Asa Koperasi, Dari Mondragon Hingga Jogja

09/09/2023 16:11 WIB

post-img

Malam itu dia mengajak saya berdiskusi. Waktu yang ditawarkannya amat tidak ramah. Pukul setengah dua belas malam. "Tahun ini aku gagal lagi ke Spanyol. Tapi aku pasti ke sana!". Pengakuan itu meluncur di pembukaan obrolan. Tekstur suaranya, seperti yang sudah saya kenal bertahun-tahun, sarat dengan semangat. Saya yang baru terjaga dari lelap, pelan-pelan mencoba membuntuti irama pembicaraan.

Benar, Taufan ingin pergi ke Spanyol. Sayangnya, walau punya kecukupan ongkos, dia tidak memiliki kelonggaran waktu. Ke sana dia bukan untuk berwisata, menonton sepakbola, atau memenuhi undangan lembaga donor. Taufan hendak melawat ke tempat dimana model ekonomi ideal versinya dijalankan. Melihat dan memperoleh penjelasan langsung tentang praktik 'Koperasi Pekerja Mondragon'.  

Tak banyak memang, model usaha yang dikunjungi turis seperti yang dialami Mondragon. Tiap tahun tak kurang dari 2000 pelancong tiba. Bagaimana industri kaliber besar dikelola dalam bentuk usaha kolektif? Seperti apa pembagian hasil diantara anggotanya? Pertanyaan-pertanyaan sejenis itu mungkin yang membuat jurnalis, profesor, dan idealis tertarik datang. Juga, Taufan. 

Koperasi Mondragon memang mendunia. Baik nama, cerita kesuksesan, pun skala bisnisnya.
Koperasi uzur berumur lebih dari enam dasawarsa dihargai sebagai koperasi terbesar yang ada di muka bumi. Ia terdiri dari sembilan puluh lima koperasi otonom. Bisnis Mondragon meliputi pendidikan, jaringan ritel besar, katering, serta jasa konsultan.

Mereka juga memproduksi sepeda dalam skala besar. Membuat elevator. Penghasil mesin industri yang dipakai dalam produksi jet, roket, berikut turbin angin. Jadi Anda jangan membayangkan Koperasi Mondragon serupa kantor kecil tak menyakinkan, ditunggui 'bapak-bapak' yang hampir putus asa, seperti yang kerap ditemui pada badan usaha serupa di Indonesia.

Dalam sebuah reportase panjang di The New Yorker yang saya baca sebelum menulis esai ini, Larry Summers ekonom dari Universitas Harvard menyampaikan keraguan terkait model Mondragon. "Ketika Anda menempatkan pekerja sebagai penanggung jawab perusahaan dan memberi mereka kendali besar atas perusahaan, satu hal yang tidak akan Anda dapatkan adalah ekspansi", pungkasnya.

Summers kali ini tampaknya keliru. Mondragon bukanlah toko kelontong skala lokal. Pendapatan tahunan mereka melebihi 12 milliar Euro. Tiga kali lipat anggaran pertahanan Indonesia. Koperasi  mempekerjakan lebih dari delapan puluh ribu orang - dengan 76 persen pekerja di manufaktur merupakan pemilik. Koperasi ini memiliki anak perusahaan di negara-negara seperti Tiongkok, Jerman, dan Meksiko. Bersaing secara efektif di pasar internasional. 

Memenangkan kontrak dari perusahaan prestisius seperti General Electric dan Blue Origin, ialah cerita besar lain dari Mondragon. Koperasi dengan 505 jenis paten ini memiliki empat belas pusat penelitian dan pengembangan teknologi dengan ratusan peneliti full timer. Pendapat Larry Summers terlihat meleset untuk memahami kasus Mondragon.

Di Koperasi Pekerja Mondragon tidak ada saham dari luar. Anggota memberikan suara pada banyak keputusan penting. Mengenai arah strategi dan kebijakan, suara semua anggota, -baik manajemen senior atau pekerja kerah biru-, dihitung sama. 'One Man, One Vote', terdengar seperti demokrasi dijalankan di lapangan ekonomi. Terasa ada alaternatif cara berbisnis yang lebih adil dan egaliter dalam kapitalisme.


***

Tetapi apakah Koperasi Mondragon sesempurna yang dikabarkan? Benarkah ekonomi yang dikelola berdasarkan 'asas kekeluargaan' (meminjam istilah di konstitusi kita) mewujud tanpa cela di sudut Spanyol? Dalam hidup, Anda tak diijinkan menilai sesuatu dengan berat sebelah, kecuali Anda memang menyediakan diri untuk gagal.

Majelis umum koperasi, yang terdiri dari seluruh anggota, memilih dewan pengurus, kemudian menunjuk direktur pelaksana. Meskipun 42 persen pemilik Mondragon merupakan perempuan, hanya 29 persen yang menjadi anggota dewan pengurus. Seperti masalah pelik partisipasi berbasis gender di banyak tempat, Koperasi Mondragon pun tercecer di isu tersebut.

Para pekerja Mondragon di luar negeri, -bukan merupakan pemilik koperasi- diperkerjakan dalam status outsourcing bergaji rendah. Noam Chomsky, intelektual kondang Amerika, yang kerap melontarkan pernyataan mengagumi Mondragon, turut mengajukan kritik. Katanya, “...(Mondragon) masih mengeksploitasi pekerja di Amerika Selatan, dan mereka melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat secara keseluruhan.”

Dalam sistem dimana bisnis harus senantiasa berburu profit agar terus bersaing dan bertahan, Chomsky menambahkan, “mereka tidak punya pilihan.” Artinya Mondragon tak bisa keluar dari skema akumalasi profit. Bahwa upaya perburuan laba itu mesti memukul selapisan pekerja di belahan negeri lain, faktanya mereka tak punya alternatif jawaban.

Disparitas pendapatan merupakan problem laten dalam kapitalisme. Di Amerika, perbedaan pendapatan pekerja terendah dengan eksekutif utama begitu mencolok. Menurut studi Economic Policy Institute pada tahun 2020 di perusahaan-perusahaan terbesar Amerika, rasio pendapatan antara CEO dan pekerja biasa yaitu 351 banding 1. 

Mondragon jelas unggul jauh di poin disparitas upah. Tetapi tren pelebaran kesengajangan upah terlihat tak cukup menggembirakan. Rasio gaji antara eksekutif puncak Mondragon dan pekerja terendah, tiga banding satu pada tahun 1972. Lantas menjadi empat setengah banding satu. Sejak akhir tahun 1980-an hingga sekarang, angkanya menjadi enam berbanding satu.

Tahun lalu para insinyur dan manajer di koperasi Grup Fagor yang menjadi bagian dari Mondragon, mengusulkan kenaikan gaji secara signifikan. Angka yang diminta akan membantu mendekatkan gaji mereka dengan harga pasar. Gaji tersebut tidak akan melebihi rasio enam banding satu, namun  mendekati batas atas, sehingga menciptakan isu kesenjangan internal. 

Beberapa pekerja yang gajinya berada di tingkat terbawah di Fagor, merespon negatif. Mereka menggelar sidang umum luar biasa. Bagi orang-orang di Mondragon, bahkan perubahan yang dianggap lumrah untuk jamaknya kalangan luar, bisa menjadi sinyal penurunan nilai-nilai yang mereka anut. Ini soal mempertahankan prinsip-prinsip, tentang spirit yang melandasi berdirinya koperasi.


***

Apakah model Mondragon dapat direplikasi di luar wilayah indah Spanyol utara itu? Mungkinkah problem eksploitasi dan kesenjangan bisa diatasi? Ini akan selalu menjadi pertanyaan terbuka yang sangat bisa diperdebatkan. Taufan, sahabat saya, berada di barisan yang cukup optimistik dengan kemungkinan tersebut. 

Optimisme itu, membuatnya mulai menggeser orientasi bisnis yang dilakoninya. Perusahaan miliknya diubah dari startup teknologi, secara bertahap menjadi koperasi. Bila dahulu, perusahaan mengidam-idamkan IPO atau setidaknya akuisisi besar, sekarang dia berbicara dengan nada lain. Di titik ini, saya merasa perlu memberi Taufan hormat. Dia bisa kaya duluan, tapi memilih berbagi. 

Pak CEO ini sekarang tinggal di rumah yang berukuran nisbi sama dengan pekerja lainnya. Dia membangun koperasi di lahan seluas 4.000 meter persegi. Pada sebuah kawasan di Jogja gagasan yang banyak diinspirasi Mondragon mulai diupayakan. Para pekerja direkrut lewat screening latar belakang kelas. Hanya mereka yang datang dari keluarga berpenghasilan di bawah 5 juta rupiah yang akan diterima. 

Koperasi ini tengah bergeliat. Pertumbuhan rata-rata years on years nya mencapai 70%. Sebagai koperasi jasa layanan teknologi, programmer mereka telah bekerja untuk menyelesaikan kerjasama dengan Pindad, IDN, MNC Grup, Biofarma dan Bank Mandiri. Klien luar negeri mereka mencakup Keller Williams, Epitome, Ailiverse serta Lauretta.

Pelan-pelan ingatan saya mengembara ke masa silam. Kala kami masih muda. Berbulan-bulan hidup bersama, berjalan kaki menelusuri satu desa ke desa lain. Menunaikan tugas organisasi yang 'kejam'. Saya selalu mengingatnya sebagai putra pasangan guru yang mendiami kawasan miskin kota di Surabaya. Berotak bagus, cepat belajar, dan susah bangun pagi.

Sekarang Taufan sudah di penghujung 30-an tahun. Wajahnya terlihat awet muda, setidaknya yang saya tangkap di layar Zoom. Walau besar kemungkinan penglihatan saya tak akurat, sebab mengantuk hebat. Perhatian Taufan kini tertanam kuat di tema koperasi. Dia percaya dapat melakukan sesuatu. Ingin Indonesia memberi tempat luas ke badan usaha yang disebut Bung Hatta sebagai, 'senjata persekutuan si lemah untuk mempertahankan hidupnya.'

"Benarkah Partai Buruh sungguh-sungguh mendukung koperasi?"

Jam menunjuk pukul setengah dua pagi ketika pertanyaan itu dia ucap.  Saya tahu itu bukan jenis pertanyaan yang cukup dijawab dengan timpalan, "Ya benar. Kami mendukung koperasi". 


Adityo Fajar - Ketua Kaderisasi dan Ideologi Partai Buruh