Mewarisi Pemikiran Kartini, Berani Mengembangkan Gagasan Progresif

25/04/2023 06:22 WIB

post-img

 

gemerlap warna warni karnaval

cantiknya kebaya dan sanggul

meriahnya lomba memasak dan make up

 

Setidaknya, itulah yang lekat dalam memori masa kanak - kanak. Beramai - ramai teman - teman sekolah mengantri dari pagi ke salon, menyewa baju kebaya, berdandan secantik mungkin. Dalam barisan karnaval, semua siswa berbaris dengan mengenakan baju daerah, diiringi rombongan drum band yang sudah berlatih jauh - jauh hari sebelumnya. Di hari sebelumnya, selama beberapa hari sekolah mengadakan lomba memasak hingga lomba make up. Hari itu adalah hari istimewa dengan gelar Hari Kartini oleh negara. Karya tulisnya menggema "Habis Gelap Terbitlah Terang" , namun kami para siswa hanya mengenal Kartini dengan sanggul dan kebaya. Pun, saat menginjak remaja, baru diri tersentuh dengan surat Kartini pada sahabatnya Stella.

Kami tidak pernah mengenal Kartini dari segi pemikirannya, tak jarang berpikir kritis bukan menjadi kebiasaan kami sedari kecil. Kami jarang mempertanyakan segala sesuatu, apalagi menggagas hal - hal besar. Kami dijauhkan dari gagasan, didekatkan dengan hal praktis dan instan tanpa mencernanya lebih dahulu sebagai sebuah gagasan. Demikianlah, pemikiran Kartini ditenggelamkan secara sistematis, tak jarang diragukan hasil pemikirannya sebagai sesuatu yang orisinil.

Sungguh gamblang dan benar adanya bila Kartini menegaskan tentang pentingnya pendidikan, bukan semata sekedar formalitas, namun sebagai kunci membuka pemikiran bahwa yang mustahil bisa menjadi mungkin dengan pengetahuan dan kebijaksanaan. Pandai menelaah dan menganalisa bukan semata untuk menyelesaikan problem pribadi atau individu, namun juga problem kebangsaan yang dibuat bodoh oleh penindasan. Menggagas kemerdekaan sebuah bangsa, kesetaraan antara umat manusia tanpa memandang jenis kelamin, ras dan bangsa adalah mungkin. Perempuan bisa menjadi setara dengan lelaki, punya akses yang sama di semua aspek kehidupan.

Di balik dinding pingitan, Kartini mengembangkan gagasan yang berani dan progresif melampaui jamannya. Di tengah kultur sosial masyarakatnya yang kolot, mengecilkan makna gagasan dan pemikiran apalagi dari seorang perempuan, Kartini punya keberanian menggoreskan pena. Lalu apakah menggoreskan pena, jauh lebih tidak berani dari pertarungan gagah berani di medan perang? Medan perang pun butuh siasat dan strategi, sebuah pemikiran yang jitu untuk memenangkan pertarungan. Demikianlah, perjuangan dengan pena adalah sama tajam dan beraninya dengan aksi di medan perang.

 

Ideologi Ibuisme = Menenggelamkan Pemikiran Kartini

Sanggul, kebaya, lomba memasak yang lekat dengan pekerjaan domestik adalah bagian dari ideologi ibuisme yang dibentuk oleh rejim militer Suharto. Mengembalikan peran perempuan hanya sebatas ruang domestik, sungguh sebenarnya bertentangan dengan pemikiran Kartini. Kartini sangat menentang pingitan, perkawinan paksa dan poligami, meski ironisnya terpaksa dimadu yang menggiringnya pada kesakitan tiada tara. Meletakkan peran perempuan hanya di ranah domestik, sama saja mengabaikan potensi perempuan untuk mengembangkan diri di ranah publik.

Penyempitan ruang gerak perempuan di ranah domestik sama saja menumpulkan daya pikir perempuan, mengungkung alam pikirnya hanya sebatas dapur, sumur dan kasur. Kartini bisa mengembangkan pemikiran karena ia membaca dan menulis, menembus batas dinding pingitan yang diciptakan peradaban kolot di masanya. Melekatkan sanggul, kebaya dan lomba memasak pada sosok Kartini adalah upaya ampuh supaya generasi di masa Orde Baru tidak terinspirasi oleh pemikirannya. Pengkerdilan terhadap Kartini terjadi selama lebih dari tiga dekade, menciptakan pembodohan agar perempuan menjadi tunduk dan patuh, tak ingat dengan sejarahnya tentang gerakan perempuan yang pernah membesar dan turut andil pada kemerdekaan.

Pengkerdilan Kartini adalah juga penyingkiran gerakan perempuan dalam sejarah perjalanan bangsa. Tak banyak sosok - sosok perempuan yang tercatat dalam sejarah, seperti sosok Siti Sundari seorang aktivis buruh perempuan sekaligus penulis dan jurnalis yang membuat Marco terkagum - kagum sebagaimana yang dikisahkan Pramoedya Ananta Toer dalam karya tetraloginya. Tak banyak pula yang mencatat berapa banyak koran dan majalah perempuan yang turut memberi sumbangan gagasan di masa kemerdekaan. Tampaknya, perempuan pemberani cukup menakutkan bagi sebuah rejim. Ia menakutkan karena suaranya akan sangat lantang menggema melancarkan protes dan membangunkan perlawanan yang tertidur.

Perempuan yang disukai rejim adalah perempuan yang tunduk, patuh, indah dipajang tanpa perlu turut bersuara. Bukankah demikian yang diajarkan Orde Baru dengan karnaval cantik penuh warna - warni, sanggul dan kebaya yang menawan. Perempuan yang cantik adalah perempuan yang diam, cukup bergerak di dalam rumah tanpa perlu bicara hal besar dan strategis apalagi bicara politik. Bila tidak, maka ia akan diidentikkan dengan perempuan jalang dan binal. Seorang pendosa.

Di malam yang larut, ditemani takbir penuh bintang. Bila menjadi berani disebut pendosa, maka menjadi pendosa adalah kebanggaan. Seperti kata Kartini, orang - orang pemberani memenangkan tiga perempat dunia.

“Barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang, itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!”