Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Sulawesi Selatan Bermasalah, Partai Buruh: Rombak Kebijakan Tak Ada Cara Lain

29/01/2024 08:08 WIB

post-img

Jakarta -  Partai Buruh mengkritisi Kebijakan Pupuk Bersubsidi yang masih terbatas dan tak semua petani memiliki akses. Perlu diketahui subsidi pupuk merupakan program tahunan pemerintah dengan alokasi  sekitar Rp. 25 triliun. Subsidi diharapkan membantu petani mendapatkan pupuk dengan harga terjangkau. Adapun, Jokowi telah menyetujui penambahan anggaran pupuk subsidi sebesar Rp. 14 triliun pada tahun 2024 ini.

Namun menjelang musim tanam pertama pada Januari 2024 ditemukan masih banyak petani yang tak bisa mendapatkan pupuk bersubsidi dan jikapun ada secara kuota dibatasi.

Kondisi ini disampaikan Justri Ketua Exco Partai Buruh Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

"Masalah yang di alami petani, semakin kurang jatah penyaluran pupuk bersubsidi. Awalnya untuk Urea kita dapat 7 sak (per sak 50 kilogram), kini hanya dapat kuota 2 sak. Jika sebelumnya jatah 5 sak, saat ini cuma 1,25 sak", keluh Justri melalui sambungan telepon siang ini (28/01).

Ia mengatakan pupuk subsidi untuk Urea dan NPK di kios resmi dijual seharga Rp130 ribu - Rp140 ribu per sak (50 kilogram). Itu pun petani sulit mendapatkan tepat waktu. Padahal, lanjut Justri, di kios-kios tidak resmi tersedia pupuk nonsubsidi berjenis NPK dengan harga Rp. 270 ribu per sak. Sementara pupuk nonsubdisi jenis urea dijual Rp. 340 ribu per sak.

Senada dengan Justri, Jupri Tarang Ketua Exco Partai Buruh Kecamatan Polongbangkeng Selatan, Kab. Takalar menyatakan bahwa sebagai contoh di Desa Cakura telah terjadi pengurangan pada penyaluran pupuk subsidi secara merata, dan banyak nama yang sudah tidak masuk dalam daftar penerima bantuan pupuk subsidi atau Calon Petani Calon Lokasi (CPCL).

"Sejak awal Januari kita sudah mengadukan namun respon pemerintah seolah tutup mata. Tambahan subsidi pupuk yang disampaikan Presiden Jokowi belum berdampak dan situasi demikian akan membuat bangkrut petani", ujarnya.

Oleh karena itu, organisasi petani dan koperasi petani harus dilibatkan dalam pengontrolan pendistribusian pupuk, juga mengenai data penerima dan penambahan kuota pupuk. 

Pada waktu yang bersamaan, Angga Hermanda Ketua Bidang Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan Exco Pusat Partai Buruh menerangkan kerumitan subsidi pupuk sesungguhnya terletak pada birokrasi dan administrasi. 

Berdasarkan temuan Ombudsman RI bahwa tidak semua petani di republik ini menerima subsidi pupuk. Karena baru sekitar 60 persen petani yang tergabung dalam kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan).

"Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem meningkat. Petani yang tidak memiliki tanah, tidak bisa masuk RDK dan RDKK. Kalau mau dapat akses pupuk subsidi syaratnya harus punya tanah, bukan penggarap. Sehingga subsidi pupuk belum dirasakan oleh petani kecil", tuturnya.

Oleh sebab itu kebijakan pupuk subsidi harus dirombak total. Subsidi tidak lagi ke pabrik produsen pupuk, melainkan langsung ke petani. Patut juga diperhatikan pengalihan subsidi pupuk ke pendidikan dan pelatihan pertanian agroekologis yang tidak membutuhkan pupuk dan obat-obatan kimia berbahaya.

"Jadi seperti yang sudah-sudah, penambahan subsidi pupuk tahun 2024 ini diperkirakan tidak akan banyak merubah keadaan, hanya semacam bumbu tahun politik saja, jika dan hanya jika kebijakan mendasar tidak diubah secara besar-besaran, agar pupuk subsidi langsung menyasar kepada petani dan tepat sasaran", tutupnya.