Konvensi Perempuan Partai Buruh: "Memperkuat Keterlibatan dan Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik"

16/02/2023 12:38 WIB

post-img

 

Partai Buruh berencana menggelar Konvensi Perempuan pada awal Maret 2023. Untuk mengetahui latar belakang kegiatan tersebut, simak uraiannya di bawah ini:

Demokrasi Nir Perspektif Perempuan

Proses demokratisasi di Indonesia telah berlangsung selama 25 tahun, yakni sejak bergulirnya reformasi. Peran gerakan perempuan dalam proses demokrasi tersebut terbilang penting dan vital. Artinya, gerakan perempuan Indonesia bukan sekedar penumpang, namun merupakan salah satu kekuatan utama penentu perubahan. Kita bisa mengingat aksi demonstrasi Suara Ibu Peduli pada 23 Februari 1998, juga keterlibatan buruh perempuan dalam berbagai aksi demonstrasi jelang jatuhnya Orde Baru di masa 1998. Sosok buruh perempuan biasa bernama Marsinah, juga merupakan aktor penting yang turut mempengaruhi perluasan perlawanan rakyat demi terwujudnya kedaulatan rakyat yang selama 32 tahun diabaikan. Saat itu, perempuan terbukti menjadi kekuatan utama melawan rejim otoritarian patriarkal dan militeristik.

Selama 25 tahun proses demokrasi bergulir, berbagai agenda politik perempuan digulirkan mulai dari kebijakan afirmasi kuota politik 30% perempuan yang tercantum di dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, pengesahan UU KDRT No 23/ 2004,  hingga UU No. 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Namun, kita juga menyaksikan bagaimana RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) mangkrak hampir selama 20 tahun, belum inklusifnya regulasi yang diterbitkan (nir keberpihakan pada kelompok rentan seperti disabilitas), serta beratnya dorongan kepada negara untuk meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.

Meningkatnya representasi politik perempuan di partai politik dan parlemen tidak seiring sejalan dengan peningkatan regulasi atau kebijakan yang berpihak pada perempuan akar rumput atau perempuan kelas pekerja. Pengesahan UU Cipta Kerja hingga berganti baju menjadi Perppu Cipta Kerja, bergulirnya ragam regulasi selama pandemi yang justru mengesahkan eksploitasi kerja, adalah contoh gamblang bagaimana regulasi yang tidak berpihak pada perempuan akar rumput sedemikian mulusnya disahkan tanpa hambatan berarti. Demikian halnya dengan proses pelemahan KPK, pengesahan KUHP bermasalah bisa dengan mudah disahkan meski berbagai demonstrasi seperti reformasi dikorupsi hingga gelombang demonstrasi besar kaum buruh tak didengar pemegang kebijakan.

Mengapa peningkatan representasi politik perempuan di parlemen sebagai panggung pengambilan kebijakan tidak sejalan dengan regulasi yang berpihak pada perempuan kelas pekerja? Setidaknya, fenomena ini bisa dikritisi dengan jernih oleh gerakan perempuan. Pertama, panggung politik nasional masih berwatak maskulin dan patriarkal yang secara tradisi mudah meminggirkan peran perempuan. Keterwakilan perempuan hanya dilihat sebatas kehadiran secara fisik, namun partisipasi perempuan secara substansial tidak diperhatikan. Dalam struktur sosial kapitalis patriarkal, perempuan kerap ditempatkan di ranah privat atau domestik dan diragukan kapasitasnya dalam berperan di ranah publik, termasuk dalam kancah politik nasional. Perempuan seringkali dipandang hanya mampu mengerjakan pekerjaan ringan (dalam konteks ini dilekatkan dengan pekerjaan kerumahtanggaan), menanggung tanggung jawab minimal, dipandang tidak rasional, cenderung emosional sehingga tidak cakap memimpin. Tak jarang perempuan harus membuktikan kapasitasnya berkali - kali lipat untuk diakui kecakapannya dalam memimpin.

Kedua, keberpihakan terhadap perempuan kelas pekerja, tak otomatis dimiliki sesama perempuan. Ikatan solidaritas lebih sering muncul dari rasa senasib sepenanggungan, bukan melulu kesamaan identitas sebagai perempuan. Dengan kata lain, watak patriarkal tidak selalu berwujud dalam sosok fisik lelaki, namun juga bisa dalam sosok perempuan yang mewakili kepentingan kelas sosialnya (baca kepentingan kelas kapitalis/ pemilik modal/ korporasi)Sehingga, perempuan non kelas pekerja (kelas ekonomi atas), belum tentu mewakili kepentingan kelas pekerja. Ketiga, regulasi sistem pemilu secara signifikan mempengaruhi representasi politik perempuan di legislatif. Berbagai regulasi sistem pemilu seperti UU No.3/1999, UU No. 12/2003, UU No. 10/2008, UU No.8/ 2021 menampilkan betapa mahal biaya yang harus dikeluarkan partai politik untuk bisa mengikuti pemilu. Regulasi tersebut meminggirkan partisipasi politik yang terbuka bagi rakyat, sehingga yang bisa leluasa berpartisipasi dalam pemilu tentu saja adalah partai besar bermodal besar.

Sementara, partai politik besar yang selama ini menjadi kontestan pemilu lebih banyak menyuarakan kepentingan kelas pemodal dibanding kelas pekerja. Peluang kelas tertindas untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan dipersulit dan dipersempit. Alhasil kuota politik 30% perempuan, lebih mudah diakses oleh kaum perempuan di partai - partai besar yang tentu saja minim pembaharuan dalam konteks pembelaan pada perempuan. Padahal, kepemimpinan politik perempuan akar rumput - non elektoral banyak bermunculan, mulai dari perempuan tani (Kendeng, misalnya) , perempuan buruh, perempuan korban penggusuran, perempuan kaum miskin kota dan banyak lagi. Namun, munculnya kepemimpinan perempuan politik non elektoral di akar rumput sedikit sekali memiliki kesempatan untuk tampil dalam proses pengambilan kebijakan di ranah elektoral. Bilapun ada, pada akhirnya tersubordinasi oleh kepentingan partai politik yang nir kepentingan membela hak perempuan.

 

Kehadiran Partai Buruh dan Peluang Munculnya Kepemimpinan Perempuan Kelas Pekerja

Kehadiran Partai Buruh adalah sebuah peluang untuk memunculkan politik alternatif. Alternatif dalam konteks ini adalah karakter yang berbeda dengan politik yang selama ini dimunculkan oleh elit - elit politik oligarki. Sebuah peluang supaya perempuan kelas pekerja bisa hadir dalam kancah perpolitikan nasional dengan agenda perjuangan pembebasan perempuan. Pembebasan yang substansial bukan sekedar pemanis, yakni melawan subordinasi, memberi warna politik yang tidak maskulin (dominasi, penundukan) namun mengedepankan solidaritas, kesetaraan (egaliter) dalam berpartisipasi tanpa kekerasan dan diskriminasi.

Peran perempuan dalam politik nasional adalah sebuah babak pertarungan untuk meruntuhkan tradisi politik yang kerap meremehkan dan meminggirkan perempuan. Perempuan, sekali lagi bukan bunga pajangan dalam setiap proses politik, perempuan adalah aktor utama yang layak diperhitungkan kekuatannya.

Peluang mewujudkan kepemimpinan politik perempuan kelas pekerja yang berpihak pada kepentingan pembebasan perempuan melalui wadah Partai Buruh, sudah selayaknya didukung, diapresiasi dan didorong menjadi kekuatan perempuan. Kesempatan itu hadir saat ini, bukan lain kali.

Oleh karenanya, Partai Buruh menginisiasi Konvensi Perempuan yang akan diadakan jelang Hari Perempuan Sedunia, yakni pada 7 Maret 2023, bertempat di Gedung Film Jakarta, Jl. Rasuna said No. 22, sebagai bentuk konsolidasi kekuatan perempuan untuk bersama mewujudkan kepemimpinan politik perempuan dengan agenda pembelaan kepentingan perempuan kelas pekerja. Tanpa kekuatan perempuan, penyatuan kelas pekerja tidak akan menjadi kekuatan utuh.

Konvensi Perempuan Partai Buruh, Konsolidasi Kekuatan Perempuan Kelas Pekerja

Konvensi Perempuan Partai Buruh merupakan ajang konsolidasi kekuatan perempuan kelas pekerja yang bertujuan untuk (1) Menggali peran kepemimpinan perempuan di gerakan non elektoral dan elektoral; (2) Bagaimana membangun dan mensinergikan strategi agenda pembelaan hak perempuan dalam kancah elektoral dan non elektoral; (3) Bagaimana memperkuat keterlibatan dan kepemimpinan perempuan dalam politik elektoral; (4) Bagaimana membangun agenda perjuangan perempuan yang inklusif dalam politik elektoral

Guna mempertajam gagasan kepemimpinan politik perempuan kelas pekerja di ranah elektoral dan non elektoral, Konvensi Perempuan Partai Buruh turut menghadirkan ragam tokoh perempuan, diantaranya Nani Kusnaeni, Yeni Rosa, Najwa sihab, Susi pujiastuti, Amalinda Savirani, Jacky, Bivitri Susanti, Marsini, Sumarsih, Dewi kartika, Lita anggraini, Rima Yasanti, hingga Suciwati. Harapannya, gagasan dari ragam tokoh perempuan tersebut bisa memantik sekaligus mendorong kekuatan perempuan kelas pekerja untuk semakin kokoh tampil di panggung politik nasional.

Selain menampilkan rangkaian gagasan ragam tokoh perempuan, Konvensi Politik Perempuan Partai buruh juga akan memuat sidang komisi dan pleno yang akan menggali problem perempuan lintas sektor serta strategi dan agenda pembebasan perempuan kelas pekerja yang akan diusung bersama Partai Buruh.

Harapannya, Konvensi Perempuan Partai Buruh  bisa menghasilkan sebuah kesepakatan bersama dari seluruh organisasi yang hadir sebagai bentuk komitmen penyatuan kekuatan perempuan untuk memperkuat peran dan keterlibatan perempuan dalam politik.