Berpijak di Bumi Sendiri

03/12/2023 14:24 WIB

post-img

Berpijak di  

Oleh DIKA MOEHAMMAD

Problem negara bekas jajahan seperti Indonesia tentu berbeda dengan negara-negara penjajah seperti Eropa dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, sebuah konsep tidak bisa disalin tempel begitu saja. Perbedaan sejarah perkembangan masyarakat negara bekas jajahan dengan negara penjajah harusnya dijadikan batu pijak untuk merumuskan sebuah konsep. Termasuk di dalamnya konsep negara kesejahteraan. 

Polemik negara kesejahteraan antara Todung Mulya Lubis dan Tauchid Komara Yuda di Harian Kompas memperlihatkan silang pendapat di atas awan, tidak menjangkar ke bumi. Keduanya memakai pandangan Eropasentris untuk dibumikan di Indonesia. Tidaklah mengherankan keduanya terjebak pada idealisme kaum intelektual yang berumah di atas awan. Ada ungkapan Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer: “Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Di mana pun ada malaikat dan iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis. Dan satu yang tetap, Nak, abadi : yang kolonial, dia selalu iblis.” ( hal.83).

Salah satu keunggulan kapitalisme adalah kemampuan beradaptasi. Ketika menghadapi krisis besar karena over produksi tahun 1930-an, mereka memutar otak lebih keras. Tahun-tahun itu mendung pekat menyelimuti Eropa, saat negara kapitalis berebut daerah jajahan lewat Perang Dunia. Selama berabad-abad sejak kapitalisme lahir, kekuatan mereka adalah melakukan penjajahan terhadap negara  lain, baik untuk mengeruk sumber daya alam serta manusia dan kesempatan membuka pasar baru bagi produksi mereka. Maka benarlah apa yang dikatakan Lenin bahwa puncak dari kapitalisme adalah imperialisme. 

Negara kesejahteraan adalah upaya kapitalisme untuk mengatasi krisis. Setelah kegagalan liberalisme, mereka menyadari bahwa peran negara harus diperkuat,  pasar tidak boleh dibiarkan bebas begitu saja. Negara harus ikut campur dalam proses produksi kapitalisme. Negara diharapkan mengatur distribusi ekonomi sehingga tidak menimbulkan krisis. Negara "harus berbuat adil" baik kepada yang miskin dan kaya. Si kaya diharapkan memiliki semangat solidaritas dengan membayar pajak progresif agar negara bisa memberikan subsidi kepada si miskin. Dengan begitu kesenjangan bisa diatasi agar tidak ada pertentangan kelas dalam masyarakat kapitalis. 

Selain  dari welas asih si kaya, negara kesejahteraan juga mendapatkan pemasukan dari negara-negara yang dijajah. Upeti tersebut digunakan sebagai sogokan kepada rakyat mereka. Benar mereka menyejahteraan rakyatnya sembari menginjak rakyat di negara jajahan sekuat tenaga.  Rakyat di negara penjajah bisa menikmati fasilitas pendidikan, kesehatan hingga hiburan, sementara rakyat di negara yang dijajah diperas sampai hanya tersisa tulang belulang. Dari mana  Denmark bisa memberikan jaminan sosial lewat UU yang disusun  pada kurun 1891-1898 yang meliputi pensiun hari tua, asuransi kesehatan, serta kompensasi kecelakaan kerja, kalau tidak dari negara jajahan? Begitu pula Norwegia  dan Swedia pada tahun 1891? Mayoritas negara Eropa adalah negara imperialis hingga Perang Dunia II berakhir. Sebagai negara imperialis mereka mempunyai sumber dana yang melimpah untuk memberikan jaminan sosial kepada rakyatnya. Bagaimana Indonesia?

Negara pascakolonial
Sebagai negara bekas jajahan, Indonesia menempuh jalan yang berbeda dengan Eropa. Indonesia memasuki fase kapitalisme yang berkelok-kelok. Selepas runtuhnya merkantilisme Majapahit dan munculnya kerajaan agraris di pedalaman dengan puncaknya Mataram Islam, Nusantara memasuki era feodalisme. Saat itulah kolonialisme dari Utara, Portugis, Spanyol dan Belanda datang ke Nusantara. Dalam kondisi seperti ini kapitalisme lahir, bukan hasil dari revolusi  industri dan revolusi sosial seperti di Eropa, namun hasil cangkokan dari kolonialisme Belanda. Bila di Eropa feodalisme dihancurkan, di Nusantara feodalisme dipelihara  untuk  kepentingan akumulasi modal. Raja, bupati, wedana sampai kepala desa digunakan oleh penjajah untuk memobilisasi ekonomi dan manusia. Akibat kapitalisme cangkokan, maka ketika terjadi revolusi Agustus 1945 sebagai revolusi demokratik  tidak mampu membersihkan sisa-sisa feodalisme. Dalam kondisi seperti ini kapitalisme Indonesia tidak bisa berjalan konsisten. Bung karno mengatakan: “Revolusi belum selesai!”

Kapitalisme semakin tidak tentu arah ketika Soeharto berkuasa. Berkembanglah kapitalisme militeristik. Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan menyebut Orde Baru sebagai negara neo fasisme, ketika militer memiliki peran sentral dalam politik, ekonomi dan sosial budaya. Dalam bidang  ekonomi, militer memiliki bisnis yang dikembangkan oleh berbagai yayasan yang mereka dirikan. Dalam politik mereka bergabung dengan partai politik dengan konsep Dwi Fungsi ABRI. Dalam sosial budaya mereka menentukan mana  yang boleh dan tidak dalam masyarakat. Selain itu militer juga berperan sebagai penjaga modal dari ancaman kekuatan penggangu, baik yang disebut ekstrim kiri maupun kanan. Tak pelak bila ada kekuatan-kekuatan yang menuntut hak seperti upah, ganti rugi tanah dan lain sebagainya, maka akan berhadapan dengan militer. 

Dalam kondisi seperti ini tentu kapitalisme tidak berkembang dengan menghasilkan borjuasi yang tangguh karena yang dikembangkan adalah kolusi dan nepostisme. Mereka yang bisa menjadi borjuasi adalah yang mau melakukan kolusi dan nepostisme dengan kekuasaan. Tak mengherankan para borjuasi yang  lahir  tidak jauh dari seputaran istana. Kapitalisme militeriatik ini pun akhirnya runtuh dihantam krisis ekonomi 1997-98. Orde Baru yang menjalankan kontrol negara yang kuat seperti negara Eropa yang menerapkan negara kesejahteraan, akhirnya pupus. Masuklah pada fase kapitalisme neoliberal dengan resep efisiensi, pemotongan subsidi dan akses sebesar-besarnya bagi modal asing dan swasta. 

Emansipasi
Ketika para petani di Skandinavia menggalang diri menuntut diterapkannya jaminan sosial pada abad ke 19, petani di Indonesia sedang dikuras tenaganya dalam Tanam Paksa. Sebagai korban penjajahan, petani di Indonesia sudah dilumpuhkan secera mental dan fisik. Jangankan untuk menuntut jaminan sosial, untuk hidup sehari-hari saja mereka kesulitan. Tanah-tanah perkebunan Belanda menuntut para petani bekerja keras agar bisa menghasilkan akumulasi kapital yang besar untuk kemudian dibawa ke negara penjajah guna memberikan jaminan sosial kepada rakyatnya. Akibatnya, waktu para petani habis menggarap tanah-tanah penjajah, mereka tak sempat lagi mengurus secuil bagian tanah mereka sendiri. Tidaklah mengherankan kalau mereka sering dirundung kelaparan dan kesengsaraan. 

Memang ada pemberontakan petani di Banten sebagaimana ditulis sejarawan Sartono Kartodirdjo, namun sporadis dan tidak terorganisir dengan baik sehingga mudah dipatahkan. Perlawanan-perlawanan petani baru terorganisir tahun 50-an ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) mengorganisir Barisan Tani Indonesia (BTI). Namun sebagian besar tuntutan mereka bukan jaminan sosial tetapi masalah land reform. Para petani miskin menuntut pembagian tanah dari negara yang kadang kala menimbulkan aksi sepihak. Ketika gerakan petani mulai menguat, bersama gerakan buruh dan rakyat, mereka kembali dihancurkan pada tahun 1965 oleh Orde Baru. Setelah itu gerakan petani kembali sporadis seperti yang terjadi di Nipah, Blangguan, Kacapiring, Kedung Ombo dan beberapa daerah lain. Sekali lagi tuntutan mereka bukan masalah negara kesejahteraan, melainkan masalah tanah mereka yang dirampas oleh negara. 

Dilupumpahkannya gerakan petani, buruh dan rakyat membuat tuntutan mereka masih sebatas tuntutan ekonomis. Petani menuntut tanah, buruh menuntut upah. Mereka belum melakukan tuntutan politis apalagi ideologis. Sehingga tak mungkin meminta mereka melakukan tuntutan yang sama dengan para petani dan buruh di Eropa dulu dan hari ini.

Petani dan buruh di Indonesia bukan tidak mau membayar iuran BPJS, misalnya, tetapi masalah asuransi belum utama bagi mereka. Sehari-hari mereka harus bertarung dengan kebutuhan perut. Rakyat bukan tidak mau membayar asuransi hari tua, misalnya, tetapi uang mereka bukan untuk itu melainkan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak. Bukannya petani, buruh dan rakyat tidak memiliki jiwa kolektivitas dan solidaritas. Hidup mereka telah dihancurkan oleh kapitalisme, jangankan memikirkan hidup orang lain, memikirkan hidup sendiri saja masih kelimpungan. Belum lagi penghancuran gerakan progresif tahun 1965 yang telah membuat petani, buruh dan rakyat kehilangan kesadaran untuk membangun serikat-serikat.

Problem-problem seperti inilah yang  mereka hadapi hari ini. Tanpa adanya pengorganisiran, tidaklah mungkin mereka akan menuntut kepada negara untuk memenuhi  tuntutan kesejahteraan. Oleh karena itu, sebelum para intelektual berdebat tentang negara kesajahteraan, ada baiknya mereka melakukan aksi turun ke bawah, melakukan pengorganisiran terhadap petani, buruh dan rakyat. Dengan begitu diharapkan mereka memiliki kesadaran ideologi, politik dan organisasi sehingga memiliki kekuatan yang besar untuk memberikan tekanan kepada negara untuk menerapkan negara kesejahteraan.

Yang perlu dipikirkan dan dikerjakan hari ini adalah menguatkan emansipasi petani, buruh dan rakyat. Bukankah negara kesejahteraan hadir karena tuntutan dari bawah, bukan belas kasihan dari atas? Mari kita kerjakan. ***


DIKA MOEHAMMAD, Sekretaris Nasional Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)