Jumisih, Pejuang Kesejahteraan Buruh dan Perempuan

03/07/2023 12:50 WIB

post-img

 

“Tahukah engkau semboyanku? 'Aku mau!' Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata 'Aku tiada dapat!' melenyapkan rasa berani. Kalimat 'Aku mau!' membuat kita mudah mendaki puncak gunung." (Kartini)

 

Penggalan kalimat dari Kartini di atas, layak untuk menggambarkan sosok Jumisih yang gigih memperjuangkan kaumnya. Di kalangan buruh, utamanya buruh perempuan, nama ‘Jumisih’ tentu tak asing. Lantaran, hampir separuh masa hidupnya dan setiap tarikan nafasnya digunakan untuk kepentingan bersama, yakni memperjuangkan kesejahteraan kelas pekerja. 45 tahun silam, tepatnya November 1978, Jumisih kecil dilahirkan di kota kecil,  Pati Jawa Tengah.  Ia tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang sederhana. Pendidikan ‘dasar’ hingga ‘tingkat pertama’, pun di selesaikannya di sana.

Seperti mimpi gadis remaja pada umumnya, Jumisih berencana melanjutkan pendidikan hingga SLTA. Namun keterbatasan finansial keluarga, memaksa Jumisih menunda mimpi kecilnya. Saat itu, Jumisih yang masih berusia belia, ia diusulkan oleh orang tuanya untuk bekerja, guna menambah pemasukan keluarga. Dengan niat mulia, Jumisih pun pergi ke Surabaya. Tekadnya adalah membantu perekonomian keluarga termasuk membantu biaya sekolah kakaknya. Sesampainya, Jumisih pun langsung bekerja, memeras keringat dan membanting tulang di ‘Kota Pahlawan’.

“Waktu itu bekerja sebagai ‘buruh anak’ selama dua tahun. Buruh anak itu adalah buruh, yang secara usia memang belum dewasa. Karena memang dulu pengawasan terhadap identitas tidak seketat seperti saat ini.”

Setelah dua tahun bekerja, dari 1993-1995, Jumisih pun kembali ke kampung halaman. Harapannya adalah mewujudkan impian yakni melanjutkan pendidikan. Namun, ujian lagi-lagi menghampiri. Bapaknya sakit parah. Keluarga meminta dirinya untuk tidak melanjutkan sekolah. Jumisih kecewa, karena terlanjur bahagia membayangkan dirinya memakai seragam putih abu-abu.

Suatu ketika, Jumisih bercerita kepada gurunya usai jam Penataran P4, bahwa dia tak bisa melanjutkan sekolah.

“Waktu itu aku cerita kondisi yang sebenarnya. Keinginan untuk sekolah tapi tidak memiliki biaya. Dan ketika aku bertanya apakah bisa dibantu, ternyata bisa. Jadi selama tiga tahun sekolah, aku dibesarkan sebagai anak angkat oleh guruku yang mengajar mata pelajaran Perbank-an itu,” kenang Jumisih.

Selama sekolah, Jumisih adalah siswa yang berprestasi lantaran dari Kelas 1 sampai kelas 3, Jumisih selalu menyandang peringkat pertama di kelas. Jumisih betul-betul menikmati menjadi siswa bahkan menyukai lomba-lomba, termasuk lomba pidato. Belakangan dia menyadari, bahwa bakatnya yang piwai berorasi bisa jadi karena kesukaannya mengikuti Lomba Pidato.  

 

Jumisih masuk dunia kerja

Jumisih lulus SLTA 1998, sempat terbersit di benaknya untuk kuliah di Jakarta. Tapi dirinya sadar, keterbatasan ekonomi membuatnya lebih memilih untuk bekerja, mengadu nasib di ‘Ibu Kota’. Jumisih pun tiba di Jakarta, pasca terjadinya peristiwa berdarah yakni ‘Kerusuhan 98’. Jumisih masih bisa melihat dengan nyata bekas kerusuhan. Gedung-gedung terbakar menghitam, kaca pecah berserakan, dan kondisi ‘Ibu Kota’ yang masih mencekam. Meski begitu, Jumisih pantang mundur. Ia memantabkan diri untuk tetap melamar kerja. Akhirnya, Jumisih diterima di salah satu perusahaan yang memproduksi gaun pengantin, milik pengusaha asing. Awalnya Jumisih bekerja di bagian HW (hand work) yang memasang monte-monte pada gaun pengantin, kemudian dipindah ke bagian Administrasi Gudang. Tugasnya adalah menyediakan dan mengeluarkan aksesories ke bagian produksi, dan membuat laporan bulanan.

Saat bekerja inilah, cakrawala Jumisih terbuka melihat fakta-fakta di pabrik.  Jumisih sering mendengar kata-kata kasar dari para atasan jika teman-temannya tidak memperoleh target produksi yang sesuai. Tidak hanya itu, ia juga menyaksikan temannya pingsan di jam kerja tetapi tidak diperbolehkan pulang. Begitulah rupanya, Jumisih baru menyadari bahwa dunia kerja takak seindah yang ia bayangkan semasa sekolah. Sebagai buruh pabrik, ia pun merasakan sulitnya mengkases toilet karena antri dan waktu sholat yang dibatasi.

Mengenal Pemogokan dan Serikat Buruh

                Tiga tahun berselang yaitu pada 2001, menjadi momentum tersendiri bagi perjalanan hidup Jumisih. Perusahaan tidak sepenuhnya membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) jelang Idul Fitri. Jumisih dan kawan-kawannya berang kemudian melakukan mogok spontan.  Sayangnya, mogok itu gagal dan berbuntut intimidasi.

Beberapa hari berselang, saat jam istirahat kerja, Jumisih dan kawan-kawan didatangi oleh beberapa mahasiswa yang sedang melakukan live in di buruh. Mereka ditugaskan oleh organisasinya untuk melakukan pendampingan terhadap buruh. Dari moment itulah, Jumisih dan teman-temanya belajar tentang cara-cara melakukan mogok dengan persiapan yang matang. Setiap pulang kerja, Jumisih didampingi para mahasiswa itu melakukan pertemuan-pertemuan per-bagian baik itu bagian Cutting, Sewing, Quality Control, Hand Work hingga Ware House dan Finishing. Isi pertemuan adalah membahas masalah-masalah di pabrik yang dirangkum menjadi tuntutan, taktik memobilisasi massa hingga menyusun perangkat aksi. Selang 1 bulan kemudian, mogok itu terjadi selama 3 hari dengan kekuatan penuh. Produksi terhenti total karena 420 buruh keluar dari pabrik dengan mengusung 21 tuntutan.  Kantor Kementerian Tenaga kerja pun sempat menjadi sasaran mogok dan menginap.    

“Di situ kami selama satu bulan mempersiapkan diri untuk mogok kerja. Mogok dengan persiapan dan perencanaan yang matang. Bukan lagi secara spontan. Melayangkan 21 tuntutan, dan kami menang.”

Dari pengalaman mogok itulah, Jumisih mengenal serikat buruh FNPBI (Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia). Di organisasi ini, Jumisih kemudian belajar tentang hukum kebebasan berserikat dan hak-hak yang seharusnya diterima buruh. Jumisih mulai familier dengan kata solidaritas, militansi, dan berjuang sampai menang. Jumisih antusias menjalankan kerja-kerja advokasi sebagai pengurus serikat bidang advokasi. Saat anggotanya diputus hubungan kerjanya (PHK), diintimidasi, dimutasi, dan lain-lain, Jumisih getol membela anggota. Jiwanya bergejolak setiap melihat ketidakadilan.

Pada 2003, adalah babak berbeda pengalaman Jumisih dalam mengadvokasi buruh. Pasalnya, pengusahanya kabur ke negara asalnya tanpa pamit, dengan meliburkan buruh selama 11 hari. Begitu 11 hari berlalu, pengusaha tak kembali, tak ada kabar, tak memberi upah apalagi pesangon. Jumisih dan pengurus serikat yang lain dengan sigap mengambil keputusan untuk menduduki pabrik. Mereka menerapkan sistem jaga/piket di pabrik, demi menjaga asset agar tidak dikuasai pihak lain. Harapannya, dengan asset itu hak-hak teman-temannya akan didapat. Solidaritas pun digalang, aksi-aksi dilakukan ke pihak menegemen kawasan dan ke pemerintahan. Jalur litigasi dan non litigasi dipadukan. Dalam kerja-kerja advokasi itu, tak jarang Jumisih dan teman-temannya berhadapan dengan preman, bahkan aparat penegak hukum yang bermain culas. Selang 2 tahun kemudian, Jumisih berhasil melelang pabrik pada 2005. Dari lelang pabrik itulah Jumisih membayar upah dan pesangon teman-temannya. Ini adalah pengalaman tak terlupakan bagi Jumisih, memperoleh pengalaman dan pembelajaran hidup.  Jumisih meyakini bahwa “selagi manusia berusaha dan berjuang sebaik-baiknya, maka hasil pasti didapat.” Begitulah hidup ini, kata Jumisih.

Pasca melahirkan pada akhir 2007 Jumisih sempat vakum di organisasi. Pada 2009 Jumisih   kembali beraksi untuk menggalang persatuan, khususnya bagi buruh dan perempuan. Jumisih, bersama kawan-kawannya membangun serikat pekerja, bernama FBLP (Federasi Buruh Lintas Pabrik), yang pada awalnya hanya sebuah forum pekerja. Dengan target konsentrasi awal di Jakarta bagian utara, Jumisih bergerak mengorganisir buruh dan perempuan. Upaya itu dilakukan secara door to door di kontrakan buruh, menyusuri gang demi gang di perkampungan padat buruh. Pembahasan yang dibicarakan saat bertemu buruh adalah terkait kondisi kerja yang tidak pasti dan sistem skors (lembur paksa tanpa upah) yang marak diterapkan oleh pengusaha. Isu ini menjadi pintu masuk untuk membahas isu yang lain seperti sistem kerja kontrak yang menggurita, PHK sewenang-wenang, target produksi yang tinggi, jam kerja yang panjang, pelanggaran hak maternitas buruh perempuan hingga kondisi tempat tinggal yang tak layak huni karena minim ventalisasi udara, toilet yang tidak memadai, dan akses air bersih yang mahal karena harus membeli.

 

Memimpin Pemogokan, Mengatur Strategi Penyadaran, dan Meluaskan Basis Anggota

Waktu terus berjalan, Jumisih dan FBLP-nya pun rutin membagikan selebaran sebagai bahan bacaan buruh, diskusi-diskusi, beraliansi dengan Serikat buruh lain dan terlibat dalam aksi-aksi yang di selenggarakan bersama. Dalam rangka merespon kenaikan Upah DKI untuk tahun 2011, aliansi serikat buruh Forum Buruh DKI (FB DKI) dimana FBLP terlibat  bersepakat menyelenggarakan pemogokan Kawasan Berikat Nusantara (KBN) sebagai basis buruh garmen terbesar di Jakarta. Pemogokan itu digelar pada 26 November 2010, dengan tuntutan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI menjadi 1,4 juta rupiah. Ini adalah pemogokan pertama kawasan industri yang melibatkan sekitar 80.000 buruh, mayoritasnya adalah perempuan. Pemogokan ini menggemparkan Jakarta, sekaligus menginspirasi kawasan-kawasan industri lain melakukan pemogokan serupa pada tahun-tahun berikutnya.

Pemogokan kedua digelar pada 3 Desember 2010, namun serikat-serikat lain nyaris tidak terlibat lagi. Jumisih mengambil kepemimpinan lapangan di atas mobil komando dan menggerakkan buruh dari 1 pabrik ke pabrik lain. Kawasan industri menjadi lautan manusia untuk kedua kalinya. Puluhan ribu buruh yang mayoritas perempuan ini dengan sangat berdaya mengekspresikan kemarahan kolektif dengan tuntutan utama upah. Mereka menyadari betul bahwa tanpa tangan-tangan terampil mereka, mesin-mesin di pabrik hanya rongsokan tidak berguna. Di luar isu upah mereka juga menyuarakan ragam persoalan seperti lembur paksa tanpa bayar, target kerja yang tidak manusiawi, dan lain-lain. Dari pemogokan ini, Jumisih dan organisasinya semakin dikenal massa buruh secara luas. Kontak-kantak baru diorganisir dan kemudian distrukturkan menjadi basis FBLP.

Pada 2012, Jumisih bersama rekannya Dian Septi dan kolektif di FBLP mendirikan Radio Komunitas Marsinah FM. Radio ini didirikan sebagai upaya untuk menjangkau buruh-buruh perempuan yang masih kekurangan informasi akan hak-haknya. Hal ini karena jam kerja panjang yang menguras waktu, sehingga kerap ketinggalan informasi. Dengan mendengarkan radio diharapkan buruh perempuan bisa tetap belajar terkait hak-haknya. Nama Marsinah diambil dari sosok buruh perempuan asal Nganjuk yang menjadi korban Orde Baru karena membela buruh. Begitulah, Jumisih dan kawan-kawannya menggunakan radio sebagai media berbagi informasi sekaligus kampanye tentang pentingnya buruh berorganisasi. Hingga kini, Marsinah FM tetap mengudara dengan konten-konten kekinian mengikuti zamannya. Upaya membangun radio komunitas ini pun mendapat penghargaan sebagai nominator dalam “Liputan 6 Award.”

Bagi Jumisih, ragam taktik bisa dilakukan demi memajukan buruh dan perempuan. Penggalian strategi untuk memajukan buruh dan perempuan adalah perjuangan yang tiada henti. Buruh yang menjadi korban dari sistem ekonomi kapitalisme di perusahaan, musti mempunyai pengalaman membangun ekonomi mandiri buruh berbasis soidaritas dan gotong royong. Atas kebutuhan itu pula, pada 2014 FBLP yang dipimpin Jumisih membangun koperasi sebagai upaya mempraktikkan ekonomi mandiri yang membagi keuntungan kepada seluruh anggota. Tentu saja sistem ini bertolak belakang dengan sistem kapitalisme yang menggelembungkan keuntungan hanya kepada segelintir pemilik modal. Koperasi ini digerakkan oleh buruh-buruh perempuan anggota FBLP.

Selain itu, upaya untuk menguatkan pemahaman buruh perempuan berjalan sinergis dengan kegiatan advokasi. Program “Sekolah Buruh Perempuan” pun di gelar sebagai ajang untuk belajar bersama dan mendorong kepemimpinan buruh perempuan. Ini merupakan upaya FBLP berkontribusi untuk mendorong perempuan-perempuan maju dengan mempraktikkan dialog setara baik di keluarga, serikat, maupun masyarakat umum.

 

Memproduksi Film “Angka Jadi Suara” sebagai Strategi Menaikkan Isu Buruh Perempuan

Persoalan buruh perempuan lain yang diibaratkan sebagai gunung es yang siap meledak kapan saja adalah terkait pelecehan seksual. FBLP menyadari bahwa isu ini “dianggap” sebagai isunya buruh perempuan saja sehingga tidak layak untuk muncul secara publik. Isu pelecehan/kekeraasan seksual berbasis gender (GBV-Gender Base Violence) “dianggap” sebagai ranah privat dan tidak layak masuk dalam tuntutan-tuntutan aksi demonstrasi karena yang “dianggap” layak untuk diperjuangkan serikat hanyalah isu kenaikan upah, penghapusan sistem kerja kontrak, dll.

Menyadari hal tersebut, Jumisih dan kawan-kawannya pada 2016 merencanakan program untuk menaikkan isu pelecehan seksual dengan melakukan advokasi kebijakan terkait GBV baik di tingkat lokal maupun nasional. FBLP membuka kerja sama dengan organisasi lain dengan membentuk aliansi Komite Buruh Perempuan dimana relawan-relawan FBLP ada di dalamnya. Upaya ini dirasa penting karena saat itu belum semua serikat buruh aware terhadap isu ini. Advokasi di tingkat lokal adalah mendorong pihak pengelola kawasan industri untuk: 1) Pemasangan plang di kawasan industri dan di pabrik-pabrik yang bertuliskan “Kawasan industri bebas dari pelecehan seksual.” 2). Sosialisasi kepada para Human Resource Develovment (HRD) di kawasan industri untuk menerapkan zero harassment dengan memasang plang/spanduk di area-area pabrik, 3). Melakukan workshop berkala bersama para HRD , 4). Pendirian Posko Pembelaan Buruh Peremuan (secara fisik dalam bentuk bangunan). Sedangkan kebijakan di level nasional adalah mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk melahirkan peraturan menteri tentang pendirian Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) di kawasan-kawasan industri.

Strategi yang diputuskan adalah dengan memproduksi sebuah film yang kemudian diberi judul  “Angka jadi Suara”. Film ini bisa diakses melalui Youtube pada: https://youtube.com/watch?v=wX54cYgqr1g&feature=share. Film ini merupakan buah karya buruh perempuan yang disutradarai Dian Septi. Karya ini mendapat apresiasi secara luas dan menjadi bahan pendidikan atau konsolidasi di kota-kota di seluruh Indonesia, menjadi ajang diskusi di kampus-kampus, serikat-serikat buruh, NGO-NGO dan gerakan secara umum. Film ini mendapat penghargaan Viddsee Juree Award termasuk berkesempatan mendapat panggung dalam acara “Kick Andy.”

Selang beberapa tahun kemudian pemerintah (nasional) lebih mempunyai awarnes terhadap isu GBV dalam bentuk kebijakan yang diturunkan sampai hal tehnis. Pemasangan plang berhasil, dan dorongan pendirian posko kemudian menjadi inisiatif pemerintah mendirikan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3), sehingga terbentuk di 5 kawasan industri di Indonesia. Saat ini hampir tidak ada serikat yang menolak isu GBV.

Bagi Jumisih dan kawan-kawannya, upaya untuk mendorong buruh perempuan maju melalui serikat buruh mesti terus diupayakan dengan ragam taktik, sampai kesejahteraan dan kesetaraan tercapai. Kerja-kerja pembelaan terhadap buruh dan perempuan adalah kerja sepanjang masa. Begitulah komitmen Jumisih dalam membela kaummnya, yaitu buruh dan perempuan. Baginya, kalah-menang itu bergantung pada proses yang diupayakan. Tugas kita adalah berusaha sebaik-baiknya untuk memperjuangkan hak. Menurut Jumisih, berserikat adalah sebuah pintu masuk untuk membuka cakrawala, yang membuka fakta hidup sebenar-benarnya.

“Karena dengan mengenal serikat buruh, saya melihat fakta bahwa dunia kerja kita tidak baik-baik saja. Tidak seperti yang saya bayangkan dulu waktu SLTA, di mana saya menganggap bahwa Jakarta adalah tempat yang ideal, bagus dan indah. Tapi setelah masuk ke Jakarta dan merasakan dunia kerjanya, ternyata tidak baik-baik saja.”

                Tentunya, komitmen pergerakan dan konsistensi perjuangan Jumisih tak perlu diragukan. Sebab, 21 tahun hidupnya telah diwakafkan untuk kepentingan kelas pekerja, bagi buruh dan perempuan marginal. Saat ini, Jumisih merupakan Wakil Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) yang merupakan hasil kongres penyatuan FBLP bersama serikat lain pada 2020 lalu. Selain itu, Jumisih juga Ketua Bidang Politik Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), salah satu konfederasi buruh terbesar di Indonesia yang turut menghidupkan kembali ‘Partai Buruh' dari tidur panjangnya.

 

Jumisih Bergabung dalam Partai Buruh

                Terkait dengan politik, Jumisih pun menyambut baik terlahirnya kembali Partai Buruh sebagai alat perjuangan. Jumisih menyampaikan bahwa:

“Berjuang di serikat buruh saja tidaklah cukup. Kerja-kerja advokasi dan pendampingan selama puluhan tahun dirasa semakin berat karena kebijakan politik penguasa di pemerintahan yang minim partisipasi. Ragam regulasi dengan mudah diketok palu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menjaga dan meningkatkan kekayaan segelintir orang yang mempunyai kuasa atas modal, dengan mengeksploitasi tenaga kerja dan sumber daya alam. Undang-Undang Omnibuslaw Cipta Kerja adalah satu contoh konkrit pemiskinan dan perampasan ruang-ruang hidup yang dilegalkan oleh hukum sehingga kerja-kerja advokasi semakin sulit. Oleh karena itu, DPR mesti diisi oleh orang-orang yang mempunyai komitmen meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan terlibat aktif dalam pembangunan Partai Buruh, maka berpeluang mendudukkan kader-kader terbaik partai menjadi anggota legislatif. Dengan demikian, hukum yang nanti dihasilkan adalah hukum yang berpihak kepada rakyat.”

Jumisih yang kerap melakukan advokasi di lapangan merasakan betul dampak informalisasi tenaga kerja, ketidakpastian upah, terlanggarnya hak-hak maternitas, pelecehan seksual, PHK sewenang-wenang, dan masih banyak persoalan rakyat lainnya. Baginya, ada korelasi yang menghubungkan, antara situasi di lapangan  dengan regulasi yang diciptakan oleh pembuat kebijakan. Bagi Jumisih, kondisi itu menjadi dasar politik baginya untuk bersedia memikul tanggung jawab sebagai Deputy Bidang Pemberdayaan Perempuan di Komite Eksekutif Partai Buruh secara nasional.  

Hal lain yang juga menguatkan Jumisih untuk terjun dalam dunia politik elektoral adalah masih minimnya realisasi anggaran pendidikan dari negara terutama bagi anak-anak kurang mampu pra-Sekolah Dasar. Mereka kurang bisa mengakses ruang dan kesempatan untuk bermain dan belajar karena ruang hidup yang sempit dan tidak sanggup mengakses sekolah usia dini sebagai ajang tumbuh kembangnya. Kondisi ini pula yang membuat Jumisih prihatin dan bersama rekan-rekannya mengembangkan “Sanggar Anak Harapan” di daerah Tanah Merah, Plumpang, Jakarta Utara.  Selain itu, ia juga aktif memperjuangkan “day care” untuk anak-anak buruh.

Jumisih optimis, Partai Buruh akan membesar karena digagas oleh 11 inisiator pendiri, yang tidak hanya dari kalangan buruh, tetapi juga gerakan lain seperti petani, nelayan, pemuda, mahasiswa, perempuan, disabilitas, pekerja rumah tangga (PRT), buruh migran, miskin kota dan lainnya. Mereka adalah pihak-pihak yang sudah teruji melakukan pembelaan kepada rakyat. Pijakan kakinya jelas, yaitu membela kepentingan rakyat, mewujudkan kesejahteraan. Inilah yang membuat Partai Buruh berbeda dengan partai-partai lain yang yang saat ini berkuasa.

Dengan bekal pengalaman yang cukup panjang di gerakan buruh, perempuan, dan anak,  Jumisih pun bakal maju menjadi Calon Legislatif 2024 melalui Daerah Pemilihan (Dapil) 2 DPRD DKI Jakarta yang meliputi kecamatan Cilincing, Koja, dan Kelapa Gading. Ia mendapat dukungan dan kepercayaan dari keluarga dan anggota-anggotanya untuk mewakili mereka menjadi anggota legislatif yang nantinya sanggup membuat regulasi yang membela sisi kemanusiaan warga Jakarta. Selain itu, Jumisih juga mendapat dukungan dari para akademisi, jurnalis, aktivis perempuan, aktivis lingkungan dan lain-lain.

Dalam kontestasi politik di Pemilu nanti, tentu ini akan menjadi pengalaman baru bagi Jumisih. Setelah puluhan tahun berjuang di jalanan, kini saatnya menambah strategi perjuangan dengan masuk menjadi bagian dari parlemen sang perumus kebijakan. Harapannya, membuat regulasi yang berpihak kepada rakyat.

Dalam rangka pencaleg-an dirinya, Jumisih merumuskan rencana pembuatan program-program yang akan didedikasikan untuk warga Jakarta, antara lain:

  1. Pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Ketenagakerjaan yang melindungi hak buruh dan perempuan,
  2. Perda Ruang Hidup yang ramah dan inklusif untuk perempuan dan anak,
  3. Penyusunan dan pengawasan Anggaran Daerah yang sensitif gender,

Dalam rangka itu pula, Jumisih akan melakukan pola-pola menyerap aspirasi dari warga Jakarta, baik itu buruh, perempuan, miskin kota, PRT, akademisi, jurnalis, aktivis lingkungan maupun lapisan masyarakat lain. Hal ini adalah upaya pelibatan (partisipasi) yang penting agar keputusan yang diambil nantinya merupakan cerminan dari kebutuhan warga, bukan hanya dari posisinya. Jumisih juga tidak akan segan dikritik sebagai bentuk kontrol atas kinerjanya kelak. Selain itu, sebagai bentuk pengawasan warga atau konstituennya, Jumisih juga akan membuat laporaan kinerja secara berkala empat bulanan untuk disampaikan kepada publik, agar konstituen mengerti capaian kinerja dirinya kelak. Baginya pola-pola itu sudah biasa terbangun saat dirinya menjadi pengurus di organisasi serikat buruh.

Jumisih pun optimis, Partai Buruh akan lolos ke Senayan dan bertarung gagasan untuk merumuskan kebijakan. Ada dua alasan logis: pertama, secara sektoral mayoritas masyarakat Indonesia adalah kelas pekerja, baik sebagai pekerja formal maupun informal. Selama mereka mengakui bahwa dirinya diupah, menerima perintah, dan ada jenis pekerjaan yang dilakukan, maka mereka mempunyai hubungan kerja. Mereka adalah pekerja dan layak mendukung Partai Buruh. Kedua, lahirnya kembali Partai Buruh digagas oleh 11 inisiator pendirinya yang memiliki pengalaman panjang dalam mengadvokasi dan membersamai masyarakat. Mereka adalah buruh, petani, nelayan, masyarakat adat, pemuda, mahasiswa, perempuan, penyandang disabilitas, kaum miskin kota, ojol dan lainnya. Mereka telah dan akan terus mengimplementasikan teori menjadi praktik-praktik perjuangan membela rakyat.

Mari bahu-membahu dukung Jumisih menjadi Anggota Legislatif DKI Jakarta, untuk mewujudkan Jakarta yang berpihak kepada buruh, perempuan, kaum miskin kota, nelayan, pekerja rumahan, pekerja rumah tangga, dan masyarakat Jakarta secara umum. Mari membersamai Jumisih untuk melahirkan generasi muda berkualitas. Bagi rekan-rekan, sahabat, tetangga yang ingin memberikan dukungan kepada Jumisih (dalam bentuk apapun), silahkan menghubungi nomor 0878-8360-2726 (Sultinah), 0878-8016-7516 (Ico), dan 0813-1938-3718 (Anggie). Rekan-rekan juga dapat berinteraksi langsung dengan Jumisih melalui inbox media sosialnya di IG: Jumisih - Gadis Merah dan Facebook: Gadis Merah, atau email ke: dpnfsbpi@gmail.com.