Negara Gagal Bahagiakan Anak Muda

19/05/2023 13:10 WIB

post-img

Pada penghujung tahun lalu, sebuah studi yang dilakukan The Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyajikan laporan yang mencengangkan. Penelitian I-NAMHS bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada, menyebut satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Selain itu, satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental. 

Angka tersebut setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja. Remaja dalam kelompok ini terdiagnosis  gangguan mental sesuai standar panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5). Menurut studi itu hanya 2,6% remaja dengan masalah kesehatan mental yang mengakses layanan kesehatan mental. 

Menurut beberapa penyintas masalah kesehatan mental, salah satu hambatan terkait masalah itu, yaitu keterbatasan BPJS dalam mencover hal tersebut. Sementara biaya psikolog klinis terbilang masih relatif mahal. Kemudahan dan masifikasi layanan kesehatan mental menjadi isu yang lebih krusial belakangan ini.

Dalam skala global masalah kesehatan mental sendiri juga menjadi perhatian serius. Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh, Adityo Fajar, memberikan perhatian atas hal tersebut.

"Ini mencemaskan. Catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, secara global satu dari tujuh anak berusia 10-19 tahun mengalami gangguan jiwa. Sementara bunuh diri menjadi penyebab utama kematian ke-empat terbesar untuk kalangan berusia 15-29 tahun."

Menurut WHO berbagai faktor mempengaruhi kesehatan mental. Diantara faktor-faktor itu meliputi keterpaparan terhadap kesulitan hidup, tekanan untuk menyesuaikan diri dengan teman sebaya, dan eksplorasi identitas. Penentu penting lainnya termasuk kualitas kehidupan keluarga dan hubungan teman sebaya. Kekerasan dan masalah sosial ekonomi yang parah juga diakui sebagai sumber risiko kesehatan mental. 

Besarnya jumlah anak muda Indonesia yang  mengalami gangguan mental turut menunjukkan adanya problem serius pembangunan. 

"Orientasi pencapaian pembangunan tidak bisa hanya diukur dari volume ekonomi belaka. Tak cuma soal growth belaka. Di dunia dikenal Gross National Happiness. Sederhananya, itu indeks yang digunakan untuk mengukur kebahagiaan kolektif suatu populasi. Indonesia sangat tertinggal. Penduduknya tidak bahagia. Anak mudanya rentan mengalami gangguan mental. Ada kecemasan kolosal sehari-hari", pungkas Fajar.

Seperti diketahui, menurut World Happines Report (WHR), Indonesia tercecer di urutan ke-84 negara dengan indeks kebahagiaan penduduknya. Peringkat ini tentu sangat memprihatinkan. Di wilayah ASEAN, Indonesia hanya berada di atas Myanmar dan Kamboja. Sementara Singapura berada di ranking tertinggi yaitu nomor 25 dunia. 

"Ada enam alat ukur indeks kebahagiaan menurut WHR. Dua diantaranya adalah pendapatan per kapita dan masalah korupsi. Jadi bagaimana bisa bahagia sementara upah pekerjanya terus ditekan? Undang-Undang Cipta Kerja itu monster buat kebahagiaan publik, termaksud pekerja muda. Remaja-remaja dari keluarga kelas pekerja tak sedikit yang tertekan melihat kehidupan keluarganya yang makin sulit", terangnya.

Adapun terkait korupsi, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia merosot dari 38 menjadi 34. Berdasarkan laporan Transparency International tersebut peringkat Indonesia turun dari posisi 96 menjadi 110. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah Singapura, Vietnam, Malaysia dan negara-negara lainnya. Di negara-negara yang indeks korupsinya baik, tingkat kebahagiaan publiknya pun tinggi.

"Belum lama, ada partai yang mengglorifikasi pemerintahan hari ini dengan slogan "Jokowisme". Mereka membanggakan pembangunan fisik, terutama infrastruktur. Memuja jalan-jalan baru, tapi penduduk tidak bahagia, anak mudanya terserang gangguan jiwa. Mentalitas mereka ini, ala Deandels saja. Bangun Jalan Raya Pos, tak peduli korban berjatuhan", ujarnya.