Ghassan Kanafani: Penutur Tragedi Palestina 

10/10/2023 08:11 WIB

post-img

Seingat saya, itu adalah tahun 1966. Kami berlarian ke aula bioskop Nasr di Kota Gaza demi menghadiri konferensi sastra yang diadakan Persatuan Penulis Palestina. Kejutan akan terjadi di sana, dan terungkap kecantikannya jauh melampaui konferensi itu sendiri. Bahkan lebih mengejutkan dari kenyataan bahwa konferensi pada akhirnya ditunda.

Pembawa acara mengumumkan kepada peserta, mereka telah mengundang penulis muda  Ghassan Kanafani. Seorang pria kurus dan tampan lantas beranjak naik ke podium. Dia lalu berbicara dalam bahasa yang menggabungkan mimpi dengan kenyataan dalam suasana yang lebih mirip mimpi. 

Dia bercerita tentang puisi indah yang dia terima dari 'sisi lain' kehidupan yang  misterius. Itu adalah sisi kehidupan yang telah lama dicekal. Dijauhkan dari kami. Pers kami menyensornya karena sekarang mereka telah menjadi bagian dari entitas yang kalah dan ketakutan. Entitas yang didirikan di atas reruntuhan bangsa kami. Palestina.

Ghassan Kanafani memberi tahu hadirin, hari itu dia akan membaca puisi yang 'diterima' dari penulis-penulis Galilea. Mereka merupakan sederet nama. Penulis-penulis yang berukuran besar pada zaman kemudian. Mahmoud Darwish, Tawfiq Zayyad, Samih al-Qasim, Fawzi al-Asmar, dan nama lainnya. 

Ghassan pun mulai membaca,

“Di tanah air kami, mereka berbicara dengan kesedihan."

"Tentang seorang kawan yang pergi dan pulang dalam peti mati."

Penyimak lamat-lamat terperanjat. Terpaku mengelus dagu, atau menyorot mata tak berkedip. Saya kemudian merasakan kejutan brilian ini sebagai bagian dari upaya Kanafani. Upaya menyajikan penyair Galilea Palestina kepada pembaca Arab melalui sebuah buku yang mewakili portal pertama dan terindah untuk para penyair. Sesuatu yang selama ini dilupakan dan disangkal dari buku-buku kami, pers kami, dan kesadaran kami. 

Sejujurnya, saya belum membaca cerita tentang Ghassan sampai kekalahan perang tahun 1967. Saya hanya mengetahui jejak sastranya melalui karyanya yang lebih terkenal (dan dalam perkiraan saya yang paling penting), yaitu Men in The Sun. Novel Men in The Sun  disajikan secara serial  oleh Sawt  al - Arab , stasiun radio paling populer di tahun 1960-an.  Men in the Sun diterbitkan ketika Ghassan berumur pertengahan dua puluhan. 

Meskipun benar bahwa hidupnya teramat singkat, namun Ghassan Kanafani juga kaya akan literatur yang bisa ditawarkan. Peninggalan penting dari perjalanan sastra, jurnalistik, dan politiknya adalah penggabungan antara kesibukannya dalam perjuangan nasional Palestina; dengan  kegigihannya dalam menyusun teks pendek secara teratur. 

Teman-teman Ghassan mengingat kunjungan rutinnya ke Farouq Cafe di pusat Damaskus. Di situ dia memeras fikirannya, sebelum dituangkan di secarik kertas. Fadl al-Naqib menceritakan bagaimana dia rajin menulis, serajin merobek halaman yang ditulis. Ghassan tak mudah puas. Selalu menginginkan sesuatu yang lebih indah dan ekspresif. Sesuatu yang dia pahami sebagai Palestina.

Kesengsaraan hidup Ghassan Kanafani mengelilingi dirinya di semua sisi. Pertama, dia adalah seorang pengungsi, yang merupakan tragedi terbesar dan menjadi sentral kehidupannya. Terusir dari tanah air, sebagaimana ratusan ribu orang sebangsanya. Kedua, tubuhnya juga ditimpa kemalangan. Dia didiagnosis diabetes tipe 1 sejak masih bocah. 

Fadl Shururu ingat bagaimana Ghassan menyuntik dirinya sendiri dengan insulin dari waktu ke waktu atau pingsan selama konferensi di Kairo tahun 1966.  Dan saya sendiri akan selalu dengan penuh kasih mengingat cerita Ghassan tentang keinginannya untuk mendengar pendapat almarhum Dr. Ihsan Abbas menegenai 'Men in the Sun'. Ketika itu para kritikus berbaris dengan cepat, sementara Ghassan tertinggal untuk mendengar kata-kata Abbas. Ghassan brillian, tapi kerap tak bersahabat dengan peruntungan.

Sementara Ghassan menulis cerita orang-orang Palestina yang terpaksa meninggalkan tanah air mereka, Emile Habibi menulis kisah perihal mereka yang tetap tinggal.  Dalam The Pessoptimist, Habibi mengukir karyanya. Saya pernah mengatakan hal ini dalam pengantar wawancara yang saya lakukan dengan Habibi pada tahun 1987 untuk  majalah al -Hurriyyah. 

Mendiang Habibi menelepon saya untuk mengungkapkan kegembiraannya dengan pernyataan itu. Dia merasa menjadi 'yang ketiga' yang mengangkat sastra Palestina, mengacu pada Jabra Ibrahim Jabra, dan tentu saja Ghassan. Habibi tersanjung, ada namanya didekat sosok Ghassan.

Perjalanan Ghassan membentang dari Damaskus ke Kuwait hingga Beirut.  Dia bekerja sebagai penulis, jurnalis, dan editor  al-Huriyyah  dan  Muhallaq  Filastin di Lebanon, kemudian sebagai editor pendiri al-Hadaf. Dia masih editor al-Hadaf  sampai di suatu pagi, ketika ledakan mobil di luar rumahnya dekat Beirut menewaskannya.

Kehidupan singkat Ghassan Kanafani (1936-1972) memadukan produksi novel, cerpen, dan karya jurnalistik dengan komitmen untuk mengarahkan aksi politik. Dia memiliki perhatian yang tak terbatas pada kreativitas dan kebebasan berekspresi. Dia mengangkat bedil, dia juga yang menulis. Dia yang ada dalam barisan tempur, sekaligus bersenandung liris dalam sastra. 

Di stasiun radio Skandinavia di hari-hari terakhirnya, pewawancara bertanya apakah dia setuju dengan mereka yang mengatakan bahwa kesadaran tokoh-tokoh di tulisannya melampaui kesadaran Ghassan sendiri. Dia  menjawab, “Dalam pekerjaan politik saya, saya membela organisasi tempat saya berada. Tapi dalam cerita yang saya tulis, saya memberi  kebebasan untuk mengekspresikan posisi mereka sendiri tanpa syarat." 

Hari ini adalah Nakba : tragedi  itu sendiri merupakan malapetaka utama, dan nasib menyedihkan rakyat Palestina, sebagai individu dan komunitas. Kenyataan awal tentang Nakba mempengaruhi pandangan politik dan intelektual Ghassan. Tercermin dalam karyanya, dimulai dengan yang pertama, dan paling penting, 'Men in The Sun'. Dimana dia belajar secara cemerlang melukiskan tragedi.

Seperti yang dilakukan orang lain sebelum saya, saya larut menikmati citra halus dan sensitif yang dia lukis tentang kepemimpinan Palestina selama tahun Nakba. Penggambaran yang diwakilkannya dalam karakter sopir truk Abul Khaizaran. Pria yang mengangkut tiga rekannya dalam tangki air dan berujung kematian di gurun. Itu akan selalu disesapi sebagai tragedi.

Kesadaran akan tragedi selalu ada pada sosok Ghassan Kanafani, seorang intelektual dari latar belakang yang unik. Tafsir akan tragedi juga hadir dengan kefasihan yang menyakitkan dan ekspresi menawan di salah satu bab terindah dari 'Umm Saad'. Bab yang dia tulis setelah kekalahan tahun 1967 dan kebangkitan sukarela diantara pemuda Palestina untuk bergabung dengan gerakan perlawanan. 

Bab itu menyandang judul yang mencolok, "Setiap tenda tidak sama" dan  masih saya anggap sebagai salah satu contoh prosa Palestina yang paling indah. Keindahan yang selanjutnya terpancar setelahnya dalam karya penyair Mahmoud Darwish, khususnya dalam buku yang fasih dan elok, 'Di Hadirat Ketidakhadiran'. 

Ghassan seorang pembaca yang tekun dan rakus. Dia tak ragu mengikuti karya penulis yang baru muncul. Dia memperhatikan bakat sastrawan Mahmoud al-Rimawi, yang kemudian menjadi salah satu sastrawan Palestina paling terkemuka, sehingga Ghassan memberinya kepercayaan memegang kolom budaya  al -Hadaf . 

Dia juga mencermati puisi Ahmad Dahbour. Lalu menulis artikel tentang Dahbour di koran. Tulisan di koran itu kemudian digunakan Dahbour sebagai  sampul koleksi puisinya yang ketiga, 'Pilot Wihdaat'. Sineas Irak Qasem Hawal, -yang lama bekerja dengan Ghassan Kanafani pada kantor media Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP)-, bercerita tentang suatu kejadian. Ghassan datang kepadanya dengan menbawa naskah Dr. Edward Said. Dia berujar kepada Hawal, "baca dan ulas!". 

Meskipun Hawal tahu bahwa Ghassan lebih dari sekedar editor surat kabar, bahwa dia seorang kampiun penulisan, Hawal masih heran dengan sikapnya. Bagaimana mungkin Ghassan memberi tanggung jawab kepada karyawan bagian budaya seperti dirinya untuk memutuskan menerbitkan atau tidak, naskah dari seorang intelektual setinggi Edward Said? Qasem Hawal kemudian menyadari maksud  Kanafani. Dia menghormati siapapun yang bekerja di kantor redaksi dan tindakan itu didedikasikan untuk membangun institusi jurnalisme.

Dididik di sekolah Frere, Ghassan Kanafani hidup dalam pusaran diaspora, dengan pemahaman bahasa Arab yang rapuh. Karena itu, atau mungkin terlepas dari itu, dia bekerja keras meningkatkan bahasa Arabnya. Dia mengekstrak ekspresi bahasa Arab dengan cara yang paling indah dan menjadi salah satu penulisnya yang paling menawan. Dia menggabungkan tragedi manusia dengan kepekaan hati nurani rakyat. Memahami jiwa-jiwa yang terpinggirkan. Dia tetap menjadi teman setia bagi rakyat dan tidak pergi meninggalkan mereka, meskipun tubuhnya hancur pada suatu pagi yang berdarah.

Sabtu, 8 Juli 1972 di Beirut merupakan hari yang sangat panas dan lembab. Banyak penduduk pinggiran al-Huzaimiyyah di tenggara kota pergi menghabiskan akhir pekan ke desa-desa dan kota-kota di pegunungan Lebanon. Namun Ghassan Kanafani yang tinggal di lingkungan tersebut, punya rencana lain. Dia pergi bersama keponakannya yang berusia 17 tahun, Lamees Najim, untuk mendaftar di universitas. 

Sesaat sebelum pukul 10:30, lingkungan itu dikejutkan oleh ledakan besar. Sebuah bom yang ditempatkan di mobil Austin abu-abu Ghassan meledak. Menewaskan dia dan keponakannya segera. Petugas gedung terdekat yang bergegas memadamkan api menyaksikan kengerian. Jenazah gadis itu terlempar beberapa meter jauhnya, sedangkan jenazah Ghassan terbakar habis. 

Mahmoud Darwish, sastrawan besar Palestina menulis eulogi kematian buat Ghassan Kanafani. Sesuatu yang tak memelas. “Mereka meledakkanmu, seperti yang mereka lakukan di depan kita, pangkalan, gunung, dan ibu kota....peradaban ialah luka. Dan mengapa kamu? Karena tanah air di dalam dirimu itu nyata dan gamblang adanya..”

Petualangan Ghassan Kanafani sebagai salah satu pemimpin Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) berakhir oleh bom yang ditanam Mossad. Salah seorang penulis terpenting dunia Arab pergi, tetapi karyanya tinggal, menuturkan bagaimana cara Palestina bercerita. Yang bagi Mahmoud Darwis itu adalah, 'Palestina sebagai metafora, lebih kuat daripada Palestina sebagai realitas'.

 

Penulis : Adityo Fajar - Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh

* Diterjemahkan dari tulisan Rasem Al-Madhoon. Ditambahkan di berbagai bagian dan paragraf.