Tambang, Zola, dan Kematian 

27/12/2023 11:24 WIB

post-img

Dalam sejarah, selalu ada kematian di balik kemakmuran besar. Rasanya begitulah peradaban berjalan. Tanpa kecuali di pertambangan. Tambang tak sekali dua kali berubah dari pencetak jutawan menjadi liang massal pemakaman.

Pada 24 April 1942 di Benxihu Colliery, Tiongkok, 1.549 buruh tambang tewas. Itu merupakan kecelakaan pertambangan paling buruk dalam sejarah. Saat bos mengejar laba, pekerja menyabung nyawa, kemanusiaan menangis sejadi-jadinya. 

Selama Perang Dunia II, tambang Benxihu Colliery berada di bawah kendali tentara pendudukan Jepang. Mereka menekan buruh Tiongkok bekerja dalam kondisi  sangat jelek. Makanan langka dan tak tersedia pakaian yang cukup. 

Beberapa diantara buruh tambang dipekerjakan paksa setelah diciduk operasi militer. Maka Jumat naas di bulan April itu menjadi puncak dari gelapnya kapitalisme tambang. Butuh seminggu lebih mengevakuasi mayat-mayat korban.

Di Amerika, Biro Statistik Tenaga Kerja menempatkan pertambangan  diantara 10 pekerjaan paling berbahaya. Jumlah cedera fatal di industri pertambangan, penggalian, dan ekstraksi meningkat dari 78 pada tahun 2020 menjadi 95 pada tahun 2021, atau naik 21,8 persen. 

Biro juga melaporkan kematian di industri ini di atas 100 jiwa dalam tiga tahun sebelum tahun 2020. Yaitu 112 kematian pada tahun 2017. 130 kematian di tahun 2018, dan 127 kematian pada tahun 2019. Di sektor pertambangan batu bara tercatat rasio kematian 19,6 per 100.000 pekerja.

Dan pekan ini kita sekalilagi dikejutkan oleh tragedi di Morowali. Sudah 18 nyawa pekerja melayang karena meledaknya smelter nikel milik PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITTS).  Orang seharusnya bekerja demi mencari upah, bukan menyerahkan nyawa seperti di Sulawesi Tengah.

Smelter sendiri merupakan pabrik pengolahan dan pemurnian bijih tambang. Pemerintah mewajibkan seluruh perusahaan tambang untuk membuat smelter. Niatnya, hasil tambang yang diekspor tidak lagi dalam bentuk mentah. Karenanya nilai tambah mineral tambang akan meningkat. 

Tagline besar dari upaya ini disebut hilirisasi. Sesuatu yang digiatkan  pemerintah belakangan tahun. Ia disampaikan di hampir semua forum ekonomi. Menurut Kementerian ESDM, 53 smelter baru akan dirampungkan hingga tahun 2024. 

Pada bulan Juli lalu, Luhut Binsar Pandjaitan memaparkan nilai ekspor produk nikel hasil hilirisisasi telah mencapai USD 33,81 miliar pada 2022. Artinya terjadi lonjakan peningkatan hingga 745% dari nilai ekspor pada 2017. Kenaikkan yang spektakuler.

Tambang memang tak berbohong atas janji keberlimpahan. Buat para cukong, tentu saja. Tetapi di kubu lain, baik yang bekerja di hulu, maupun di sektor hilir, sama-sama menanggung resiko besar. Peristiwa di ITTS bukan insiden tunggal dan kali pertama. 

Pada 22 Desember 2022, kecelakaan kerja serupa merenggut nyawa dua pekerja. Terjadi ledakan tungku di kawasan industri nikel milik PT Gunbuster Nicek Industri. Ia perusahaan perusahaan besar asal Tiongkok yang beroperasi di Morowali Utara.

Di 27 April 2023, ada kecelakaan kerja di PT  PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Industry. Pabrik yang sama-sama berada di kawasan PT IMIP. Rentetan kejadian ini menunjukkan abainya aspek kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Elite kaya ramai-ramai membuka mata atas laba, kompak menutup kelopak perihal keselamatan kerja.

Rasanya, sepanjang tahun 2022-2023 tak ada satupun korporasi disanksi tegas atas kejadian yang merenggut nyawa pekerja. Para petinggi negeri lebih asyik mendengungkan hilirisasi, dan mimpi pendapatan nasional yang menggemuk walau berdiri di atas mayat kelas buruh.

Saat Abad 19 menuju akhir, penulis Prancis berpengaruh Emile Zola, merilis novel epiknya. 'Germinal' judulnya. Germinal mengisahkan kehidupan pekerja tambang yang mengenaskan. Miskin dan diperas habis-habisan. Buruh-buruh itu lantas melancarkan pemogokan.

"Tambang tidak pernah beristirahat; siang dan malam serangga manusia menggali batu enam ratus meter di bawah ladang.", tulis Zola tentang kaum pekerja di utara Prancis pada tahun 1860-an. 

Zola mengungkapkan kemarahan buruh-buruh tambang dalam kalimat yang kejam dan berani.

"Hanya ada satu hal yang menghangatkan hati saya, dan itu adalah pemikiran bahwa kita akan menyapu bersih borjuis ini."

Kemarahan ini mungkin juga milik kelas pekerja di mana saja. Mereka yang dipaksa bertaruh nyawa demi kemajuan statistik ekonomi. Di sana bersemayam rasa sakit, kesumat yang perih. Ada luka yang dibalut luka, dan keadilan yang hendak dimenangkan. 

Dan baru-baru ini kita melihat anak muda bercerita dengan intonasi over optimis perihal hilirisasi. Di debat Cawapres dia tampil percaya diri. Tetapi Tuan Muda, keringkan buih-buih di mulut mu itu. Tak usah berceloteh hilirisasi, bila pekerja tewas mengenaskan sebagai tumbalnya. 

Penulis : Fajar Adityo- Ketua Kaderisasi dan Ideologi Partai Buruh