25/04/2023 06:15 WIB
Situasi dalam pabrik yang memproduksi garmen mencekam, pihak perusahaan melalui chief dan pengawas mulai mengedarkan rumor tentang kondisi perusahaan yang sedang merugi akibat krisis global. Rumor semacam ini sebenarnya sudah beredar cukup panas sejak beberapa bulan terakhir jelang tahun baru 2023. Kabarnya, industri padat karya berorientasi ekspor seperti garmen, tekstil, dan alas kaki telah mengalami kerugian, bahkan terancam bangkrut akibat krisis global gara - gara perang Ukraina vs Rusia.
Buruh - buruh pabrik yang berlokasi di KBN Cakung, Jakarta Utara itu. tidak cukup dekat dengan situasi perang yang terjadi nun jauh di sana, di belahan benua lain yang teramat asing bagi mereka. Namun, entah bagaimana rasa takut atas dampaknya serasa lebih dekat, akibat rumor yang disebar bukan hanya melalui dunia maya dan televisi atau media elektronik lainnya, melainkan tiap briefing di pagi hari. Tentu saja dengan bumbu rasa takut yang sebenarnya dilebih - lebihkan. Rasa takut nanti satu keluarga tidak bisa lagi makan karena ter PHK, kehilangan pekerjaan, terlunta - lunta, ragam tekanan emosional bertemu dengan sanak saudara saat hari raya dan banyak lagi.
Seiring dengan rumor yang dibumbui rasa takut dan ngeri selayaknya film horor, beredar surat kesepakatan untuk pengurangan jam kerja dan penyesuaian upah. Situasi makin panas, pengurus Serikat dibuat mondar - mandir ke ruang manajemen tanpa hasil berarti karena bos tidak bersedia bertemu. Pertanyaan selalu dijawab serupa "Perusahaan merugi akibat krisis global, sehingga dibutuhkan pengurangan jam kerja". Tentu saja pengurangan jam kerja yang dimaksud, berteman dengan pengurangan upah. Itu satu paket, sebagaimana yang dipromosikan pengusaha belakangan "No Work, No Pay", sebuah langkah jitu yang terus diulang atas nama kesejahteraan buruh dan untuk melindungi buruh. Dari siapa? dari situasi macam apa? Siapa yang menimbulkan krisis? Siapa yang ikut berperang? Mengapa pula buruh harus selalu jadi yang utama menanggung?
Rumor, tentu saja tetap jadi rumor tanpa pembuktian, seperti ucapan pengusaha bahwa mereka merugi dan sebentar lagi bangkrut. Keterancaman bangkrutnya perusahaan ini membutuhkan pengorbanan buruh, dalam bentuk pengurangan jam kerja dan upah. Pasalnya, pengusaha tidak pernah memberikan bukti tentang kerugian dan keterancaman bangkrut seperti apa yang dikata. Pengusaha menghindar, membolak - balik kalimat, berkelit dari kewajiban memberi bukti kerugian.
Sayang, situasi tidak menguntungkan bagi buruh, justru didukung dan diperkuat pemerintah melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 5/ 2023. Dalam pernyataan yang dirilis Antara News, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi berujar “Peraturan ini dibuat untuk memberikan perlindungan dan mempertahankan kelangsungan bekerja buruh serta menjaga kelangsungan usaha perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor.”
Lebih lanjut, Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif (Antara News, 24/3/2023), mengatakan "Kami menilai langkah tersebut perlu dilakukan dalam kondisi saat ini, mengingat tujuannya adalah untuk menjaga agar industri bisa tetap bertahan di tengah terpaan situasi perekonomian dunia, dan menjamin status serta kesejahteraan para pekerja"
Pernyataan di atas cukup mengerikan bagi buruh industri padat karya karena membolehkan pemotongan upah buruh bahkan hingga 25% selama 6 bulan, tanpa ada syarat ketat bagi perusahaan dan cukup berdasarkan negosiasi dengan buruh atau Serikat Pekerja. Bila kita menilik sedikit cerita di awal tulisan ini, tidak pernah ada dialog atau perundingan yang adil antara buruh dengan perusahaan. Di lapangan, yang terjadi adalah surat penggalangan tanda tangan buruh di bawah intimidasi dan ancaman. Surat yang ditanda tangani buruh ini akan dijadikan alat untuk memperlemah posisi Serikat Buruh dalam perundingan. Surat tersebut sama saja mendelegitimasi Serikat Pekerja yang kehilangan dukungan dari anggota. Lalu muncul pertanyaan warga awam "Ya jangan tanda tangan dong, mau - maunya sih tanda tangan". Pertanyaan semacam ini abai dengan relasi kuasa yang timpang antara pemberi kerja dan buruh, dimana buruh sudah dilucuti posisi tawarnya dengan kontrak pendek, status kerja outsourcing, hingga magang dan harian lepas. Belum lagi sistem No Work No Pay yang secara ajaib bisa mengubah sistem upah bulanan menjadi harian.
Bila kamu berstatus harian lepas atau kontrak pendek yang setiap saat bisa diputus hubungan kerja dengan alasan apapun, harga kebutuhan pokok yang kian naik, ketiadaan perlindungan sosial, tentu saja kamu semakin lemah posisinya di hadapan pengusaha dan bisa dengan mudah diperlakukan semena - mena. Sama halnya dengan pemaksaan terhadap buruh untuk tanda tangan kesepakatan pengurangan upah dan pengurangan jam. Alasan kebijakan itu tak perlu masuk akal, tak perlu rumit - rumit menunjukkan bukti kerugian. Dalam pertarungan harian yang menguras emosi dan energi itu, negara tidak pernah hadir. Dalam waktu yang sama, pengalaman harian para pejabat dan kaum buruh teramat berbeda, mungkin saat buruh dipaksa kejar target dan diancam tanda tangan, ditakut - takuti tutup pabrik, Ibu Menteri Tenaga Kerja sedang sibuk menyuruh bawahannya membuat kebijakan pemotongan upah atau membuat posko pengaduan THR yang tidak pernah sepi data pelanggaran.
Lalu, terdengarlah pernyataan menyakitkan itu lagi "Pemerintah menetapkan kebijakan ini dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional," kata Indah, Juru Bicara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang lain.
Industri tersebut bisa mengurangi waktu kerja menjadi kurang dari 7 jam per hari dan 40 jam per minggu untuk enam hari kerja dalam sepekan. Bagi buruh yang bekerja 5 hari dalam sepekan, maka bisa hanya bekerja kurang dari 8 jam per hari dan 40 jam per minggu.
Kembali ke cerita di awal tulisan ini, setelah dua minggu bersitegang dengan pengusaha, akhirnya kesepakatan dibatalkan. Namun, rumor yang disebarkan untuk menakuti buruh terus berlanjut. Kabarnya, pabrik bangkrut dan akan tutup. Merasa gusar, serikat mengadakan rapat dan memutuskan secara bergilir pergi ke sebuah kota di Jawa Barat, untuk mengecek cabang pabrik di kota itu. Nyatanya, beberapa gedung sedang dibangun. Maka, tahulah mereka, bahwa walaupun pabrik tutup, itu jelas bukan karena bangkrut. Sebaliknya, pengusaha sedang memantapkan diri memindahkan pabrik ke kota itu. Sepertinya, Ibu Menteri Tenaga Kerja perlu belajar beda antara Ekspansi dan Bangkrut. Pasalnya, bukan sekali dua pabrik relokasi dengan menelantarkan buruhnya. Coba, Kemnaker membuat Posko Korban Relokasi Semena - Mena, sepertinya data yang terkumpul bakal jauh lebih banyak dari Posko THR. Mungkin, itu prestasi yang bisa diperoleh Ibu Menteri, selama menjabat. Jangan lupa, Ibu Menteri, saat anda menikmati hidangan rendang dan opor ayam di meja anda, ingatlah itu pun hasil keringat dari kaum buruh, petani dan rakyat jelata. Di sana terhidang menu lebaran 25% menuju perbudakan.