Pilpres 2024 Tanpa Kandidat Perempuan

16/11/2023 09:05 WIB

post-img

Tahapan pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden sudah dimulai. Dari tiga pasang Capres-Cawapres yang sudah resmi oleh KPU, tak satu pun perempuan.

Ini merupakan Pilpres ketiga tanpa calon perempuan. Dan tentu saja, ini akan menambah durasi puasa Indonesia tak memiliki Presiden perempuan sejak 2004. Ini juga berarti isu kesetaraan gender menjadi isu pinggiran di gelanggang Pilpres.

Kalaupun ada Capres yang mengangkat, itu berarti politisi laki-laki berbicara tentang isu-isu perempuan. Namun, seperti dikatakan ilmuwan politik Anne Phillips (2000), tidak ada yang bisa mengekspresikan kepentingan atau aspirasi khas sebuah kelompok sosial selain kelompok itu sendiri.

Jalan Melelahkan Politik Perempuan

Absennya calon perempuan di gelanggang Pilpres semakin menambah undakan yang harus dilalui oleh perjuangan politik perempuan.

Padahal, basis sosial untuk menghadirkan politik perempuan di gelanggang politik nasional, termasuk Pilpres 2024, sangatlah besar. Jumlah pemilih perempuan di Pilpres 2024 mencapai 102.474.462 jiwa (50,08 persen).

Di sisi lain, perempuan yang notabene basis pemilih itu punya bertumpuk-tumpuk persoalan karena struktur sosial maupun kebijakan politik yang tidak berkeadilan gender, seperti kesenjangan upah antar gender, kekerasan seksual, KDRT, kemiskinan perempuan, angka kematian ibu (AKI) dan bayi (AKB), dan lain-lain.

Jalan panjang itu kian terlihat melelahkan bila menengok Indeks Kesenjangan Gender (Gender Gap) Indonesia yang masih di peringkat 87 dari 146 negara dengan skor 0,697 dan membutuhkan waktu seabad lagi untuk menutupnya.

Di sisi lain, laju pergerakan politik perempuan terasa sangat lambat. Jumlah perempuan di parlemen memang meningkat, dari 11,24 persen (2004), lalu 18,21 persen (2009), kemudian 17,6 persen (2014), dan 20,52 persen (2019), tetapi jumlahnya belum mencapai kuota 30 persen.

Padahal, jumlah minimal atau critical mass jumlah anggota parlemen yang diperlukan untuk mempengaruhi kebijakan adalah minimal 30 persen. Boleh jadi, tidak tercapainya critical mass ini menjadi penyebab mengapa agenda politik parlemen belum berkeadilan gender.

Di kekuasaan eksekutif, selain baru sekali punya Presiden perempuan, Kabinet Indonesia belum pernah mencapai keseimbangan gender (50:50). Yang tertinggi dalam sejarah adalah 9 orang di Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla (2014-2019). Itu pun tidak sampai 30 persen dari jumlah anggota Kabinet.

Di level lokal, jumlahnya tak kalah miris. Pada Pilkada 2020, jumlah perempuan yang maju pemilihan Gubernur hanya 5 orang, sedangkan laki-laki 45 orang; 26 orang di pemilihan walikota, sedangkan laki-laki 126 orang; dan 128 pada pemilihan Bupati, sementara laki-laki 1.102 orang.

Tipisnya Peluang Perempuan

Ketika jumlah perempuan yang menduduki jabatan politik masih sangat sedikit, termasuk ketiadaan Capres dan Cawapres perempuan, apakah karena jumlah perempuan yang mumpuni sangat sedikit?

Tentu saja, jawabannya: tidak. Ada berjejal fakta yang menunjukkan bahwa perempuan bisa mengemban jabatan politik dengan sangat baik, baik di pemerintahan lokal maupun pusat. Ada banyak kepala daerah perempuan yang berhasil membuat terobosan penting. Kita tentu akrab dengan kisah Tri Rismaharini, ketika menjabat Walikota Surabaya, cukup berhasil menata kota. Pada 2016, Tempo Media Group memberikan penghargaan kepada 13 kepala daerah perempuan inspiratif dan berprestasi.

Di Kabinet, kita disuguhi sosok perempuan yang punya kapasitas dan integritas, seperti Sri Mulyani dan Retno Marsudi. Kita juga masih punya nama lain yang kerap muncul dalam survei, seperti Susi Pudjiastuti, Yenny Wahid, Khofifah Indar Parawansa, hingga Puan Maharani.

Masalahnya, sistem dan kultur politik Indonesia yang kurang memberi tempat kepada kandidat perempuan.

Pertama, sistem pemilu, dalam hal ini penerapan ambang batas pencalonan Presiden dan Wapres sebesar 20 persen, turut mempersempit ruang kontestasi. Penyempitan ruang kontestasi itu mempersempit juga munculnya pilihan-pilihan alternatif, termasuk perempuan.

Perempuan yang mumpuni memimpin, seperti Susi Pudjiastuti, Sri Mulyani, atau Retno Marsudi, karena tidak punya parpol atau tidak dekat dengan parpol, kesulitan untuk mendapat kesempatan untuk dinominasikan sebagai Capres/Cawapres.

Kedua, persepsi yang patriarkis masih mempengaruhi preferensi masyarakat umum  tentang pemimpin politik. Sebagai misal, meskipun penerimaan publik terhadap capres perempuan meningkat dari 34,2 persen pada 2021 menjadi 55,5 persen pada 2022 (survei KedaiKopi, 2022), tetapi anggapan bahwa pemimpin politik laki-laki lebih baik dari perempuan masih sangat dominan. aporan World Values Survey/WVS pada 2022 menunjukkan, 71,9 persen warga Indonesia menganggap pemimpin laki-laki lebih baik dari perempuan.

Situasi itu diperparah oleh menguatnya narasi bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang tegas, berwibawa, menguasai geopolitik, sanggup menghadapi tantangan global,  dan bervisi strategis/besar. Seolah-olah ketegasan, wibawa, dan gagasan besar hanya milik laki-laki.

Ketiga, lingkungan politik yang didominasi oleh oligarki dan politik dinasti juga turut mempersempit ruang politik perempuan. Kedua kultur politik parasit itu hanya membuka pintu bagi perempuan yang punya sumber daya finansial dan punya hubungan kekerabatan dengan elit.

Representasi Politik yang Lebih Bermakna

Kita perlu terus mendorong efektivitas penerapan kuota 30 persen perempuan untuk pencalonan legislatif dan kepengurusan parpol. Selain untuk meningkatkan representasi, semakin banyak perempuan di parlemen juga bisa menjadi role-model sekaligus memperbanyak sosok perempuan sebagai pemimpin politik potensial.

Ada kebutuhan untuk memperluas makna representasi politik bukan sekadar sebagai menghadirkan orang atau identitas, tetapi juga menghadirkan perspektif, opini, dan suara warga negara dalam proses pembuatan kebijakan publik. Representasi politik bisa terjadi apabila Wakil Rakyat/pemimpin politik berbicara, mengadvokasi, menandakan, dan bertindak atas nama pemilih dan warga (Pitkin, 1967).

Keterlibatan perempuan dalam sistem politik untuk tujuan representasi memang diperlukan, tetapi harus diimbangi dengan tindakan-tindakan politik dalam kelompok-kelompok dan gerakan perempuan (Lister, 1997). Misalnya, memperbanyak keterlibatan perempuan dalam mengurus kehidupan publik, dari tingkat RT/RW hingga parlemen dan eksekutif.

Dalam konteks Pilpres 2024, politisi maupun gerakan perempuan butuh merancang sebuah taktik untuk mendorong isu-isu perempuan dan keadilan gender tetap mendapat tempat untuk dibicarakan dan diperdebatkan di tengah riuh Pilpres. Meminjam Anne Phillips, jika belum berhasil menghadirkan orang/identitas, maka seminimal mungkin menghadirkan pandangan atau gagasannya.

Ke depan, tugas politik perempuan dan mereka yang peduli representasi politik yang adil adalah memenangkan ruang politik yang lebih besar untuk memenangkan lebih banyak perempuan dalam jabatan politik, mengarusutamakan isu-isu keadilan gender, dan menghasilkan kebijakan yang berkeadilan gender dan berkeadilan sosial.

RINI HARTONO, Aktivis Perempuan dan Direktur Eksekutif Paramitha Institute