Partai Buruh dan Tantangan yang Membentang

02/03/2023 13:32 WIB

post-img

Oleh: April Perlindungan*

Partai Buruh telah dideklarasikan ulang dan menggelar kongres pada 4-5 Oktober 2021 lalu di Jakarta. Partai ini merupakan kelanjutan Partai Buruh yang didirikan oleh Muchtar Pakpahan dan Sonny Pudjisasono tahun 1998. Terlepas dari beragam tanggapan yang muncul begitu cepat, saya mengapresiasi dan optimis jika Partai Buruh kali ini mampu bertarung pada pemilu 2024 mendatang. 

Kali ini, saya tidak akan mendalami apakah partai buruh ini pragmatis, berhaluan kiri atau tidaknya, namun sebatas ingin mengungkapkan  berbagai alasan mengapa Partai Buruh kali ini akan mampu bertarung pada pemilu 2024, sekaligus mengemukakan alasan mengapa upaya sejumlah Partai-Partai Buruh sebelumnya gagal menembus parlemen. 

Berdasarkan pengalaman subjektif saya berkecimpung dalam forum diskusi  serta pernah ikut serta membangun partai alternatif, maka saya memandang bahwa proses deklarasi Partai Buruh kali ini cukup memenuhi syarat Partai untuk menyongsong Pemilu 2024 mendatang. 

Alasan Kegagalan Partai Buruh Masa Lalu

Meski syarat administratif pendirian Parpol tidak serumit syarat terkini, dimana  partai harus mendapatkan status badan hukum terlebih dahulu dari Kementerian Hukum dan HAM dan  harus memiliki kantor di 100 persen Provinsi, memiliki kantor di 75 persen Kabupaten/Kota, dan memiliki kantor di 50 persen Kecamatan. Namun ada berbagai alasan mengapa Partai Buruh pasca reformasi gagal ikut Pemilu. 

Pertama, fragmentasi internal antar serikat buruh.  Jika bercermin  pada upaya Partai Nuruh di awal era reformasi. Dimana kekuatan buruh eksklusif hanya terbatas pada buruh industri juga terpecah dalam beragam Partai, yakni Partai Pekerja Indonesia (PPI), Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia (PSPI), Partai Buruh Nasional (PBN), dan Partai Solidaritas Pekerja (PSP), sudah dipastikan tak ada satu pun partai berbasis buruh yang lolos, dan membuat partai arus utama happy dengan kondisi tersebut.

Namun ditengah menguatnya fragmentai itu, Partai Buruh pada Pemilu 2004 berhasil mendapatkan 636.397 suara (0,56 persen) kemudian tahun 2009 Partai Buruh mendapatkan 265.203 suara (0,25 persen). Asumsinya, jika waktu itu Partai Buruh  membangun aliansi luas dengan sektor lain dan bersatu dalam satu payung, di perkirakan perolehan suara Partai Buruh  mampu melampaui 2 %  seperti yang disyaratkan.  

Kedua, terbatasnya jejaring teritorial. Karena di masa itu, pengertian buruh masih sangat identik dengan orang berseragam dan terbatas pada orang bekerja di pabrik. Maka Partai Buruh di identikan pada sektor industri (pabrik). Sedangkan pabrik hanya berpusat di wilayah  bahkan berpusat di ibu kota Provinsi dan  Kota/Kabupaten tertentu. Sehingga program dan struktur kepengurusan Partai Buruh sulit diterima di luar kawasan industri, jadinya persebaran teritorial pengurus Parpol tingkat Kabupaten, Kecamatan, hingga Desa sebagaimana syarat penting berdirinya Parpol tidak terpenuhi. 

Kelemahan-kelamahan Partai Buruh dalam pemilu sebelumnya, dapat di identifikasi oleh para inisiator Partai Buruh saat ini, yakni dengan melibatkan spektrum konsituen dan organ yang lebih beragam.  

Alasan Partai Buruh Lebih Siap Bertarung di Pemilu 2024

Pertama, membangun aliansi lebih luas dan beragam. Bergabungnya empat konfederasi serikat buruh terbesar di Indonesia yakni Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pimpinan Said Iqbal, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) di bawah Ihamsyah, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) juga dukungan Serikat Petani Indonesia (SPI), Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi Pertambangan (FSPKEP), Federasi Serikat Pekerja Farmasi Kesehatan (FSB Farkes), Forum Pendidik Tenaga Honorer dan Swasta Indonesia (FPTHSI), serta Gerakan Perempuan Indonesia (GPI), telah memperkecil hambatan buruh membangun partai, yakni menjawab soal fragmentasi antar serikat dan penguasaan teroterial.

Partai Buruh kali ini cukup berhasil mengoreksi kelemahan Partai Buruh sebelumnya, yang hanya mengandalkan satu Konfederasi yakni KSBSI dan tidak melibatkan aliansi luas seperti unsur serikat tani yang berpengalaman dalam pengorganisasian petani yang punya jejaring teritorial cukup luas. Terlibatnya serikat tani dalam Partai Buruh cukup menutupi titik lemah pengorganisasian buruh yang sejauh ini belum mampu menjangkau buruh tani, buruh kebun yang keberadaan teritorialnya berada di setiap kabupaten/kota, kecamatan hingga tingkat desa. Kelak, soal teritorial ini akan berpengaruh terhadap komposisi Daerah Pemilihan (Dapil) di parlemen.  

Kedua, tidak membangun partai baru namun memilih Partai Buruh yang telah ada, merupakan langkah politik tepat. Sebab partai buruh yang didirikan oleh SBSI ini secara legal telah terdaftar di Kemenkumham, serta punya pengalaman  dalam proses pemilu sebelumnya. 

Ketiga , KSPI dan KSPSI sebagai inisiator yang memilih akuisisi Partai Buruh, telah mengupayakan saluran  politik tanpa partai buruh dalam berbagai advokasi. Salah satu contoh kasusnya adalah penolakan buruh terhadap PP no. 78 tahun 2015. PP ini mengatur tentang pengupahan. PP ini dianggap merugikan buruh dan sangat menguntungkan pengusaha karena dalam penentuan upah hanya menggunakan variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. PP ini menghapus peran serikat pekerja dalam perundingan penetapan upah.

Dalam upaya menolak PP no. 78 tahun 2015, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan lobi dan negosiasi dengan DPR. Tujuan dari negosiasi ini adalah supaya DPR membentuk Pansus atau Panja untuk mengkaji dan mengevaluasi PP no. 78 tahun 2015. Tim Panja pun dibentuk oleh DPR dan menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah untuk mencabut PP no. 78 tahun 2015. 

Diakomodasinya kepentingan buruh oleh DPR ini tidak terlepas dari posisi KSPI (Said Iqbal) dalam perpolitikan nasional kala itu. Pada Pemilu 2014, KSPI mendukung kubu Prabowo. Walaupun Joko Widodo berhasil memenangkan Pilpres, tapi kursi parlemen dikuasai oleh koalisi partai pendukung Prabowo dengan perolehan sebesar 63,03% .

Hal sebaliknya justru terjadi kala penolakan kaum buruh terhadap UU Cipta Kerja. Dalam kasus UU Cipta Kerja, buruh juga merasa dirugikan sehingga DPR membentuk tim kerja bersama kaum buruh melalui KSPI. Walaupun sudah dibentuk tim kerja bersama dengan KSPI, tuntutan kaum buruh tetap tidak diakomodasi. UU Cipta Kerja tetap disahkan tanpa ada perubahan yang diusulkan oleh KSPI. Di balik tudingan bahwa KSPI dan KSPSI punya kepentingan pragmatis pada pemilu 2024, namun track record advokasi KSPI sejauh ini bisa relevan dengan kepentingan buruh membangun Partai. 

Keempat, dicantumkannya platform partai soal keaulatan pangan, ikan, dan ternak dalam skema Reforma Agraria, dapat menjadi bahan konsolidasi lanjutan sekaligus telah mengubah identifikasi Partai Buruh yang hanya peduli terhadap kenaikan upah buruh semata. 


Tantangan Yang Membentang

Setelah sekian lama pasca Orde Lama tumbang, pada  periode 2019-2024 hanya ada satu anggota DPR yang berasal dari golongan buruh. Obon Tabroni merupakan anggota DPR yang dikenal aktif dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Salah satu penyebab minimnya anggota DPR yang berasal dari golongan buruh adalah tidak adanya partai yang secara khusus mewakili golongan buruh.

Selama ini, cara yang bisa kaum buruh lakukan adalah melakukan lobi dengan anggota parlemen. Lobi ini pun tidak menjamin bahwa kepentingan buruh akan diperjuangkan. Hal ini tercermin dari advokasi isu UU Cipta Kerja yang gagal dibawa dalam parlemen karena lemahnya kekuatan oposisi. Hal ini diperparah dengan terfragmentasinya gerakan buruh. Fragmentasi gerakan buruh akan menyebabkan sulitnya advokasi karena adanya perbedaan kepentingan di dalam tubuh gerakan buruh itu sendiri.

Meski Partai Buruh telah melakukan aliansi dengan konfederasi besar dan cukup diperhitungkan, namun  Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total pekerja Indonesia usia 15 tahun ke atas per Agustus 2019 sebanyak 126,51 juta orang. Persebaran terbanyak terdapat pada pekerja informal, yaitu mencapai 70,49 juta orang. Angka ini lebih tinggi dari pekerja formal yang hanya 56,02 juta. Jumlah pekerja formal dan informal tersebut belum sepenuhnya memiliki kesadaran kelas dan keadaran berserikat. Sehingga belum semua konsituen mudah dijangkau  kemudian memilih Partai Buruh. 

Pekerjaan aliansi rasanya akan lebih berdaya guna bila Partai Buruh turut membuka tangan dan pikirannya kepada organisasi politik baru lainnya yang berkonstituen gerakan sosial. Sebutlah Partai PRIMA dan Partai Hijau Indonesia. Bila terjadi, gabungan ketiganya adalah satu-satunya blok politik terkeren sepanjang kontestasi menuju gempita elektoral 2024.

Hal lain adalah proses pembentukan kepengurusan lartai, terdapat sejumlah daerah terutama di provinsi-provinsi muda yang penduduknya relatif sedikit, wilayah tersebut jejaringnya sangat terbatas dari jangkauan organisasi yang berpusat di Jakarta. Kalaupun ada, biasanya jejaring tersebut sudah direkrut oleh partai lain. Seperti di wilayah Maluku, Papua, Kepulauan Riau dan Kalimantan Utara, merupakan daerah dengan tantangan yang lebih khas. 

Kemudian, tidak semua serikat buruh didirikan secara independen. Sejauh ini suara mereka terbiasa dimanfaatkan oleh partai-partai besar bahkan terafiliasi langsung dengan partai tertentu. Resistensi partai mainstream terhadap Partai Buruh tentu menjadi hambatan tersendiri, terutama dalam verifikasi Parpol dan keikutsertaan dalam Pemilu. Saat ini, Menteri Hukum dan HAM merupakan kader Partai PDIP, begitupun penyelenggara Pemilu (KPU) yang tidak sepenuhnya independen dan kerap dikaitkan dengan perilaku koruptif. 

Hal itu dapat di atasi, jika Partai Buruh konsisten menyuarakan penolakan UU Cipta Kerja baik kampanye mapun mobilisasi massa. Juga tak segan menyuarakan soal kritik terhadap industri ekstrakrif, reforma agraria dan perubahan iklim. Meski pengurus Partai telah dipilih dan sejumlah aliansi telah terlibat, namun konsolidasi seharusnya tidak pernah berhenti. 

Saya ucapkan, selamat bertarung Partai Buruh ! 


* Penulis mantan ketua RT di Bandung.