonesia sedang menghadapi pilihan yang barangkali terlihat sulit: bagaimana mestinya generasi muda Indonesia memandang permasalahan-permasalahan bangsa kita? Tokoh-tokoh manakah yang paling cocok untuk memimpin negara Indonesia dalam tahun-tahun yang akan datang? Dan pertanyaan yang paling penting: partai politik peserta pemilihan umum manakah yang paling mengedepankan dan memperjuangkan kepentingan generasi muda Indonesia, sebagai penerus dan pewaris bangsa Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini memang tidak mudah untuk dijawab, karena bagi generasi muda Indonesia, konsekuensi dari pilihan kita dalam Pemilihan Umum 2024 yang akan datang tidak akan hanya terasa selama lima tahun ke depan. Bagi generasi muda Indonesia, hasil dari pilihan kita pada Pemilihan Umum 2024 akan terasa seumur hidup kita, bahkan selama berpuluh tahun ke depan, terutama nanti ketika kita meneruskan obor kemajuan bangsa Indonesia. Pilihan generasi muda pada saat ini akan menjadi batu fondasi kemajuan, atau sebaliknya, awal mula kehancuran negara Indonesia ke depannya. Oleh karena itu, generasi muda Indonesia harus menimbang pilihan politik kita dalam pemilihan umum tahun 2024 yang akan datang dengan cermat dan hati-hati.

Risalah ini saya tulis dengan tujuan untuk meyakinkan generasi muda Indonesia bahwa masa depan bangsa Indonesia, entah itu berupa suatu masa depan yang gilang-gemilang atau suatu masa depan yang kelam, sepenuhnya bergantung pada pilihan kita dalam pemilihan umum tahun 2024 yang akan datang, baik dalam pemilihan pemimpin eksekutif kita (untuk memilih presiden, gubernur, walikota, dan bupati) maupun pilihan anggota legislatif kita (untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD). Setelah melalui pertimbangan yang cermat, saya menilai bahwa dalam kontestasi legislatif, Partai Buruh ialah pilihan partai politik yang terbaik bagi generasi muda Indonesia. Untuk sampai pada kesimpulan ini, saya pertama akan membahas tentang identitas diri generasi muda Indonesia: siapakah generasi muda Indonesia itu dan bagaimanakah karakteristiknya, dan tantangan-tantangan apa sajakah yang sedang dan akan dihadapi oleh generasi muda Indonesia dalam mewujudkan masa depan yang jaya bagi bangsa Indonesia. Kedua, saya akan membahas peran Partai Buruh dalam turut menyongsong masa depan bangsa kita, dan bagaimana Partai Buruh menyajikan visi, misi, dan program-program kerja yang akan membangun generasi muda Indonesia dan mempersiapkan generasi muda Indonesia untuk menjadi penerus kemajuan bangsa. Ketiga, saya akan membahas bagaimana sebaiknya generasi muda Indonesia menyikapi Partai Buruh dalam konteks pemilihan umum tahun 2024 yang akan datang.

Siapakah Generasi Muda Indonesia Itu?

Diskursus masyarakat Indonesia, baik itu dalam lingkup pemerintahan, media massa, maupun media sosial, seringkali menyebutkan generasi muda kita dengan istilah “generasi milenial”. Dalam periode keduanya, Presiden Joko Widodo menunjuk tujuh orang “staf khusus milenial” sebagai bentuk keterwakilan generasi milenial/generasi muda dalam pengelolaan pemerintahan negara Indonesia. Namun siapakah sebenarnya generasi milenial (atau generasi muda) itu, dan bagaimana kita dapat mengenalnya?

Konsep ‘generasi’ sebagaimana yang kita kenal sekarang pertama kali dikemukakan dalam buku Generations: The History of America’s Future 1584 to 2069 karya dua sejarawan asal Amerika Serikat, William Strauss dan Neil Howe, yang mencetuskan “teori generasional Strauss-Howe” yang menyatakan bahwa sejarah dunia terbagi atas generasi-generasi yang berbeda. Strauss dan Howe mendefinisikan sebuah ‘generasi’ sebagai gabungan dari semua manusia di dunia yang lahir dalam periode 20-25 tahun tertentu yang masing-masing memiliki sudut pandang dan sifat-sifat tertentu yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya. Sudut pandang dan sifat-sifat yang unik tersebut timbul dari peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi saat generasi tersebut lahir dan bertumbuh kembang. Nantinya, sifat-sifat bawaan generasi itu akan membentuk alur sejarah dunia ketika individu-individu dari generasi tersebut bertumbuh dewasa dan mengambil posisi kepemimpinan suatu bangsa.

Setelah melalui beberapa penyempurnaan dari riset-riset lainnya, teori generasional Strauss-Howe dalam perkembangan terkininya mengenal enam generasi umat manusia yang masih aktif dan berkarya sekarang: Silent Generation (tahun lahir 1928-1945), Baby Boomers (tahun lahir 1946-1964), Generasi X (tahun lahir 1965-1980), Milenial (tahun lahir 1981-1996), Generasi Z (tahun lahir 1997-2012), dan Generasi Alpha (tahun lahir 2013 dan seterusnya). Walaupun teori generasional Strauss-Howe dirumuskan dengan berdasarkan sejarah dunia Barat secara khusus, namun sekat-sekat antargenerasi yang digagas oleh teori tersebut hampir serupa dengan penggolongan generasi yang kita kenal sekarang di Indonesia. Dalam penggunaannya secara umum, “generasi muda” di Indonesia mencakup mereka yang termasuk dalam generasi milenial, Generasi Z, dan Generasi Alpha, Dalam konteks pemilihan umum tahun 2024, “pemilih dari generasi muda” di Indonesia mencakup mereka dari generasi-generasi tersebut yang telah berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah— artinya, kelompok pemilih termuda kita dalam pemilihan umum yang akan datang adalah teman-teman generasi muda kita yang lahir pada tahun 2007— mereka masih sangat muda! Generasi muda Indonesia memiliki kekuatan jumlah yang sangat besar: menurut data PBB tahun 2020, penduduk Indonesia yang berusia 17-39 tahun (pemilih yang tergolong dalam generasi muda) berjumlah kurang lebih 100 juta orang— atau nyaris 40% jumlah penduduk Indonesia! Hal ini menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia memiliki kekuatan dalam jumlah yang sangat besar, dan partisipasi generasi muda dalam menentukan pilihan secara cerdas dalam pemilihan umum tahun 2024 yang akan datang dapat sangat menentukan hasil pemilihan umum, dan arah kebijakan bangsa dan negara Indonesia pada masa yang akan datang.

Generasi milenial Indonesia adalah generasi pertama yang tumbuh di kondisi dunia dengan teknologi yang bertumbuh sangat pesat— sebagai contoh, internet pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1994, ketika generasi milenial baru lahir. Pada waktu generasi milenial mulai bertumbuh besar, media sosial yang sekarang kita gunakan baru mulai berkembang pesat: misalnya, aplikasi Facebook ditemukan pada tahun 2004, YouTube pada tahun 2005, dan Twitter pada tahun 2006. Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, untuk berinteraksi dengan orang lain yang tinggal berjauh-jauhan tidak perlu lagi bergantung pada surat-menyurat yang memakan waktu lama atau dengan sambungan telepon yang memakan biaya mahal. Sekat-sekat ruang makin mengecil dan jarak fisik tidak lagi berarti dalam hubungan sosial. Berbagi kabar dan informasi tidak lagi berpusat pada komputer-komputer yang berat, namun dapat digenggam dalam tangan sejak penemuan smartphone pertama pada tahun 2007. Semua perkembangan teknologi ini menyebabkan generasi milenial seakan menjadi “warga dunia baru”, yaitu warga dunia maya. Akibatnya, generasi milenial juga dijuluki “digital citizen”— atau jika disebut dalam istilah bahasa Indonesia, warga internet (warganet).

Jika generasi milenial dijuluki digital citizen karena telah memiliki “kewargaan baru” dalam bentuk dunia maya, Generasi Z dijuluki digital native (“pribumi digital”) sebab Generasi Z telah mengenal dan menjadi warga internet sejak kita lahir— sebagai contoh, sebuah penelitian tahun 2016 menemukan bahwa rata-rata umur pengguna baru media sosial adalah 12,6 tahun— artinya, rata-rata umur orang yang untuk pertama kalinya membuat akun media sosial pada tahun itu (2016) lahir pada tahun 2004. Temuan ini menunjukkan bahwa tingkat digitalisasi dan penggunaan media sosial pada Generasi Z jauh lebih tinggi daripada generasi milenial— sebagai contoh, aplikasi Facebook pertama diperkenalkan saat generasi milenial berusia 23 tahun, sedangkan aplikasi Facebook sendiri pertama kali digunakan saat Generasi Z berusia 13 tahun— sehingga jika dihitung secara kasar, Generasi Z mengenal Facebook 10 tahun lebih awal dalam hidup mereka jika dibandingkan dengan generasi milenial! Fenomena digital native ini menyebabkan meningkatnya literasi digital secara menakjubkan pada kaum muda kita. Generasi muda kita mulai mencari dan mendapatkan informasi dari internet dan media sosial sebagai sumber utama mereka, jauh berbeda dari generasi-generasi sebelumnya yang mendapatkan informasi dari media televisi, radio, dan cetak yang lebih terkontrol dan teratur. Generasi muda seakan ‘dibombardir’ oleh banjir informasi yang datang terus-menerus: tidak seperti dahulu, saat informasi hanya datang pada pagi hari dan petang melalui surat kabar, kini informasi datang terus-menerus selama 24 jam tanpa henti. Keadaan baru ini membuat generasi muda lebih mudah beradaptasi dan lebih cepat mencerna informasi.

Secara politis, generasi muda Indonesia lahir di masa yang sangat unik dalam sejarah bangsa kita: untuk pertama kalinya, lahir sebuah generasi Indonesia yang tidak pernah mengalami masa-masa kelam hidup di bawah bayang-bayang kediktatoran. Sebagian besar generasi milenial belum aktif berpartisipasi dalam kehidupan politik Indonesia pada masa Orde Baru, sementara sebagian generasi milenial lainnya (dan seluruh Generasi Z kita) bahkan belum lahir pada saat rezim Suharto diturunkan dalam peristiwa Reformasi tahun 1998. Generasi Z yang sekarang ini sedang beranjak dewasa adalah anak-anak dari Generasi X Indonesia yang mencakup aktivis-aktivis mahasiswa (Angkatan 1998) yang berperan penting menjatuhkan rezim Orde Baru, atau setidaknya menyaksikan sendiri jatuhnya rezim Orde Baru. Generasi milenial dan Generasi Z kita bertumbuh kembang dalam tata negara Indonesia yang relatif demokratis, yang mengenal sistem pemilihan umum yang bebas dan jujur, sehingga menurut saya generasi muda Indonesia sekarang ini patut disebut sebagai “anak-anak Reformasi”— sebuah generasi yang mewarisi negara Indonesia yang toleran dan demokratis di mana semua penduduk bebas menjalankan ibadah agama dan mempraktikkan kebudayaan mereka masing-masing, sehingga tentu generasi muda Indonesia masa kini memiliki kemauan yang sangat kuat untuk mempertahankan demokrasi dan kebebasan yang kita sedang nikmati sekarang. Karena keunikan ini jugalah generasi muda Indonesia memiliki kesadaran yang besar terhadap isu-isu keadilan sosial (social justice), yang terwujud dalan kepedulian yang besar terhadap elemen-elemen masyarakat yang lemah dan termarginalkan.

Generasi muda Indonesia juga memiliki kreativitas dan daya inovasi yang tinggi. Perkembangan pesat teknologi pada dasawarsa terakhir ini telah amat mempermudah kehidupan generasi muda— keberadaan e-commerce, transportasi daring, dan berkembangnya sejumlah start-up di Indonesia mendorong generasi muda Indonesia untuk mengaktualisasikan diri mereka dan mencari penghidupan dalam cara-cara yang sebelumnya tidak terpikirkan. Kenyataan baru ini memacu generasi muda Indonesia untuk berpikir secara out of the box: menyelesaikan masalah-masalah sederhana di sekitar kita dengan cara yang tidak umum dan inovatif, tanpa bergantung pada struktur-struktur dan cara-cara lama yang kadang memberatkan dan dianggap usang, Kreativitas generasi muda Indonesia telah menjadi pendorong ekonomi nasional yang sangat berpengaruh— sampai-sampai pemerintah Indonesia telah berupaya menggalang dan memacu kreativitas generasi muda Indonesia dengan dimasukannya unsur “ekonomi kreatif” dalam nomenklatur Kementerian Pariwisata (menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) sejak tahun 2011. Realitas baru ini menunjukkan bahwa generasi muda juga bisa menjadi pendorong perubahan kebijakan pemerintah melalui berbagai cara, terutama dengan memanfaatkan kreativitas dan daya inovasi mereka.

Meskipun demikian, generasi muda Indonesia masih kurang terwakilkan dalam pengelolaan pemerintahan Indonesia: dari 34 orang menteri dalam Kabinet Indonesia Maju yang sekarang sedang memerintah, hanya ada dua menteri yang berasal dari generasi muda—Menteri Pendidikan, Kebudayaa, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim (lahir tahun 1984) dan Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo (lahir tahun 1990). Kurangnya keterwakilan kaum muda dalam pemerintahan telah terbukti dapat membahayakan keberlangsungan bangsa dan negara— sebagai sebuah contoh yang nyata, salah satu penyebab runtuhnya Uni Soviet adalah tidak adanya regenerasi kepemimpinan selama dasawarsa 1960-1980an yang menyebabkan ketidaksiapan pemerintahan Uni Soviet dalam menjawab kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, keterlibatan generasi muda Indonesia dalam pemerintahan negara kita adalah suatu hal yang mau tak mau harus dilakukan untuk mencegah kehancuran bangsa di masa depan (do or die).

Apa Sajakah Tantangan yang Dihadapi Generasi Muda Indonesia?

Dalam menentukan masa depan bangsa, generasi muda Indonesia menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Saya mengidentifikasi beberapa tantangan utama yang dihadapi generasi muda Indonesia masa kini dan, jikalau tidak kita tangani sesegera mungkin, dapat menjadi ‘bom waktu’ yang dapat membahayakan masa depan bangsa kita: ketimpangan ekonomi, korupsi, dan krisis iklim.

Sejak berakhirnya krisis multidimensional dan runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, negara Indonesia telah mencapai prestasi yang luar biasa dalam mengentaskan kemiskinan: menurut data Bank Dunia, persentase penduduk miskin ekstrem di Indonesia telah turun drastis dari angka 69,12% pada tahun 1998 menjadi 3,55% pada tahun 2021. Produk domestik bruto (GDP) per kapita Indonesia telah naik drastis dari 459 dolar Amerika pada tahun 1998 menjadi 4.332 dolar Amerika pada tahun 2021— naik lebih dari sembilan kali lipat! Walaupun begitu, kesenjangan sosial masih terjadi, dan bahkan masih terus meningkat: setelah ada penurunan kesenjangan ekonomi sejak puncaknya pada tahun 2013 (dengan indeks Gini sebesar 40,8, di mana indeks 0 adalah tidak adanya kesenjangan sedangkan 100 adalah kesenjangan sempurna) menjadi 37,6 pada tahun 2019, pandemi virus korona (COVID-19) dan faktor-faktor ekonomi lainnya telah memperparah kesenjangan ekonomi di Indonesia, dengan data terbaru pada tahun 2022 menunjukkan indeks Gini sebesar 37,9. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ekonomi Indonesia mengalami peningkatan yang pesat, peningkatan ini kurang dirasakan oleh rakyat kecil (buruh, petani, nelayan) dan malah lebih dirasakan oleh golongan kaya. Walaupun demikian, dampak dari kesenjangan ekonomi tidak hanya berhenti kepada masalah kepemilikan harta saja: kesenjangan ekonomi dalam masyarakat kita juga akan berdampak negatif bagi akses pendidikan dan kesehatan rakyat kecil— sebagai buktinya, tidak jarang kita mendengar cerita kawan-kawan generasi muda kita yang tidak dapat melanjutkan sekolah atau mengenyam pendidikan tinggi karena tidak memiliki uang yang cukup, sedangkan masyarakat Indonesia masih banyak membutuhkan sarjana dan tenaga terdidik. Perlu keseriusan pemerintah untuk menanggulangi masalah kesenjangan ekonomi dan menciptakan kesetaraan kesempatan (equality of opportunity) bagi setiap rakyat Indonesia, terutama rakyat Indonesia yang tergolong miskin dan terdampak oleh kesenjangan sosial. Permasalahan ini harus menjadi perhatian bagi generasi muda Indonesia dalam memilih pemimpin dan partai politik yang berkomitmen untuk menanggulangi permasalahan kesenjangan ekonomi dan menciptakan negara Indonesia yang sejahtera (welfare state) dalam pemilihan umum tahun 2024 yang akan datang.

Permasalahan kesenjangan ekonomi ini juga diperparah dengan makin meningkatnya korupsi di Indonesia: lembaga internasional Transparency International yang mengukur tingkat korupsi dalam sektor publik negara-negara di dunia dengan “indeks persepsi korupsi”, di mana nilai 100 adalah ketiadaan korupsi dan 0 adalah korupsi yang merajalela, memberikan skor 34 kepada Indonesia pada tahun 2022, turun dari skor 40 pada tahun 2019. Artinya, dalam empat tahun terakhir, korupsi di Indonesia telah meningkat secara signifikan. Korupsi dalam sektor publik, seperti yang telah kita ketahui, sangat berbahaya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia— perilaku korupsi dalam sektor publik akan melanggengkan perilaku penyelewengan dan penyalahgunaan anggaran yang seharusnya dapat digunakan untuk program-program yang membantu rakyat kecil— antara lain pengadaan layanan kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas pendidikan— dan juga memperparah kesenjangan ekonomi dalam masyarakat kita. Hal ini tentu menjadi masalah yang sangat berarti bagi generasi muda Indonesia dan harus diperhatikan dalam memilih pemimpin dalam pemilihan umum tahun 2024 yang akan datang.

Permasalahan ketiga yang menjadi tantangan bagi generasi muda Indonesia adalah krisis iklim. Menurut data “Notre Dame Global Adaptation Initiative” dari Notre Dame University di Amerika Serikat, Indonesia menempati peringkat ke-107 dari 182 negara dalam hal kerentanan terhadap perubahan iklim (peringkat 1 berarti paling tidak rentan, sedangkan peringkat 182 berarti paling rentan), sedangakan Indonesia menempati peringkat ke-103 dari 182 negara dalam hal kesiapan menghadapi perubahan iklim— artinya, Indonesia adalah salah satu negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim namun sangat tidak siap menghadapi perubahan iklim. Tentu saja ini perlu menjadi perhatian generasi muda Indonesia, karena dampak dari perubahan iklim di masa kini akan sangat terasa di masa depan oleh generasi muda kita— bahkan menurut beberapa sumber, perubahan iklim di dunia masa kini telah menyebabkan suatu krisis iklim (climate crisis). Terjadinya krisis iklim di Indonesia akan menghasilkan konsekuensi yang parah: kekeringan yang makin menjadi-jadi, naiknya muka air laut, dan makin seringnya terjadi bencana alam seperti banjir dan kebakaran hutan. Bagi rakyat Indonesia, krisis iklim akan menyebabkan penurunan produktivitas pertanian, terdampaknya kesehatan penduduk, dan terdampaknya keberlangsungan masyarakat adat yang bergantung kepada alam, yang akan mengancam keragaman bangsa Indonesia. Generasi muda Indonesia perlu mencermati calon pemimpin dan partai politik manakah yang berkomitmen untuk menanggulangi krisis iklim dalam Pemilihan Umum 2024 yang akan datang.

Partai Buruh dan Generasi Muda Indonesia

Permasalahan-permasalahan di atas, walaupun terlihat mengerikan, sebetulnya dapat kita tanggulangi bersama, salah satu langkahnya adalah dengan cara memilih partai politik yang dapat mewakili kepentingan generasi muda Indonesia dalam lembaga legislatif (DPR dan DPRD). Namun pertanyaannya, partai politik manakah yang paling mewakili kepentingan generasi muda Indonesia sekarang ini? Telah kita ketahui bersama bahwa tatanan politik (political establishment) yang sekarang ini sedang berkuasa di Indonesia telah gagal menangani permasalahan kesenjangan ekonomi, korupsi, dan krisis iklim. Oleh karena itu, kita harus melihat pemimpin-pemimpin baru dan partai-partai politik yang berada di luar tatanan politik yang sekarang ini sedang berkuasa— dan pilihan yang terbaik adalah pada Partai Buruh. Tidak seperti partai-partai lainnya, Partai Buruh mengedepankan kepentingan rakyat kebanyakan dan bukan segelintir elit penguasa. Partai Buruh adalah partai politik yang tumbuh dari akar rumput perjuangan rakyat kecil: serikat buruh, petani, nelayan, dan rakyat kebanyakan. Melalui tiga belas platform Garis Besar Perjuangan Partai Buruh, generasi muda Indonesia dapat melihat visi perjuangan Partai Buruh untuk menciptakan “sebuah negara untuk semua”.

Dalam bagian-bagian selanjutnya, saya akan mengupas poin-poin platform Garis Besar Perjuangan Partai Buruh dan isu perjuangan Partai Buruh yang paling berkaitan dengan permasalahan generasi muda Indonesia masa kini dan membahas bagaimana melalui program-program kerjanya, Partai Buruh adalah partai politik kita yang paling mengedepankan kepentingan generasi muda Indonesia.

Partai Buruh Peduli Pendidikan dan Kesejahteraan Rakyat

Pendidikan merupakan isu yang masih terus menjadi permasalahan generasi muda Indonesia. Walaupun pemerintah telah menetapkan wajib belajar 12 tahun sejak tahun 2015, masih terdapat jalan panjang untuk mencapai tingkat pendidikan 12 tahun tersebut. Data tahun 2022 menunjukkan bahwa baru 27,2% penduduk Indonesia yang sudah menamatkan pendidikan setidaknya sampai lulus tingkat SLTA (SMA dan SMK). Tentu, ada banyak sekali faktor yang menyebabkan kenyataan ini: tidak tersedianya sekolah secara fisik di berbagai daerah di Indonesia, keterbatasan fasilitas pendidikan dan tenaga pengajar, dan keterbatasan ekonomi rakyat Indonesia yang menyebabkan banyak generasi muda Indonesia putus sekolah (atau bahkan tidak sekolah sama sekali!) hanya agar dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Memang betul bahwa di Indonesia sampai sekarang ini, pendidikan adalah sebuah privilese: hanya orang-orang muda yang tidak perlu khawatir tentang urusan makan esok hari atau tempat tinggal malam ini sajalah yang memiliki kesempatan dan keleluasaan untuk mengenyam pendidikan, padahal menurut pendapat saya semua generasi muda Indonesia, bahkan yang sangat miskin sekalipun, tentu ingin belajar dan mengenyam pendidikan. Oleh karena itu, memandang permasalahan kurangnya angka partisipasi sekolah secara satu dimensi, yaitu dimensi pencapaian pendidikan (educational attainment) saja, menurut saya kurang bijak. Kita perlu menyadari bahwa akar utama kurangnya pencapaian pendidikan dalam masyarakat Indonesia adalah pada kurangnya kesejahteraan ekonomi dalam masyarakat kita, sehingga jika kita mau meningkatkan pencapaian pendidikan dalam masyarakat kita, selain meningkatkan akses pendidikan secara fisik dalam bentuk pembangunan gedung sekolah dan fasilitas-fasilitas pendidikan (yang memang sangat penting bagi kemajuan rakyat), pemerintah semestinya juga perlu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh agar semua orang dapat memiliki kebebasan dan keleluasaan ekonomi untuk dapat duduk di bangku sekolah, Dengan kata lain, satu-satunya cara untuk mewujudkan kemajuan dalam bidang pendidikan dalam masyarakat kita adalah dengan menghadirkan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh rakyat. Secara konkret, kesadaran terhadap kenyataan ini telah dipraktikkan oleh Partai Buruh dengan mengajukan judicial review Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang merugikan kaum kerja Indonesia kepada Mahkamah Konstitusi, sedangkan partai-partai politik lainnya malah mendukung undang-undang yang merugikan rakyat ini, atau bahkan hanya menolak secara simbolis (lip service) saja, tanpa betul-betul memperjuangkan penghapusannya! Hanya Partai Buruhlah partai politik yang memiliki kesadaran yang nyata untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadilan dan rakyat Indonesia yang sejahtera di masa kini untuk diwarisi oleh generasi muda kita di masa yang akan datang.

Kesadaran ini jugalah yang mendorong Partai Buruh untuk memvisikan sebuah konsep “Negara Sejahtera” (welfare state), yang berarti pemerintah berkomitmen untuk membangun institusi-institusi sosial yang melindungi dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya. Elemen-elemen negara sejahtera sebetulnya sudah dapat kita lihat di Indonesia sekarang ini: adanya sekolah negeri yang gratis sampai tingkat SMA, adanya jaminan kesehatan bagi sebagian besar rakyat dalam bentuk BPJS, dan program-program lainnya yang sangat bermanfaat bagi rakyat kebanyakan. Partai Buruh menyadari manfaat dari program-program kesejahteraan yang sudah berjalan selama ini dan berkomitmen untuk mengembangkan sistem jaminan sosial yang lebih menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam poin keempatnya, Garis Besar Perjuangan Partai mencantumkan berbagai bentuk jaminan sosial yang akan diwujudkan oleh Partai Buruh: jaminan kesehatan, jaminan dana pensiun, jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan dana pengangguran, jaminan pendidikan, jaminan perumahan, jaminan air bersih, dan jaminan makanan. Segala bentuk jaminan ini diadakan dengan tujuan agar setiap rakyat Indonesia dapat menikmati hidup yang sejahtera dan tidak perlu lagi memikirkan urusan mendasar seperti makanan dan tempat tinggal, dan dapat memfokuskan diri untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan diri sesuai minat dan bakat masing-masing. Hal ini juga berlaku bagi generasi muda kita: dengan kemenangan Partai Buruh, ‘wajib belajar’ bagi generasi muda kita bukan lagi merupakan sebuah ‘perintah’ yang dititahkan negara kepada rakyat, melainkan sebuah jaminan yang diberikan dan dipastikan oleh negara secara gratis kepada setiap rakyat tanpa terkecuali— sehingga tersedia betul-betul “jaminan belajar” yang berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Untuk mewujudkan jaminan pendidikan, Partai Buruh berkomitmen untuk memperjuangkan penggratisan biaya perkuliahan bagi anak-anak buruh, petani, nelayan, dan orang miskin se-Indonesia. Program yang sekarang ini hanya tersedia secara terbatas dan tidak mudah untuk didapatkan, misalnya program beasiswa perkuliahan dan program bidikmisi, akan diperluas oleh Partai Buruh untuk mencakup semua pelajar dari golongan pekerja dan tidak mampu, secara otomatis tanpa terkecuali. Program pemerintah dalam bidang pendidikan yang sekarang sudah dijalankan dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Indonesia, antara lain beasiswa pemerintah bagi putra-putri bangsa yang berprestasi untuk mengenyam pendidikan tinggi di dalam dan luar negeri (misalnya beasiswa LPDP, beasiswa Kementerian Agama, dan program-program beasiswa lainnya) akan terus dilanjutkan agar generasi muda Indonesia, terutama anak-anak Indonesia dari golongan yang kurang mampu, dapat terus meraih mimpi melanjutkan pendidikan dan memajukan bangsa dan negara secara keseluruhan. Komitmen Partai Buruh dalam hal ini dilaksanakan dengan tujuan tercapainya “wajib belajar 15 tahun” sampai tingkat diploma dan nol buta huruf di seluruh Indonesia.

Partai Buruh menyadari bahwa permasalahan pendidikan di negara kita tidak berdiri secara terpisah dari usaha kita secara keseluruhan untuk menyejahterakan masyarakat, sehingga Partai Buruh tidak hanya berkomitmen untuk meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat kita semata secara independen dari program-program sosial-ekonomi lainnya (standalone), namun Partai Buruh juga berkomitmen untuk mengadakan program-program sosial dan ekonomi lainnya sebagai pendukung dan penopang untuk memajukan pendidikan bagi keseluruhan masyarakat kita, terutama bagi generasi muda kita, dalam bingkai kerja menyejahterakan rakyat Indonesia secara keseluruhan, antara lain dengan cara menyediakan jaminan makanan bagi rakyat miskin, jaminan kesehatan nasional, dan jaminan akses air bersih, yang semuanya akan menyokong aktivitas belajar generasi muda Indonesia. Tanpa jaminan-jaminan lainnya yang saling terkait, manfaat dari program pendidikan tidak akan terasa oleh rakyat Indonesia yang paling membutuhkannya, yakni anak-anak buruh, petani, nelayan, dan rakyat miskin kita.

Partai Buruh Memberikan Pemberdayaan Politik bagi Rakyat

Salah satu masalah yang seringkali terjadi pada partai partai-partai politik yang sedang berkuasa (political establishment) di Indonesia sekarang ini adalah tidak adanya permberdayaan politik (political empowerment) bagi rakyat banyak di Indonesia: jumlah pemilih dan anggota partai politik memang banyak, namun pemilih dan anggota partai politik tidak memiliki ruang yang cukup maupun kebebasan bersuara yang luas untuk mengutarakan pendapatnya dalam forum partai. Hal ini menyebabkan terdapatnya banyak suara dari anggota partai politik yang tidak terdengar dalam penentuan kebijakan partai— kenyataan ini merupakan sebuah kondisi yang sangat disayangkan! Kebanyakan partai politik yang sekarang ini sedang berkuasa di Indonesia diatur dari atas ke bawah (top-down) menurut perintah elit partai tanpa memperhatikan suara akar rumput partai, sehingga suara anggota dari kalangan akar rumput, yang kebanyakan berasal dari golongan buruh, petani, nelayan, pemuda, dan rakyat miskin, tersisihkan sementara suara elit partai yang rata-rata berasal dari golongan kaya dijadikan pedoman arah gerak partai, sehingga partai politik seakan-akan adalah milik pribadi atau keluarga sendiri (tentu, kita bisa melihat contoh-contoh nyata dari keadaan ini di Indonesia masa kini, ketika anak-anak atau sanak saudara dari ketua umum atau tokoh besar partai politik seperti difasilitasi untuk berkuasa dalam partai, hanya karena relasi keluarga dengan petinggi partai tanpa memperhatikan prestasi mereka secara objektif). Namun Partai Buruh melakukan hal yang sebaliknya. Partai Buruh dirancang dengan konsep pengambilan keputusan dari bawah ke atas (bottom-up), dimana semua keputusan dimulai dari aspirasi akar rumput partai— sehingga dalam praktiknya setiap suara dari masing-masing anggota partai sama penting dan berharganya dalam proses pengambilan keputusan partai. Dalam organisasi Partai Buruh, masing-masing anggota partai diberdayakan untuk menyuarakan pendapatnya, dan pendapat setiap anggota sama-sama penting dan bermanfaat dalam proses musyawarah partai. Hal ini sangat terlihat dalam Konvensi Partai Buruh beberapa bulan yang lalu: dalam memilih siapa nama calon presiden yang akan didukung oleh Partai Buruh, suara masing-masing perwakilan provinsilah yang menjadi pedoman untuk menentukan kebijakan, bukan suara elit atau perintah tokoh-tokoh tertentu dalam organisasi partai seperti yang lazim terjadi dalam dinamika partai-partai politik lainnya di Indonesia.

Bahkan dalam perjalanan penentuan calon anggota legislatif yang nantinya akan menjalankan pemerintahan negara, Partai Buruh tidak main-main dalam penentuan dan prosesnya: tidak seperti partai-partai lain yang bergantung kepada gimik usang seperti menjadikan artis sebagai calon anggota legislatif, Partai Buruh sangat konsisten dalam menentukan calon anggota legislatifnya, Partai Buruh menyadari bahwa keberadaan Partai Buruh adalah manifestasi dari perjuangan kaum kerja di seluruh Indonesia, dan oleh karena itu, setiap orang yang menjadi calon anggota legislatif dari Partai Buruh harus memiliki rekam jejak memperjuangkan kesejahteraan kaum kerja— dan bukan hanya itu, namun semua calon anggota legislatif dari Partai Buruh juga harus mengetahui dan memahami permasalahan-permasalahan manakah yang mesti diperjuangkan oleh mereka ketika nanti mereka, sebagai perwakilan dari kaum kerja, mengemban amanat rakyat dalam ruang pemerintahan. Oleh karena itu, Partai Buruh membuka ruang selebar-lebarnya bagi para pekerja untuk mencalonkan diri mereka dalam pemilihan umum, sehingga nanti dalam ruang pemerintah kita, kaum kerja kita akan diwakilkan bukan oleh artis atau tokoh publik atau selebritas media sosial yang tidak mengerti akan masalah-masalah yang dihadapi kaum kerja, namun sebaliknya, kaum kerja kita akan diwakilkan oleh dirinya sendiri, sehingga kaum kerja bisa memperjuangkan nasibnya sendiri dalam ruang pemerintahan (self-determination). Partai Buruh menolak segala jenis mahar politik (yang dalam beberapa partai, terbukti dari kasus-kasus yang sudah terbukti selama ini, bisa bernilai sampai miliaran rupiah!) yang menghalangi kaum kerja dan rakyat miskin dari berpartisipasi dalam pemerintahan negara kita sendiri. Partai Buruh memberdayakan kaum kerja yang memiliki kemauan dan visi untuk mewujudkan negara sejahtera (welfare state), yang selama ini tidak bisa terwakilkan dalam pemerintahan negara karena praktik mahar politik yang merajalela. Sebagai bentuk keterwakilan rakyat banyak dan kaum kerja dalam visi pemerintahan Partai Buruh, Partai Buruh telah mendaulat ‘orang-orang biasa’ sebagai calon anggota legislatif yang diajukan oleh partai: petani, buruh pabrik, tukang kayu, tukang sol sepatu, supir angkot, guru honorer— calon-calon legislatif dari Partai Buruh ini adalah rekan-rekan kerja kita, generasi muda Indonesia, dalam mewujudkan Indonesia yang lebih maju. Mereka ini adalah bapak-bapak kita, ibu-ibu kita, tetangga-tetangga kita, guru-guru kita yang bersahaja, supir-supir angkot dan ojek yang kita tumpangi untuk pergi ke sekolah dan kampus sehari-hari. Mereka inilah yang paling mengerti tentang kebijakan-kebijakan apa saja yang paling dibutuhkan oleh rakyat Indonesia kebanyakan (dan bukannya elit), dan mereka inilah yang sebetulnya paling merasakan dampak dari kebijakan pemerintah kita selama ini, namun sayangnya selama ini mereka tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mewakili diri sendiri dalam pemerintahan negara kita karena praktik-praktik negatif dalam partai-partai politik yang selama ini berkuasa (political establishment) yang mencegah mereka untuk menyuarakan suara dan kepentingan kaum kerja dalam ruang pemerintahan. Keputusan Partai Buruh untuk tidak memilih artis atau selebritas sebagai calon legislatif memang berlawanan dengan partai-partai politik lainnya yang sekarang ini senang mendompleng popularitas artis (yang seringkali tidak paham sama sekali dengan permasalahan apa saja yang sedang dihadapi oleh rakyat banyak, sebab keseharian mereka sendiri tidak bersentuhan dengan kehidupan rakyat kebanyakan) untuk mendongkrak popularitas partai politik mereka. Keputusan Partai Buruh ini merupakan keputusan yang anti-mainstream, namun keputusan ini juga merupakan panggilan bagi rakyat banyak di seluruh Indonesia, termasuk kita, generasi muda Indonesia, untuk ‘bangun tidur’ secara politik— untuk pertama kalinya dalam sejarah modern bangsa kita, terdapat partai politik yang seratus persen menyuarakan suara kaum kerja yang pada kenyataannya selama ini dibungkam oleh praktik-praktik yang tidak baik dalam politik kepartaian di negara kita. Partai Buruh, sebagai manifestasi dari perjuangan kaum kerja di seluruh Indonesia, hadir untuk membawa perubahan dan pemberdayaan bagi rakyat banyak di negeri kita.

Mengapa Generasi Muda Indonesia Mesti Mendukung Kemenangan Partai Buruh?

Kini, melalui keberadaan Partai Buruh, kita, rakyat Indonesia secara umum dan generasi muda Indonesia secara khusus, tidak bisa lagi disebut ‘rakyat kecil’— yaitu rakyat yang nista, lemah, dan tidak berdaya, yang hanya bisa duduk diam ketika kita menjadi korban dari kebijakan pemerintah yang memihak kepada elit-elit dan korporasi. Kita bukan lagi ‘rakyat kecil’ yang dapat dimanfaatkan sebagai tambang suara semasa pemilihan umum oleh partai-partai politik mapan yang secara sistematis melanggengkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di dalam organisasi partai politik mereka, dan setelah dipilih oleh kita, rakyat Indonesia, tidak pernah menyuarakan suara rakyat, sedangkan kita, rakyat Indonesia sendiri, hanya dibiarkan menunggu kedatangan sosok Satrio Piningit atau Ratu Adil yang didamba-dambakan akan datang (walau entah kapan datangnya) untuk menghadirkan kemajuan dan kesejahteraan bagi negeri kita. Tidak sama sekali! Sebaliknya, rakyat kita kini telah bertransformasi menjadi ‘rakyat besar’— yaitu rakyat yang penuh daya hidup, penuh inovasi, dan memiliki berbagai gagasan-gagasan cemerlang yang harus segera diterapkan demi kemajuan bangsa kita, yang semuanya itu disarikan dari pengalaman kita sendiri sebagai buruh, petani, nelayan, guru, supir angkot, pelajar, mahasiswa, dan profesi-profesi mulia lainnya. Dan bukan hanya itu, namun kita sebagai ‘rakyat besar’ kini memiliki kekuatan dan kesempatan untuk menempatkan saudara-saudara seperjuangan kita sendiri dalam ruang-ruang pemerintahan di seluruh Indonesia. Saudara-saudara seperjuangan kita yang akan kita kawal menuju kemenangan pada Pemilihan Umum 2024 yang akan datang akan menyuarakan suara kita sekeras-kerasnya di gedung DPR, DPRD, dan balai-balai kota dan kabupaten di seluruh Indonesia, semata-mata sebagai utusan kita, rakyat Indonesia. Hadirnya Partai Buruh sebagai anak kandung dari perjuangan rakyat Indonesia membuktikan bahwa rakyat Indonesia tidak perlu lagi menunggu-nunggu datangnya sosok Satrio Piningit atau Ratu Adil, namun sebaliknya, Partai Buruh hadir untuk menyadarkan rakyat Indonesia bahwa rakyat kita sendirilah sosok Satrio Piningit dan Ratu Adil yang akan membawa negeri ini kepada kemajuan dan kesejahteraan. Kita sendirilah yang harus memperjuangkan kemajuan bangsa Indonesia yang besar ini, tanpa perlu menunggu-nunggu hadirnya seorang sosok penyelamat yang masuk seperti seorang pahlawan super ke dalam gelanggang politik negara kita.

Bangunlah dan sadarlah, rakyat Indonesia! Partai Buruh, yang lahir dari rahim kaum kerja Indonesia, adalah kunci kemenangan rakyat Indonesia. Oleh karena itu, seluruh rakyat Indonesia mesti mendukung dan memastikan kemenangan Partai Buruh dalam Pemilihan Umum 2024 yang akan datang.

Buruh berkuasa, rakyat sejahtera!