Hari Ibu, Hari Pergerakan Perempuan Indonesia 

22/12/2023 10:24 WIB

post-img

Ketika Ibu Iriana fotonya disandingkan dengan Ibu Negara Korea Selatan, sontak banyak komentar yang bermunculan. Di antara sekian komentar yang ada, satu diantaranya adalah untuk menghormati sosok ibu. Dalam masyarakat kita sosok ibu memang dihormati. Tak mengherankan kalau ada ungkapan "surga di bawah telapak kaki ibu." Ungkapan semacam itu masih bisa ditambah dengan istilah "ibu bumi" yang menandakan seorang ibu adalah pemberi kehidupan. Siapakah sebenarnya sosok ibu? Hal ini perlu kita renungkan dalam rangka memperingati Hari Ibu yang kita peringati setiap tanggal 22 Desember. 

Ibu bisa dikenali sebagai istri. Ketika seorang perempuan menikah ia otomatis mendapat predikat ibu--terlepas mempunyai anak atau tidak. Ibu Iriana juga sering dipanggil sebagai Ibu Iriana Jokowi sebagai penanda istri dari Bapak Jokowi. Dalam garis keturunan, entah masyarakat patriakal maupun matriarkal, ibu adalah perempuan yang melahirkan anak-anaknya.  Sementara ketika mengunjungi bank, perkantoran, dan tempat-tempat pelayanan publik akan disambut dengan sapaan, "Ibu, ada yang bisa kami bantu?" 

Semua atribusi yang menempel pada perempuan yang disebut "ibu", bermakna netral bisa juga positif. Namun sosok ibu juga bisa berubah negatif bila berkaitan dengan perempuan yang memiliki kemampuan sihir. Ada ibu yang bernama Calon Arang. Janda dari Dirah dianggap ancaman bagi masyarakat karena ilmu sihir yang dimilikinya. Ada ibu bernama Mak Lampir. Tokoh yang sangat populer di tahun 1990-an lewat serial drama radio Misteri dari Gunung Merapi, dianggap ancaman karena kekuatan sihirnya. Oleh masyarakat, sosok ibu semacam itu, sebagaimana sosok ibu tiri dalam kisah Ari Hanggara, tidak patut dijadikan panutan. Mereka dinilai sebagai ibu yang melenceng dari kodratnya sebagai seorang ibu yang seharusnya mengasihi dan menyayangi.

Kontruksi dan dominasi
Semua pelabelan tentang "ibu" merupakan kontruksi masyarakat. Dalam masyarakat yang sudah mengenal kelas-kelas sosial, perempuan lahir tidak sebagai perempuan. Masyarakat sudah menentukan berbagai aturan nilai, baik kepada perempuan maupun kepada laki-laki. Aturan ini mulai dari masalah etika, agama, budaya, politik, hingga hukum. Seorang perempuan tidak diperbolehkan melewati batas-batas nilai yang telah ditentukan, begitu pula laki-laki. Misalnya, seorang perempuan tidak diperbolehkan memakai pakaian laki-laki, dan sebaliknya. Seorang perempuan dilarang bicara teriak-teriak dan kasar karena aturan menghendakinya bertutur kata lemah lembut. Oleh karena itu, ketika mengatakan ia seorang perempuan sebetulnya ia bukan perempuan. Ia menjadi perempuan bukan karena dirinya sendiri, tetapi karena masyarakat mengkontruksikan ia adalah perempuan dengan seperangkat nilai yang menempel pada dirinya. Kontruksi tentang perempuan ini menurut siapa? Dalam masyarakat patriarkal ditentukan oleh laki-laki. Ia menjadi perempuan karena laki-lakilah yang melabeli dirinya perempuan.

Sosok perempuan dengan seenaknya diberikan sifat-sifat yang berkebalikan dengan laki-laki. Bila perempuan labil, laki-laki tegar. Bila laki-laki rasional, perempuan mengedepankan perasaan. Dalam kontruksi seperti ini, perempuan ada dibenak laki-laki, bukan dalam diri perempuan itu sendiri. Karakter-karakter yang dilekatkan pada perempuan tersebut membawa konsekuensi panjang dalam berbagai aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum maupun sosial budaya. 

Ketika perempuan tumbuh dewasa dan menjadi ibu, kontruksi itu tetap diseretnya. Seperangkat nilai sudah dilekatkan pada dirinya untuk menjadi ibu yang ideal. Sebagai pijakan, kita bisa melihat kontruksi perempuan yang dilakukan Orde Baru. Dalam Panca Darma Wanita, disebutkan bahwa wanita adalah pendamping suami, pencetak generasi penerus bangsa, pendidik dan pembimbing anak, pengatur rumah tangga dan sebagai anggota masyarakat yang berguna. Sosok seperti itulah yang dianggap sebagai ibu yang ideal. Seorang ibu ada bukan karena sendiri, tetapi karena fungsi-fungsi baik sebagai pendamping, pendidik maupun mengurus kebutuhan-kebutuhan domestik. Bila seorang ibu melenceng dari fungsi tersebut, ia akan mendapatkan label sebagai ibu yang tidak baik. 

Identifikasi lewat kontruksi dan dominasi terhadap perempuan tersebut memang bermasalah. Bila memakai rujukan Adorno, setiap indentifikasi akan menghasilkan non-indentitas.  Ketika masyarakat patriakal melakukan indentifikasi terhadap perempuan berdasarkan ideologi maupun kerangka teori tertentu, sebetulnya hal itu merupakan upaya untuk mendominasi. Indentifikasi tersebut tidak akan bisa melihat perempuan apa adanya, namun malah mereduksinya. 

Kebebasan
Di antara sekian banyak ibu, banyak di antaranya dari kaum miskin. Ibu dari kalangan ini banyak menghadapi problem kehidupan, dari masalah domestik sampai masalah sosial. Masalah domestik yang dialami di antaranya tentu saja Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Lemahnya posisi ibu membuat rentan terhadap kekerasan baik fisik maupun psikis. Menghadapi persoalan ini, organisasi kaum miskin haruslah total memberikan advokasi kepada korban KDRT. Perjuangan ini penting mengingat perjuangan untuk melawan segala bentuk KDRT merupakan bagian dari perjuangan untuk menjaga harkat dan martabat manusia. 

Selain masalah KDRT, persoalan lain yang dihadapi oleh ibu yang berasal dari kaum miskin adalah masalah kesehatan, terutama saat mengandung dan melahirkan. Saat mengandung seorang ibu banyak membutuhkan asupan gizi agar janin yang ada dalam kandungan bisa tumbuh dengan baik. Namun karena kurangnya pendapatan ekonomi keluarga, seorang ibu kesulitan mencukupi kebutuhan gizi. Akibatnya, perkembangan janin pun menjadi terhambat. Begitu pula ketika melahirkan. Waktu melahirkan seorang ibu membutuhkan pelayanan agar bisa melahirkan dengan selamat. Pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin membutuhkan perhatian khusus. Setelah melahirkan, seorang ibu membutuhkan gizi untuk menghasilkan asi yang berkualitas. Hal penting agar tidak terjadi stunting. Kita tahu masalah stunting masih menjadi problem dalm masyarakat, terutama dalam keluarga miskin. Oleh karena itu, seorang ibu setelah melahirkan perlu mendapatkan perhatian atas kebutuhan kesehatan, gizi dan ketenangan psikis. Oleh karena itu, organisasi kaum miskin harus memperjuangkan agar kesehatan ibu dan bayi bisa terjamin. 

Selain masalah di atas, persoalan lain yang tak kalah penting adalah masalah hak-hak sebagai pekerja. Banyak di antara ibu yang berasal dari masyarakat miskin juga bekerja. Namun seringkali mereka tidak mendapatkan hak-haknya, seperti upah, jaminan kesehatan dan lainnya. Oleh karena itu, organisasi kaum miskin juga perlu memperjuangkan problem-problem seperti ini.

Hari Ibu merupakan momentum bagi kita semua untuk memperjuangkan kepentingan kaum ibu. Ibu harus mendapatkan kebebasannya baik secara fisik maupun psikis sehingga bisa berkembang baik secara politik, ekonomi dan sosial budaya. Ibu, sebagaimana manusia lain memiliki hak untuk berkembang menjadi pribadi yang mandiri, bebas menentukan pilihannya sendiri dalam menjalani kehidupannya. Mari kita perjuangkan kepentingan kaum ibu. Selamat Hari Ibu. *

PERJUANGKAN HAK-HAK RAKYAT MISKIN INDONESIA !


 
Ditulis oleh Dika Moehammad - Sekretaris Nasional, Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)