6 Politisi Yang Menyukai Puisi

11/12/2023 18:54 WIB

post-img


Baru-baru lalu, kita disegarkan oleh puisi K.H. Mustofa Bisri, 'Zaman Kemajuan'. Puisi lawas ini terdengar renyah menyapa telinga. "Ada keripik rasa keju dan ikan / ada republik rasa kerajaan". Yang mendengarnya mungkin lekas tersenyum atau malah bermuka masam.

Profesor dan penyair Amerika, Sonia Sanchez, pernah bilang, "Semua penyair, semua penulis, berpolitik."  Serupa ragam karya sastra lain, puisi tak pernah kehilangan kalam demi membetot perhatian. "Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya", tegas John F Kennedy. 

Lantas siapa saja politisi yang menggemari puisi? Kadang-kadang mereka bisa dikenali dari bagaimana cara mereka berbicara. Apakah hanya mengumbar kalimat berapi-api yang terlampau panas, melenggang datar menjemukan, ataukah bertabur warna-warni bunga. 

Berikut 6 politisi yang dikenal menggandrungi puisi:


1. Dominique de Villepin

Villepin merupakan Perdana Menteri Prancis tahun 2005 hingga 2007. Dia memegang jabatan itu di bawah  Presiden Jacques Chirac.  Pria kelahiran Rabat-Maroko ini mengenal puisi sejak belia. Ibunya menularkan cita rasa puisi ke masa kecilnya di Maroko dan Venezuela.

Dari tahun 2001 hingga 2005 Villepin menerbitkan empat buku yang menonjol karena gaya penulisan yang megah dan pandangan romantisnya tentang Prancis. Pidatonya yang penuh semangat di Dewan Keamanan PBB menentang rencana serangan AS ke Irak, mengundang tepuk tangan. “Di kuil PBB ini, kami adalah penjaga cita-cita (dari) hati nurani", ungkapnya.


2. Barack Obama

Barack Obama masyur sebagai  pembicara politik kelas wahid. Bobot pidatonya dianggap sebagai salah satu yang paling ideal dalam sejarah kepresidenan Amerika. Presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat ini juga dikenal penyuka puisi. Saat mahasiswa, sepasang puisinya 'POP' dan 'Underground' diterbitkan Feast, sebuah jurnal sastra mahasiswa, edisi Musim Semi 1981.

Pada 2016, di masa akhir jabatan kepresidenannya yang kedua, Obama berhasil mendulang keriuhan publik. Obama muncul di acara 'The Ellen DeGeneres Show' dan membacakan puisi Hari Valentine buat istrinya Michelle. Di sana Obama merapal kata, "Michelle, aku telah membuat banyak keputusan besar, sebagai presiden. Keputusan terbaik yang pernah kubuat yaitu memilih mu."


3. Mohammad Yamin

Salah seorang Bapak Bangsa dan perumus dasar negara Indonesia. Mohammad Yamin tumbuh di saat sastra Indonesia mulai merekah. Dia  memulai karier sebagai penulis pada dekade 1920-an. Karya-karya pertamanya ditulis memakai bahasa Melayu dan banyak dimuat jurnal Jong Sumatra.

Yamin merupakan satu dari tak terlampau banyak politisi yang menelurkan kumpulan puisi. Ada puluhan puisi dibuatnya. "Darah di tanah tak bertuan / menggenang / Ratusan nyawa melayang / Bergelimpangan di medan perang / Mengangkat panji kemenangan." Petikan puisi 'Merdeka atau Mati', buatan Yamin.


4. Mao Tse Tung

Satu lagi pemimpin politik yang mewariskan buku kumpulan puisi. Walau disibukkan dengan memobilisasi kekuatan petani dan memimpin perang gerilya, jiwa sastra Mao tak redup ditelan revolusi. Sebaliknya, makin menyala. Dia kerap menggunakan puisi sebagai sarana politik : untuk propaganda dan mengungkit moral juang.

Seperti kebanyakan intelektual Tiongkok di generasinya, Mao membenamkan diri ke dalam sastra klasik Tiongkok. Hasratnya bukan kepada gaya puisi Tiongkok Modern yang lebih anyar. Kumpulan puisi Mao Zedong telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Rusia, Perancis, Jerman, Jepang, India, Spanyol, Indonesia, Yunani dan lainnya.  


5. Ho Chi Minh

Masuk penjara dan membuat puisi dari balik jeruji. Terdengar seperti ide romantis buat pejuang di zamannya. Itu lah yang dilakukan Ho Chi Minh. Bapak Bangsa Vietnam, dan sekaligus salah seorang revolusioner paling terkemuka di benuanya. Ho Chi Minh bukan cuma soal bedil, dia penyair. 'Prison Diary' begitu penyebutan buku kumpulan puisinya dikenal secara internasional. 

Selama di penjara, Paman Ho (demikian dia biasa dipanggil kemudian) mempunyai banyak waktu untuk merenungkan alam, perjuangan rakyat, dan hukum yang tak dapat diubah. "Buku baru buku lama / dedaunan bertumpuk / Selimut kertas /
lebih mulia daripada tiada / Kamu yang tidur bak pangeran / terlindung dari dingin / Tahukah kamu berapa banyak pria di penjara / tak bisa tidur sepanjang malam?" Salah satu penggalan puisi Paman Ho.


6. Muhammad Nurfahroji

Bagi yang masih asing dengan namanya, dia adalah Caleg nomor urut 1 Partai Buruh untuk Dapil 4 Kabupaten Bekasi. Pria subur ini biasa dipanggil Oji. Tentu namanya belum semenjulang lima tokoh yang diulas sebelumnya. Satu hal yang menyamakan ke-enamnya, selain sama-sama bergulat di politik, kegemaran menggurat puisi.

Biasanya Oji menulis puisi di 'story WhatsApp'. Entah sedang galau, entah tengah pusing, entah karena sebab lain. Beberapa puisinya sempat saya baca samar-samar. Sejujurnya, jenis puisi yang ditulisnya, bukan dalam kategori selera saya. Tetapi melihat seorang aktivis politik menulis puisi, selalu terasa menyegarkan. Laksana menawarkan es kelapa muda di saat siang sedang terik-teriknya.


Sekarang kita memasuki periode elektoral lima tahunan. Di Pilpres kali ini, apakah kita berpuas melihat capres 'jogat-joget' melulu sebagai gimmick? Sesekali bolehlah kalian membacakan puisi untuk kami. Politik juga butuh sastra, Tuan dan Puan!


Penulis : Adityo Fajar - Ketua Kaderisasi dan Ideologi Partai Buruh