Tentang Kritik dan Mereka yang Dibungkam

17/04/2023 15:38 WIB

post-img

Pagi itu, matari terik membakar bumi. Panasnya cukup pedih menyentuh kulit hingga memerah dan tak tertahankan. Setelah berpeluh keringat, berkejaran dengan waktu, bersaing dengan para pekerja Jakarta lainnya, tiba saatnya kaki menapak tepat di depan sebuah gedung bercat putih. Tinggi kokoh dengan sederet nama yang gagah terpampang di muka gedung. Sederet nama itu bernama Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Senin, 17 April 2023,, tepat dua hari sebelum llibur lebaran, digelar persidangan dengan agenda eksepsi, dimana Luhut Binsar Panjaitan menjadi pihak penggugat atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidianty. Sidang keduanya digelar secara terpisah, dimana sidang pembacaan eksepsi Haris Azhar digelar terlebih dahulu.

Pihak kuasa hukum Haris menyatakan bahwa gugatan kepada Haris dan Fatia terkesan mengada - ada dan dipaksakan. Muhammad Isnur selaku kuasa hukum, menyampaikan gugatan Luhut Binsar Panjaitan adalah cacat hukum, karena tidak pernah terjadi mediasi antara keduanya dengan Luhut. Betul bahwa penyidik dari Polda Metro Jaya pernah mengirimkan surat permintaan mediasi untuk Fatia, namun agenda mediasi tersebut tidak dihadiri oleh Luhut, padahal pihak Fatia telah hadir. Di sisi lain, pihak penyidik justrumemutuskan secara sepihak bahwa mediasi gagal terlaksana.

Di tempat terpisah, sehari sebelum sidang eksepsi digelar, Bivitri Susanti, Dosen Jentera dan praktisi hukum mengungkapkan hal serupa bahwa gugatan pencemaran nama baik kepada Fatia dan Haris cenderung dipaksakan. Penggunaan pasal pencemaran nama baik adalah hal yang tidak masuk akal, mengingat pasal tersebut telah dihapuskan dalam KUHP yang baru. "Meski KUHP yang baru ini dinyatakan berlaku tiga tahun mendatang, sungguh nggak masuk akal kalau pasal pencemaran nama baik yang telah dihapus di KUHP baru, justru dipakai untuk menggugat Fatia dan Harris karena mereka berdua berani mempublikasikan hasil kajian tentang bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI di balik bisnis tambang emas atau rencana eksploitasi wilayah Intan Jaya, Papua. Ini sih karena seorang yang berkuasa ini sedang tersinggung saja"

Betapa ketersinggungan penguasa atas kritik bisa berbuah pada proses peradilan kepada aktivis pembela HAM. Bila seorang Haris dan Fatia bisa diperlakukan demikian, tentu warga biasa dengan relasi kuasa yang sangat timpang besar kemungkinan juga akanmengalami hal serupa. Contohnya, seorang pemuda yang viral di tiktok akibat mengkritik pemerintah Lampung karena dianggap tak becus menyediakan infrastruktur jalan yang baik bagi warganya.

Masih tentang pembungkaman kritik terhadap Fatia dan Harris,  Uli, seorang aktivis WALHI Nasional turut berbicara, bahwa sebagai pembela HAM, Fatia dan Harris berhak memperoleh perlindungan negara. Dengan kajian yang dilakukannya tentang dampak lingkungan hidup dari eksploitasi wilayah Intan Jaya, Papua,  Fatia dan Harris telah menjalankan fungsinya sebagai pembela HAM.  Dalam Pasal 66 Undang-Undang Lingkungan Hidup tahun 2009 sudah diatur bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak bisa dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.

“Ini adalah pelanggaran pasal 66 karena setiap orang yang membela atas nama lingkungan itu punya imunitas. Dia tidak boleh dituntut secara pidana dan perdata. Bahkan ketika kasus ini dinaikkan polisi ke Pengadilan Negeri maka sebenarnya polisi, menurut kami, sudah tidak mengindahkan Pasal 66 bahwa seharusnya tidak memproses itu,” tuturnya.

Sidang ditutup, dan akan berlanjut pada 8 Mei 2023, demikian ucap majelis Hakim. Pasca sidang eksepsi terhadap Fatia dan Harris usai, samar - samar ingatanku kembali pada peristiwa serupa yang terjadi 8 tahun silam. Saat 26 aktivis ditangkap dan dikriminalkan akibat berdemonstrasi melampaui jam malam, menolak PP 78/2015. Sungguh, kriminalisasi bisa terjadi pada siapa saja yang berlawan, saat kita memberi kritik, baik di media sosial maupun di jalanan.

Siang menjelang sore sudah menyingsing, namun matari masih tegar memberi terang, membakar kulit, menggoda mereka yang berpuasa untuk meneguk segarnya segelas air. Waktu terus bergulir, lalu lalang manusia perlahan namun pasti mulai memadati jalan raya dengan kegelisahannya masing - masing. Haruskah kegelisahan itu disimpan dalam benak saja, agar tidak menyeruak menjadi resiko dipidana karena menuangkannya dalam status atau meneriakkannya di aksi jalanan? entahlah, karena diam pun tetap mengundang resiko serupa.

Ya, percayalah, diam tidak akan membawa kita kemana - mana, selain menunggu mara bahaya serupa melahap kita begitu saja, hingga tuntas.