Erma: Sang Pioner Buruh Perempuan Asal Grobogan

12/02/2023 12:22 WIB

post-img

Awal Februari lalu, beredar video viral di Tik-Tok seorang buruh perempuan berdebat dengan atasannya di pabrik lantaran ia tidak terima dikatakan "gila" oleh atasannya. Perempuan itu bernama Erma Oktavia. Selain tidak terima atas kata-kata kasar sang atasan, video tersebut juga mengungkap fakta bahwa di PT SAI Apparel tempatnya bekerja juga terjadi pelanggaran jam kerja yang akut. Buruh "dipaksa" bekerja melebihi jam kerja resmi, bahkan sampai long-shiff pulang dini hari, tetapi upah yang diterima tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 

Sehari sebelum kejadian video tersebut, Erma dibuat kesal dan kecewa oleh atasan karena dia dipersulit dalam mendirikan organisasi serikat pekerja (SP SPRING). Saat ia melayani pendaftaran anggota serikat di luar jam kerja, mereka yang mendaftar dibentak dan disuruh masuk kerja lagi, kemudian Erma diusir. Esok harinya, Erma bertanya ke atasan salah dia apa, dan salahnya dimana? Saat ia bertanya inilah yang divideokan hingga viral di Tik Tok. 

Apa yang dilakukan oleh Erma dengan memvideokan kondisi kerja yang tidak baik tersebut merupakan langkah berani, mengingat ia belum genap 1 tahun bekerja di perusahaan tersebut. Langkah berani Erma bukan tanpa konsekuensi. Mengingat Erma adalah buruh kontrak yang belum genap 1 tahun bekerja. Hal inilah yang patut diapresiasi. 

Undang-undang Ketenagakerjaan telah mengatur ketentuan jam kerja adalah 40 jam kerja seminggu, baik yang memberlakukan 5 hari kerja atau 6 hari kerja dalam seminggu. Lebih dari itu, maka hal itu harus dinyatakan lembur. Ketentuan jam lembur juga diatur dalam perundang-undangan dan bersifat sukarela. Sehingga membutuhkan persetujuan dari buruh. Tanpa persetujuan dari buruh, maka lembur tidak boleh dipaksakan. 

Jika buruh PT SAI bekerja dari pagi hingga malam bahkan dini hari (misalnya sampai jam 3 pagi), hal ini merupakan pelanggaran jam kerja. Dalam sehari buruh PT SAI bisa menghabiskan waktu sekitar 10-15 jam demi memperlancar ekspor. Kondisi ini kemudian memunculkan istilah "simpan jam"  kerja. Ini adalah istilah "akal-akalan" untuk mengelabuhi buruh. Jika ini dibiarkan, maka pengusaha di tempat lain akan mempraktikkan hal serupa. Pertanyaannya adalah apakah kita akan membiarkan tempat kerja kita menjadi arena perbudakan? 

Bisa dibayangkan, PT SAI yang mempekerjakan sekitar 3.000 buruh dengan sekitar 95% nya perempuan, terkungkung di dalam pabrik dari pagi hingga dini hari. Mereka mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk terus-menerus mengejar target, dengan pecut kata-kata "gila, bodoh, anjing, dan seterusnya". Setiap hari atasan menggunakan kata-kata kasar demi menunjukkan kuasanya sebagai atasan, untuk menebar ketakutan di kalangan buruh. Relasi kuasa antara atasan dan bawahan itu dimanfaatkan para atasan  untuk menakut-nakuti buruh "tidak diperpanjang kontrak kerjanya jika tidak bekerja dengan cepat." Ini adalah perbudakan manusia. 

Dalam wawancara dengan Erma pada 5 Februari lalu, Ia juga menyampaikan bahwa PT SAI Apparel belum memberlakukan hak maternitas kepada buruh perempuan baik itu cuti haid, cuti keguguran, maupun cuti melahirkan. Perusahaan telah merampas tenaga buruh sedemikian rupa, namun hak mendasar buruh perempuan saja tidak diberikan. Padahal hak maternitas buruh perempuan adalah salah satu pendukung produktivitas kerja. Sudah berapa keuntungan yang dikeruk pengusaha itu dengan merenggut hak-hak buruh? 

Situasi kerja mencekam itu tidak hanya dirasakan oleh Erma, namun oleh ribuan buruh yang lain. Erma banyak mendapat ucapan terima kasih dari rekan-rekannya karena berani menyuarakan keresahan yang mereka hadapi. Erma telah mempelopori, namun Erma tidak boleh sendirian. Ribuan suara lantang, ribuan perempuan pemberani dibutuhkan untuk bahu membahu mengubah kondisi kerja di PT SAI. 

Keberanian Erma dilatari dengan kesadaran kelas  yang ia peroleh dari serikat yang ia bangun. Menurut Erma "buruh membutuhkan kerja namun tidak untuk dibentak-bentak, buruh membutuhkan uang namun tidak untuk diperbudak." Pada dasarnya pengusaha membutuhkan tangan-tangan terampil buruh untuk memproduksi barang dan buruh membutuhkan upah untuk kesejahteraan. Hubungan buruh dan pengusaha adalah saling membutuhkan, sehingga komunikasi menjadi kunci mencapai tujuan. 

Akal-akalan "simpan jam kerja" di PT SAI berdampak pada hilangnya kesempatan buruh perempuan untuk bersosialisasi dengan anak, keluarga, atau lingkungan karena sebagian hidupnya diabdikan untuk pabrik. Hal ini merupakan pengingkaran bahwa manusia adalah  makhluk sosial, yang butuh bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Bukan hanya dengan situasi di pabrik karena dengan begitulah buruh dapat berkembang sebagai manusia yang utuh. 

Tak jarang juga buruh perempuan bertengkar dengan suami karena pulang larut malam hingga dini hari. Hubungan kerja yang tidak sehat di pabrik memicu ketidakharmonisan keluarga di rumah. Padahal tujuan bekerja selain wujud aktualisasi diri, adalah demi menghidupi keluarga, agar kebutuhan anggota keluarga tercukupi termasuk pengembangan diri. 

Semua buruh berhak mengembangkan diri, termasuk buruh perempuan. Serikat buruh merupakan wadah bagi buruh untuk mengembangkan diri sehebat-hebatnya. Dalam Serikatlah buruh belajar dan berjuang secara kolektif, sehingga kesadaran kelas dapat terbangun. Tanpa berserikat maka buruh hanya akan menjadi alat untuk mengantarkan pemilik modal memperkaya diri. Di sisi lain buruh tetap dalam kemiskinan dan keterpurukan. 

Berserikat juga membekali buruh mempunyai kesadaran politik, bahwa segala hal yang terjadi pada dunia ketenagakerjaan adalah karena kebijakan politik penguasa. Jika pemerintah yang berkuasa berasal dari kelas kapitalis, kelas pengusaha (pemilik modal), maka kebijakannya hanya akan bertumpu pada upaya untuk mengeruk keuntungan sebesar mungkin, dengan menghisap tenaga kerja manusia dan mengeksploitasi alam raya. 

Erma telah memberi contoh baik, bagaimana sebaiknya buruh perempuan berposisi melawan penindasan, yaitu dengan membangun Serikat Buruh di pabriknya. Bagi Erma, Serikat Buruh adalah arena untuk mengubah kondisi kerja menjadi lebih baik, karena ada kesadaran dan tindakan politik yang dibangun secara kolektif. Berserikat artinya kita meyakini bahwa kekuatan juang adalah dengan persatuan, dengan melibatkan anggota, tanpa itu jangan berharap perubahan kondisi kerja bisa dilakukan sendiri. 

Membangun serikat buruh memang bukan hal yang mudah, apalagi di tengah arus fleksibilitas tenaga kerja yang semakin menggila. Buruh dihantui dengan ketakutan kehilangan pekerjaan, atau susah mencari kerja, dimana hal itu akan berdampak pada ekonomi keluarga. Namun, apakah kita sebagai buruh akan membiarkan hak-hak buruh dirampas pengusaha? Apakah kita akan mewariskan jam kerja panjang ini kepada generasi anak cucu kita nanti? Bukankah itu sama dengan mengembalikan situasi penjajahan kepada bumi pertiwi? 

Setelah video ini viral, nama baik perusahaan pun dipertaruhkan. Belakangan ini Erma dan pengurus serikat  kerap dipanggil presiden PT SAI Apparel dan meminta agar video viral tersebut dihapus. Mereka juga diminta membuat berita klarifikasi atas video tersebut. Jika hal itu tidak  dilakukan, mereka diancam akan dilaporkan polisi dengan UU ITE. Lagi-lagi pasal karet ini mengancam kebebasan sipil menyuarakan aspirasinya. Padahal pengusaha dan Suku Dinas Tenaga Kerja setempatlah yang harus segera berbenah diri. Hendaknya managemen PT SAI segera memperbaiki kondisi kerja, dan Sudinaker menindak pengusaha nakal yang melanggar ketentuan normatif. Bukankah pelanggaran jam kerja adalah tindakan pidana? Hingga tulisan ini dibuat, kenapa Menteri Tenaga Kerja belum bergegas menindak tegas pelanggaran ini di PT SAI? 

Erma telah mempelopori perjuangan kelas di pabriknya. Erma sadar betul konsekuensi akan perjuangan ini. Oleh karena itu, jika kita ingin mengubah kondisi kerja kita menjadi lebih baik, maka berserikatlah, kenali hak-hakmu, latih keberanianmu, dan bangun kekuatan politikmu, politik kelas pekerja. Jangan berpangku tangan, jangan menitipkan nasibmu kepada orang lain, karena perubahan hanya bisa terjadi jika kita bertindak mengambil bagian dari proses juang ini. 

Jakarta, 12 Feb 2023
(Jumisih - Deputy Bidang Perempuan Partai Buruh)