Mantan Kondektur Yang Memimpin Partai Buruh

03/02/2023 15:18 WIB

post-img

Ferri Nuzarli terlahir di kota Medan. Dia anak buruh. Ayahnya bekerja sebagai operator di perusahaan tambang. Kedua orang tuanya merantau dari Lubuk Basung, Kabupaten Agam Sumatera Barat, ke ibukota Sumatera Utara sejak dini. Mereka kemudian hidup selayaknya keluarga kelas pekerja. Tinggal di kontrakan sempit, menjalani kehidupan yang jauh dari keberlimpahan. Ferri kecil kadang-kadang melahap nasi berlauk kecap sebagai menu sarapan. Dia pun mesti berjalan kaki mengitari rel kereta api untuk berangkat sekolah. Jaraknya tak pendek, 10 km pulang-pergi. 

Kehidupan kelas pekerja yang tak empuk, dipahami Ferri Nuzarli bukan dari untaian kalimat bercahaya yang keluar dari mulut orator atau dari teks manifesto politik yang menggugah hati. Kehidupan yang semacam itu menyesap di tulang sumsumnya sejak belia. Melalui pengalaman langsung. Seperti cerita orang-orang yang tabah, kesulitan akan melipatgandakan ketabahan menjadi sebentuk tekad yang tebal. Ferri tak gemar bersedih, atau jatuh melayu dalam nestapa, aral melintang kehidupan menyusun otot dan mentalnya menjadi tangguh. 

Usai tak selesai menamatkan kuliah karena faktor biaya, Ferri Nuzarli memutuskan merantau ke Jakarta. Mula-mula di Ibukota ini dia bekerja menjadi kondektur bus. Dia ingat, berangkat jam lima subuh, pulang sepuluh malam. Bus yang dikondekturinya beredar di jalur Blok M – Tangerang. Kadang-kadang dia dipalak preman, kadang-kadang uang setoran tak memadai. Dua tahun menjadi kondektur, Ferri Nuzarli yang mulai mengenal Jakarta mencoba berdagang. Ini bukan bisnis mapan, dimana dia tinggal duduk nyaman mencatat penjualan dan pembelian. Sebaliknya, ini satu lagi cara tak gampang untuk menyambung hidup. Malah suatu waktu Ferri Nuzarli mesti mendorong gerobak berisikan tiga kuintal beras dagangan di panas terik yang menyengat ibukota.

Kata orang, proses tak akan mengkhianati hasil. Tak berlama-lama dengan urusan perniagaan yang berat, Ferri Nuzarli diterima di perusahaan cetakan ban. Dia lantas dikirim mengikuti on job training ke Jepang. Kehidupannya pelan-pelan mulai membaik. Delapan tahun bermukim dan bekerja di Jepang, Ferri Nuzarli belajar banyak hal. Perihal etos kerja, kedisiplinan, dan integritas. Sekembalinya ke tanah air Ferri Nuzarli direkrut salah satu perusahaan ban internasional. Di pabrik tersebut dia mulai bersentuhan dengan aktivtas serikat buruh. Pria berperawakan besar ini terpilih menjadi ketua Pengurus Unit Kerja (PUK) pada tahun 1996.

Semenjak didaulat menjadi ketua serikat pekerja tingkat perusahaan, sampai duduk di badan kepemimpinan nasional, komitmen Ferri Nuzarli terhadap masalah pekerja tak pernah surut. Dia giat menangani beragam kasus perburuhan. Mengadvokasinya, menyelesaikannya dengan seksama, membela hak-hak buruh secara ulet. Demonstrasi juga mulai menjadi bagian dari kesehariannya. Tanggungjawab dalam perjuangan buruh tak jarang meminta waktu lebih, membuatnya terpaksa mengurangi kesempatan bercengkrama dengan keluarga. Ini mungkin tak mudah, tetapi hal yang tak mudah telah menjadi asam garam kehidupan sepanjang umurnya.

Suatu hari Ferri Nuzarli pernah mendadak meninggalkan acara berlibur tahun baru keluarga di Malang, selepas menerima kabar PHK terhadap buruh-buruh pabrik minyak sayur. Pabrik itu ada di kawasan industri Karawang. Ferri Nuzarli adalah suami dari seorang isteri, bapak dari anak-anaknya, tetapi itu tak menghalanginya untuk insaf sepenuh-penuhnya, bahwa dia pemimpin kelas buruh. Ketika buruh membutuhkan uluran tangan, dia mesti mendahulukan. Orang berbicara integritas dalam pidato-pidato panjang yang berlarut-larut, sosok seperti Ferri membuatnya konkrit dalam tindakan. Dan seperti biasa, tindakan berbicara lebih nyaring dari kata-kata. Begitulah Ferri Nuzarli, irit perkataan, kaya tindakan.

Dari perjuangan ekonomi ke perjuangan politik. Dari ranah pabrik ke wilayah republik. Itu yang ada di benak Ferri Nuzarli ketika memantabkan hati maju sebagai calon legislatif pada Pemilu 2014. Selama masa kampanye dia berfokus pada masalah-masalah perburuhan, dari upah, outsourcing, hingga jaminan sosial. Pengalaman pertama ini mendidiknya untuk lekas sadar. Bahwa yang diperlukan kelas pekerja bukan semata kendaran politik tempat mencalonkan diri, melainkan kelas pekerja harus memiliki alat politiknya sendiri. 

Bagi Ferry Nurzali, mustahil kepentingan kelas pekerja dititipkan di partai yang didirikan dan dikepung kalangan pengusaha. Dia memahaminya secara presisi, dia bahkan telah membuktikannya  selama pengalaman Pemilu 2014.  Dia menunggu hal genuine yang lahir langsung dari rahim kelas pekerja. Sehingga ketika Partai Buruh didirikan ulang dan tugas sebagai Sekretaris Jenderal menantinya, Ferri Nuzarli tak ragu untuk menyongsongnya. 

Ferri Nuzarli adalah pengurus pusat Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI-AGN). Dia salah satu sosok terpenting dibalik lolosnya Partai Buruh sebagai peserta Pemilu 2024. Di bawah komandonya bersama Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, kerumitan verifikasi partai politik dilaluinya dengan perkasa. Pagi, siang, sore, malam, hingga pagi lagi, dia bekerja. Di masa-masa rumit itu telponnya tak henti berdering, tumpukan berkas mesti diperiksanya, dan aneka problematika harus diurai satu-persatu. Melelahkan? Tentu saja. Tapi apa artinya lelah bagi pria yang sanggup mendorong gerobak penuh muatan dan bekerja lebih lama dari jam kerja di masa mudanya. 

Ferry Nuzarli bilang, dia bersedia mempertaruhkan apa saja demi terwujudnya mimpi kelas pekerja.  “Mewakafkan hidup untuk kemanusiaan”, seperti tutur motto hidup yang dianutnya. Bersama seluruh kader partai dan jajaran pimpinan lain, Ferri Nuzarli telah membuktikan kebenaran dari kata-katanya, tentang kelas pekerja yang akan tiba di Pemilu 2024. Tetapi laga yang sebenarnya baru saja dimulai. Partai Buruh tidak hadir di Pemilu hanya untuk mengisi nomor urut dan selanjutnya memudar tanpa pencapaian signifikan. 

Dalam sorot mata penuh keyakinan, Ferri Nuzarli mengatakan, kita akan menang! Jika seseorang seperti dirinya berujar seperti itu, tak ada alasan untuk kita tidak melafalkan hal serupa. Sementara nun jauh di Venezuela sana, Nicolas Maduro, bekas sopir bus berhasil menjadi presiden. Di depan kita sekarang ada sosok mantan kondektur bus yang telah memberikan bukti dan bakti pada perjuangan kelas pekerja. Jika Tuhan berkehendak, sejarah mungkin saja berulang. Dari tangan orang-orang yang sebelumnya menyusuri jalanan kota dengan bus, sebuah republik akan memasuki trayek baru yang gemilang.

Partai Buruh adalah partai yang berinisiatif mengubah pendulum ekonomi dan politik negeri ini agar tak semata-mata menguntungkan kaum super kaya. Partai ini hendak membuat kelas pekerja dan rakyat luas tersenyum lebar, selepas puluhan tahun didekap pedihnya penindasan. Partai Buruh milik kaum buruh, petani, miskin kota, dan lain-lain rakyat jelata. Mereka yang seharusnya menjadi pemegang daulat negeri ini. Di Partai seperti itulah, hidup anak buruh, mantan kondektur bus, yang dengan keringat dan air mata bersetia memimpin arus perjuangan. Ferri Nuzarli namanya.