Negara Sejahtera dan Gerakan Buruh

15/11/2023 16:37 WIB

post-img

 

Oleh: Gede Sandra - Juru bicara bidang Ekonomi Partai Buruh

Sejarah Negara Sejahtera

Sejarahnya konsep Negara Sejahtera atau Welfare State dimulai di Prusia (Jerman) sejak tahun 1883. Konsep yang saat itu dinamai State Socialism atau Sosialisme Negara tersebut awalnya diadvokasi oleh Kanselir Jerman Otto von Bismarck untuk membendung kebangkitan kaum Partai Sosialis Pekerja Jerman (yang kemudian menjadi Partai Sosial Demokrat Jerman/SPD) dan menenangkan gerakan buruh yang semakin radikal di Jerman saat itu. Konsep Negara Sejahtera adalah kompromi yang diajukan oleh Pemerintah dan diterima oleh kalangan pengusaha pemilik pabrik, asalkan Jerman tidak berubah menjadi Negara Sosialis. Kondisi buruh Jerman pada era sebelum Welfare State memang sangat buruk, wajar membuat gerakan buruh semakin meluas dan radikal. Pekerja anak masih umum diberlakukan di pabrik-pabrik, jam kerja buruh masih antara 12-16 jam, upah sangat rendah, kecelakaan kerja kerap terjadi, tempat tinggal/flat yang tidak layak dan kotor- menjadikan buruh sulit beristirahat sehingga kondisi kesehatan buruh menurun, mewabahnya penyakit TBC, dan juga meluasnya kemiskinan,

Welfare State di Jerman dimulai dengan disahkannya undang-undang Asuransi Kesehatan pada tahun 1883. Pengusaha membayar sepertiga dari biaya kesehatan mayoritas buruh, sisanya ditanggung pekerja. Tahun 1884 disahkan undang-undang Asuransi Kecelakaan, yang dibiayai Pemerintah dari pajak. Tahun 1889 disahkan undang-undang Asuransi Hari Tua dan Disabilitas, yang mengcover tidak hanya buruh melainkan juga petani, artis, dan pegawai pemerintah. Negara membiayai sebagian dan sisanya ditanggung penerima manfaat. Tahun 1893 disahkan undang- undang Aksi Perlindungan Pekerja, yang semakin ketat mengatur keselamatan kerja, larangan berkerja di hari Minggu, mengatur jam kerja maksimum 11 jam untuk perempuan dan 10 jam untuk pekerja berusia di bawah 16 tahun, melarang anak usia di bawah 13 tahun untuk bekerja, mendorong pendirian komite-komite buruh di pabrik untuk penyelesaian perselisihan, serta pendirian pengadilan hubungan industrial untuk menyelesaikan konflik antara pengusaha dan pekerja. Tahun 1903 disahkan undang-undang Aksi Perlindungan Anak, yang lebih ketat melarang buruh anak di pabrik.

Kesuksesan Welfare State di Jerman berimbas ke negara-negara Eropa lainnya dan berkembang selama pertengahan awal Abad 20. Negara-negara Eropa Utara atau Skandinavia (Swedia, Norwegia, Finlandia, Denmark, dan Islandia) bahkan memiliki konsep welfare state yang bercorak kekhasan wilayahnya, biasa diistilahkan sebagai Model Nordik. Model Nordik dikembangkan pada tahun 1930-an oleh para politisi sosial demokrat dan gerakan buruh di sana, dan bertahan hingga saat ini (meskipun bukan tanpa kritik, apalagi dengan masuknya deregulasi dan privatisasi dalam 20 tahun terakhir). Keistimewaan Negara Kesejehateraan Model Nordik adalah: pendidikan gratis dan jaminan kesehatan yang universal; jaminan pensiun yang besar; kesepakatan upah antara pengusaha dan pekerja lebih sering terjadi secara terdesentralisasi ketimbang mengikuti aturan upah pemerintah; rendahnya tingkat korupsi (menduduki 10 besar negara paling bersih dari 180 negara berdasarkan Corruption Perception Index), tingginya keanggotaan atau kepadatan serikat buruh (trade union density), Finlandia 90,7 persen, Islandia 67 persen, Denmark 65,2 persen, Swedia 58,8 persen, dan Norwegia 50,4 persen (bandingkan dengan Jerman 16,3 persen dan Amerika Serikat 9,9 persen); Negara-negara Nordik menempati rangking tertinggi dalam perlindungan hak buruh berdasarkan Global Rights Index yang dikeluarkan oleh International Trade Union Confederation (ITUC); Pengeluaran publik dibandingkan dengan PDB negaranya untuk negara Nordik juga sangat tinggi, terutama di Swedia 56,6 persen, Denmark 51,7 persen, dan Finlandia 48,6 persen berada di atas rata-rata negara OECD; dan rasio pajak sebagai persentase dari PDB di Negara Nordik juga sangat tinggi, di Denmark 45,9 persen, Swedia dan Finlandia 44 persen, dan Norwegia 41 persen,

Welfare State terjadi di Indonesia?

Konsep Negara Sejahtera juga berkembang di Indonesia, meskipun masih sangat jauh dari praktek yang umum di Eropa- sehingga hasilnya pun tidak memiliki dampak yang sebaik di Eropa. Negara Sejahtera hanya menjadi bahan retorika para politisi, belum menjadi suatu aksi yang nyata. Misalnya, dalam acara “Sarasehan 100 Ekonom” yang diadakan INDEF minggu lalu, salah satu calon presiden Prabowo Subianto sampai menggunakan istilah welfare state untuk memuji program-program kesejahteraan yang sudah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Meskipun di kesempatan yang sama juga, pada sesi tanya jawab, Prabowo minta buruh agar tidak selalu meminta kenaikan upah, agar pengusaha tidak kabur ke negara lain katanya. Karena di dalam pemerintahan Jokowi yang menurutnya sudah merupakan welfare state, banyak aspek kesejahteraan buruh dan nyaknya subsidi yang sudah ditanggung pemerintah. Karena para capres lain tidak secara spesifik menunjuk soal welfare state, maka kita akan coba bedah pernyataan- pernyataan Prabowo, apakah benar Indonesia sudah mencapai kondisi welfare state?

Terdapat tiga indikator suatu Negara dapat dikategorikan sebagai welfare state: 1) Serikat buruh semakin dominan di masyarakat; 2) Terjadi redistribusi ekonomi yang konkrit; dan 3) Negara semakin berorientasi publik.

Untuk indikator pertama (1), dapat diukur dengan kepadatan serikat buruh, atau trade union density. Kepadatan serikat buruh di Indonesia hanya 6 persen (sumber: ITUC), artinya dari seluruh buruh di sektor formal, keanggotan buruh yang berserikat hanya 6 persennya. Nilai ini bahkan di bawah negara yang katanya paling liberal dan pro pengusaha seperti Amerika Serikat (9,9 persen), di bawah moyangnya Welfare State Jerman (16,3 persen), dan sangat jauh di bawah dari Negara-negara welfare state di wilayah Nordik (yang seluruhnya di atas 50 persen). Artinya berdasarkan indikator pertama welfare state, yang menyaratkan serikat buruh semakin dominan, tidak terjadi di Indonesia.

Kemudian indikator kedua (2), kita akan periksa redistribusi ekonomi. Untuk ini kita akan memandingkan data bersumber dari World Inequality Report tahun 2022 untuk distribusi pendapatan nasional kepada 10 persen orang terkaya dan 50 persen rakyat biasa. Disebutkan, 10 persen orang terkaya di Indonesia, terjadi peningkatan bagian pendapatan dari 42 persen di tahun 2014 menjadi 48 persen di tahun 2022. Sementara bagi 50 persen rakyat biasa, bagian pendapatan berkurang dari 16 persen di tahun 2014 ke 12,4 persen di tahun 2022. Artinya di era Jokowi (2014- 2022) pendapatan nasional bukannya terdistribusi ke masyarakat banyak, malah semakin terakumulasi ke kalangan terkaya. Sederhananya, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Bila dibandingkan dengan negara-negara welfare state seperti Jerman, orang kayanya hanya menguasai 37 persen bagian pendapatan dan rakyat biasanya menguasai 19 persen bagian pendapatan. Di Negeri Nordik, distribusi pendapatan semakin baik. Contohnya di Swedia, orang kayanya hanya menguasai 30 persen bagian pendapatan, sementara rakyat biasanya menguasai 24 persen pendapatan. Sangat terlihat kontrasnya dengan data Indonesia, sehingga berdasarkan indikator distribusi ekonomi, Indonesia juga tidak masuk kategori welfare state.

Indikator ketiga (3), apakah Negara Indonesia semakin berorientasi publik? Artinya yang diukur adalah seberapa besar bagian ekonomi yang dialokasikan oleh Negara untuk membiayai pelayanan publik. Ini dapat diukur dari berapa persentase pengeluaran publik dibandingkan terhadap PDB. Indonesia berada pada posisi 18,2 persen (IMF). Jerman rasionya 49 persen. Sementara untuk negara Nordik, seperti Swedia besarnya 56,6 persen, Denmark 51,7 persen, dan Finlandia 48,6 persen. Besar dari pengeluaran pemerintah ini umumnya sangat berhubungan dengan nilai rasio pajak terhadap ekonomi. Di Indonesia rasio pajak terhadap ekonomi hanya 9,1 persen. Bandingkan dengan Jerman 39 persen. Atau dengan Swedia 44 persen, Denmark 45 persen, Finlandia 44 persen, dan Norwegia 41 persen. Artinya berdasarkan indikator yang ketiga, Indonesia juga masih sangat jauh dari standar welfare state, ekonominya masih belum berorientasi pada publik.

Bila Prabowo beretorika soal hebatnya kartu-kartu layanan kesehatan di era Jokowi, prinsipnya sebenarnya sama berakar pada BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan adalah sebuah sistem asuransi kesehatan yang lahir dari perjuangan kaum buruh Indonesia bersama para intelektual kampus yang berpihak pada buruh. Nama organisasinya adalah Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), yang beranggotakan 64 serikat buruh di seluruh Indonesia, dipimpin oleh sekjennya tokoh gerakan buruh Said Iqbal. Perjuangan melalui jalanan dan forum-forum diskusi ini berjalan sampai 3-4 tahun lamanya sampai Pemerintah dan DPR akhirnya setuju mengesahkan UU BPJS Kesehatan pada tahun 2014. Saat ini Said Iqbal adalah presiden dari Partai Buruh, partai politik yang berideologi Negara Sejahtera. Artinya dari seluruh partai politik yang ada saat ini, yang pemimpinnya memiliki rekam jejak paling jelas memperjuangkan salah satu pilar welfare state (jaminan kesehatan) hanyalah Said Iqbal. Saat tokoh-tokoh lain hanya beretorika tentang welfare state, Said Iqbal dan gerakan buruh sudah membuktikannya dengan perjuangan panjang meski dari luar pemerintahan. Jadi dapat dibayangkan bagaimana bila Partai Buruh berhasil masuk parlemen dan pemerintahan, niscaya perjuangan menuju welfare state akan lebih cepat tercapai.

Untuk persoalan upah, sebenarnya wajar bila buruh masih menghendaki kenaikan upah minimum saat ini. Terutama pada saat pemerintah tidak mampu menstabilkan harga-harga barang kebutuhan pokok. Dan yang terpenting adalah soal gap dari gaji Saat ini rasio rata-rata gaji antara pimpinan/CEO perusahaan besar dan pekerja biasa di Indonesia masih sangat tinggi, antara 50:1 hingga 80:1. Sebagai perbandingan, di Jerman rasio yang sama hanya 7,5:1. Di Negeri Nordik lebih rendah lagi, seperti Norwegia perbandingannya hanya 3,5:1, dan Swedia 4,6:1. Untuk mencapai rasio yang lebih kecil, maka tidak ada jalan bagi buruh di Indonesia untuk terus menuntut kenaikan upah minimum mereka. Karena agak sulit bila yang dituntut adalah menurunkan gaji para CEO bukan? ***