Kekerasan Seksual di Tempat Kerja, Sebuah Fenomena Gunung Es

16/05/2023 17:31 WIB

post-img

Praktek Staycation Sebagai Syarat Perpanjangan Kontrak adalah Bentuk Kekerasan Seksual 

Beberapa waktu belakangan, kita dikejutkan dengan terkuaknya praktek staycation sebagai syarat perpanjangan kontrak, rekruitmen atau keberlanjutan kerja. Terkuaknya kasus ini bermula dari pengaduan AD, salah satu korban. Diketahui, pelaku adalah manager PT. Ikeda yang merupakan perusahaan outsourcing penyalur tenaga kerja di PT. KAO. 

AD, sebagaimana buruh perempuan lainnya yang berstatus buruh outsourcing bekerja dengan kontrak selama periode tiga bulan. Selama masa itu, bujuk rayu, ajakan kencan dan makan malam bersama, staycation kerap dirasakan korban. Terutama menjelang periode outsourcing akan habis dan menjelang perpanjangan kontrak ke tiga bulan ke dua. 

Peristiwa ajakan kencan maupun staycation sebagai syarat perpanjangan kontrak sudah menjadi rumor dan 'tahu sama tahu' dalam dunia kerja di Cikarang. Bagai fenomena gunung es, kasus ini marak, menumpuk dan diwajarkan meski menimbulkan jejak luka yang belum tentu tersembuhkan dalam sisa hidup para korban. 

Keberanian korban mengadukan kasus yang dialaminya patut diapresiasi dan mesti dilihat sebagai upaya membongkar gunung es yang sudah terlanjur membeku bertahun - tahun lamanya. Sehingga penting bagi publik, terutama aparat penegak hukum untuk memberi pengakuan bahwa praktik staycation sebagai syarat perpanjangan kontrak, rekrutmen, atau keberlanjutan kerja merupakan bentuk kekerasan seksual dan harus diproses dengan menggunakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Meski, aturan turunan pelaksana UU TPKS belum disahkan, penerapan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan bentuk komitmen penghapusan kekerasan seksual dimanapun, termasuk di dunia kerja. Berdasarkan Pasal 12 UU TPKS, pelaku eksploitasi seksual dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar rupiah. Pelaku individual dalam posisi atasan dapat diberi tambahan 1/3 pidana.

Selain itu, penting bagi pemerintah melalui LPSK  memberikan perlindungan bagi AD, untuk mencegah adanya peluang serangan balik dari pelaku. Perlindungan ini penting supaya bisa memberi rasa aman bagi AD dan bagi korban lainnya yang ingin berbicara atas peristiwa yang dialaminya. Tanpa jaminan perlindungan kepada korban, sulit rasanya membayangkan terbongkarnya praktek kekerasan seksual di dunia kerja sampai tuntas. 

Timpangnya Relasi Kuasa, Penyebab Kekerasan Seksual di Dunia Kerja 
Pada tahun 2017 lampau, Marsinah FM dan FBLP (kini berubah nama menjadi FSBPI) mendokumentasikan film Angka Jadi Suara, yang mengangkat tema Kekerasan Seksual di pabrik garment. Dalam waktu dua minggu riset, terdapat 25 korban di 15 perusahaan di KBN Cakung, Jakarta Utara. Bentuknya beragam mulai dari ajakan kencan, colek - colek atau sentuhan tidak diinginkan, hingga berujung pada kehamilan. 

Pelaku dari kekerasan seksual tersebut adalah atasan atau bos, hingga rekan kerja yaitu bagian mekanik. Buruh bagian mekanik punya kendali atas lancarnya mesin jahit sebagai alat kerja untuk bisa mencapai target. Di momen- momen kejar target, di saat mesin jahit rusak inilah, buruh bagian mekanik memanfaatkan kuasanya sebagai ahli memperbaiki mesin jahit untuk mengambil kesempatan dalam bentuk bujuk rayu dan sentuhan tidak diinginkan. Dalam konteks ini, nuansa kekerasan berbasis gender yang menempatkan tubuh perempuan sebagai obyek seksual teramat kental, sehingga pelaku merasa leluasa mengambil keuntungan seksual. Budaya patriarkal yang ribuan tahun membentuk nilai - nilai dalam struktur sosial masyarakat kerap menempatkan perempuan sebagai mahkluk nomor dua, dan menjadikan tubuh perempuan sebagai objek seksual. 

Sementara, Bos di dalam struktur pabrik mempunyai garis hirarki yang jelas sebagai atasan dan bawahan, dimana atasan sebagai pemberi perintah kerja dan mengupah. Di sisi lain, buruh perempuan menempati posisi sebagai penerima perintah kerja dan diupah. Terdapat relasi yang jelas timpang, dimana bos punya kekuasaan yang jauh lebih tinggi dalam menentukan target, jam kerja, hingga upah lembur. Buruh dalam hirarki "rejim pabrik" menempati struktur paling bawah, yang menggantungkan penghasilannya (upah) dari kerja yang diperintahkan oleh atasan. Buruh perempuan, dalam hal ini sangat membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ketimpangan ini dimanfaatkan oleh pemegang kuasa, dalam hal ini bos untuk mengambil keuntungan seksual dari buruh perempuan. Relasi kuasa berbasis gender dan kelas, memproduksi kekerasan berlapis kepada buruh perempuan baik kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan seksual. 

Relasi kerja kontrak pendek, outsourcing, turut memperparah ketimpangan relasi kuasa yang tercipta dalam struktur sosial masyarakat yang kapitalistik dan patriarkal. Bila ditelaah, terdapat relasi kuasa berbasis gender dan kelas yang saling berkelindan, berpilin mereproduksi kekerasan di dunia kerja. Sebagai perempuan yang acap kali dijadikan objek seksual akibat ketimpangan gender, membuat perempuan dalam posisi tidak aman, termasuk saat bekerja. Ketika kondisi kerja buruk, dengan hubungan kerja yang fleksibel, posisi buruh perempuan semakin rentan. Buruh perempuan ditempatkan pada posisi sulit, antara mempertahankan pekerjaan (meski buruk) dan dilecehkan secara seksual atau berhenti bekerja dengan konsekuensi sulitnya mencari pekerjaan, pun tidak menutup kemungkinan kekerasan serupa bakal terjadi. 

Apa yang dialami AD, juga dialami oleh buruh perempuan lain yang terjebak dalam ketegangan kepentingan serupa yang hadir dalam batinnya. Antara berbicara atau melawan dengan segala konsekuensinya atau tetap bertahan dalam lingkaran kekerasan yang tanpa ujung. Di sisi lain, pilihan untuk melawan kekerasan seksual di dunia kerja menghadirkan tantangan yang tidak kecil. Gelombang tantangan itu tidak saja hadir dari para bos, namun juga sesama rekan kerja, baik perempuan maupun lelaki, keluarga (pasangan, atau anggota keluarga lain) serta masyarakat publik, termasuk netizen. Tak jarang, korban justru tidak didukung dan dipersalahkan. Hal semacam ini, yang tak jarang membungkam korban dan menjadikannya korban berkali - kali, seolah dunia memusuhi dan membelakangi mereka. Sehingga, media juga menjadi salah satu pilar penting untuk menjadi bagian yang melindungi identitas korban saat memberitakannya, dan tidak menjadikan korban sebagai 'klik bait' pendatang cuan. Sayang, terdapat beberapa media yang justru mengungkap nama jelas korban dan foto korban. Meski korban sudah mengenakan masker, bisa dipastikan, orang sekitar korban akan mengenalinya. Demikianlah, media juga memainkan peran sama pentingnya dalam melindungi korban, selain aparat penegak hukum maupun LPSK. 

Peran Serikat Pekerja Sebagai Ruang Aman Bagi Korban
Serikat Pekerja adalah salah satu bentuk organisasi di tempat kerja yang bisa membuat posisi buruh bisa setara dengan perusahaan. Dengan hadirnya Serikat Pekerja, buruh bisa mempunyai hak turut andil dalam menentukan kebijakan perusahaan dan membela anggotanya yang dilanggar haknya, termasuk kekerasan seksual. 

Namun, Serikat Pekerja juga adalah miniatur dari struktur sosial masyarakat yang lahir dari budaya patriarkal dan sistem ekonomi kapitalistik. Sehingga, perjuangan penghapusan kekerasan seksual juga merupakan perjuangan melahirkan nilai - nilai baru yang berkebalikan dengan nilai - nilai lama yang menindas dan eksploitatif. Serikat Pekerja, dengan demikian perlu terus memperbaharui diri menjadi organisasi yang egaliter dan demokratis. Hanya dengan demikian, pengetahuan anti penindasan bisa terserap dan menjadi darah baru yang terus mengalir dalam dalam tubuh organisasi Serikat Pekerja. 

Hanya di dalam organisasi Serikat Pekerja yang berpegang pada prinsip kesetaraan dan demokratik, buruh perempuan bisa leluasa bertumbuh tanpa perlu takut mendapat stigma serta dilindungi dari segala bentuk kekerasan. Mulai dari pembuatan PKB (Perjanjian Kerja Bersama) yang memuat perlindungan bagi hak - hak buruh perempuan, hingga memperjuangkan disahkannya Konvensi ILO 190 tentang penghapusan pelecehan dan kekerasan di dunia kerja, serta pembangunan RP3 (Rumah Perlindungan Perempuan Pekerja) di tempat kerja maupun kawasan industri. 

RP3, diluncurkan pada tahun 2019 dengan lima kawasan industri sebagai pilot proyeknya melalui Permen PPPA No. 1/ 2020. Sayang, RP3 tidak berjalan, termasuk di KBN Cakung yang selalu kosong dan tidak terawat. Artinya, butuh dorongan lebih dari Serikat Pekerja supaya RP3 bisa terlaksana, terlebih seusai UU TPKS telah disahkan dan pemerintah telah menyatakan komitmen penghapusan kekerasan seksual. 

Perjuangan penghapusan kekerasan seksual, termasuk di dunia kerja, adalah perjalanan panjang di atas luka korban dan penyintas. Semakin panjang jalannya, semakin banyak luka yang harus dipulihkan. Waktu tak bisa diputar, luka tak bisa dihilangkan tanpa jejak, sehingga perjuangannya tak boleh surut oleh cobaan. Buat para korban dan penyintas, terimakasih telah bertahan, hingga jalan juang ini bisa terus ditapaki.